Axel merasa jika David juga semakin aneh. Sejak kemarin menyuruh untuk bersama Sean. Meski kurang sependapat, tapi anak itu sangat mempercayai apa yang David katakan.[Aneh, apa pria itu melakukan sesuatu pada Om. Menekan atau mengancam? Sampai Om sekarang percaya padanya?][Om hanya mengatakan hal paling benar saat ini. Kamu belum cukup mengerti masalah yang terjadi pada orang dewasa di sekitarmu. Tetap di sana dan ikuti saran Sean!]Axel mendesah. Mengikuti apa kata Sean? Axel lebih tertarik untuk berdebat.[Tablet yang dia berikan nggak aku pakai buat bertukar pesan. Aku yakin, benda pintar itu telah disadap.][Kamu cukup pintar untuk bertahan saat ini di sisi Sean. Ingat, jangan ceroboh! Sean nggak akan mudah kamu tembus.][Aku tahu. Tapi ingin segera tahu kebenaran itu. Pria itu semakin bersikap baik pada kami. Kemarin, dia bahkan berkorban besar untuk kami. Apa seperti itu termasuk orang jahat? Aku sangat ragu, Om. Bantu aku memikirkan sesuatu!][Tunggu saja. Sean akan segera me
Sean gusar dan takut. Dia menarik Felisha menjauh dari mobil itu.'Sean, inikah alasanmu buru-buru ingin pergi? Karena wanita itu sedang menunggumu? Dan membolehkan kami ikut? Kamu sengaja, ingin mempertegas situasi? Hah! Seperti biasa .... Kamu lembut dalam berkata dan bersikap, tapi kamu menyiapkan belati untuk menusuk hati kami!' batin Emily miris. Dadanya sesak. Dia menatap Sean dan wanita itu, hanya ada nyeri karena sayatan di hatinya.Axel mengepal kuat. 'Ini yang sengaja ingin kamu perlihatkan, Pria jahat?! Untung saja aku ikut pergi. Kamu nggak akan lagi bisa menyembunyikan kebusukan dari kami! Tunggu saja. Aku pastikan, kamu nggak akan bisa bersama wanita yang menyakiti Mamaku itu!'' geram Axel dalam hati."Axel, kita turun sebentar lagi." Emily belum siap membaur dengan masalah besarnya. Dan praduganya, luka masa lalu akan terkulik."Bagaimana kalau aku panggil taksi saja. Kita pergi ke tempat bermain. Atau bertemu om David dan tante cerewet?" Axel mengeluarkan tablet-nya."
Seorang gadis berhati lembut dan tulus. Pria itu tahu, jika gadis itu dibesarkan penuh cinta dan didikan baik. Saat sang gadis kehilangan sosok pelindungnya, Evan langsung merengkuhnya. Dia pilih dijadikan menantu. Dia ingin anaknya mendapat gadis yang sangat luar biasa itu. Namun, kisah kebahagiaan sang gadis tidak berjalan mulus. Evan sangat terpukul, kecewa dan menyesali keputusannya."Emily?" lirih Evan. Dia tersenyum dengan mata berkaca. Evan mencoba berdiri dengan sedikit bergetar. "Pa! Tetap di sana." Emily langsung menghambur memeluk Evan. Dada Evan sesak. Nyeri, tapi bukan nyeri jantungnya yang ingin tumbang. Sangat miris melihat Emily yang dia kira tiada kini muncul di hadapannya. Evan mengira, menantunya itu pasti telah melewati banyak kepaitan. "Maafkan papa, Emily. Maafkan Papa. Kamu jadi menderita karena harus menikah dengan Sean. Papa janji akan membayar semua penderitaanmu selama ini." Bulir kristal bening lepas dari kelopak mata Evan. "Maafkan Emily karna membuat
Felisha selalu impulsif saat berhadapan dengan masalah Sean. Obsesinya tak ingin sedikit pun diusik. Dia bisa lebih gila jika ada wanita yang berani mendekati Sean. Terutama Emily. Dulu, Sean nyaman sedang sikap lembut dan perhatian Felisha, wanita itu juga tidak menuntut banyak hal, asal bisa selalu bersama Sean di banyak acara. Sekarang, Felisha berubah di depan Sean. Lebih tepatnya, menunjukkan sifat aslinya."Sudah puas? Katakan, apalagi yang kamu inginkan. Mumpung kita masih bertemu!" sentak Sean dengan suara rendah menekan."Apa maksudmu. Aku hanya mencemaskanmu, Sean. Apa aku salah khawatir dengan tunanganku?"Sean melebarkan mata, dia segera menarik Felisha keluar. Tiba di luar. Sean menghentak Felisha pada sisi mobil."Akh! Sean. Apa yang kamu lakukan? Bukankah kita ingin bicara baik-baik?" Felisha menahan nyeri.Sean menekan rahang Felisha dengan tatapan tajam. "Ini yang terakhir aku lihat kamu membuat kekacauan. Tidak ada lain kali. Atau aku akan membuatmu menyesal telah me
Di balkon kamar Sean. Wanita berdiri pada pagar pembatas dengan wajah sendu. Emily menatap langit tanpa bintang. Wanita itu telah selesai membersihkan diri dan tadi juga sempat menemani anaknya sebelum tidur. Dia menolak tawaran tinggal di kediaman mertua karena kurang nyaman pada kondisi hubungannya dengan Sean saat ini.Mereka memutuskan kembali ke rumah Sean saat petang."Terima kasih tidak mengatakan secara jelas soal kecelakaan enam tahun lalu." Sean datang dan berdiri di sisi istrinya. Dia tersenyum dengan hati yang miris. Malu atas kesalahannya yang ditutupi istrinya.Emily menoleh menatap wajah Sean. "Aku melakukannya bukan untukmu. Hanya cemas dan takut jantung papa bermasalah karenaku.""Kamu tidak bersalah pada semua keadaan ini. Aku, Emily! Aku yang patut disalahkan. Seperti yang kalian bilang, aku sumber kekacauan. Bahkan aku mengacaukan hidupku sendiri." Sean menghembus nafas berat."Bagus kalau kamu sadar. Kapan kamu akan melepas kami? Aku merindukan restoran dan rumah.
"Siapkan mobil dan heli. Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Sean gelisah. Dia melihat kondisi pria itu sudah sangat lemas.Pria itu langsung dibawa anak buah Sean."Kita kembali sekarang, Tuan," ucap Dario."Hem." Sean menjawab dengan menatap arah lain. Dia mencari cahaya temaram di titik tadi, tapi telah hilang."Tuan." Dario memegang bahu Sean.Sean segera menguasai diri. Dia melangkah pergi masih sambil menoleh ke belakang. 'Blade. Apa kamu yang di sana? Kenapa kamu harus bersembunyi, jika ingin membantuku? Kenapa harus ke tempat seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi padamu?' batin Sean.Setelah Sean keluar dari area itu. Seorang pria muncul di balik pohon menatap jajaran mobil Sean. Pria dengan masker hitam itu menarik dua sudut bibirnya.'Lakukan yang terbaik! Hidupku tidak berharga jika tidak berguna bagimu!'Blade menemukan pria kunci utama dalam keadaan sekarat. Dia menyuruh anak buahnya yang mengambil dari tangan Benny. Untung pria itu masih bisa Blade selamatkan. Mes
Jika pria kunci utama penyelamat rumah tangganya tidak bisa diharapkan? Apa yang akan terjadi nanti? Apa Emily masih akan memberi kesempatan? .... Dada Sean bergemuruh ketakutan."Buat dia bicara, Victor! Buat dia melakukan sesuatu!" Sean semakin gusar dan takut.Emily menatap wajah Sean yang tampak jelas dalam ketakutan. Lalu, mata Sean yang memancarkan kesungguhan. Cukup sampai tindakan ini, keraguan Emily pada sang suami kian tertepis. Usaha Sean sampai titik ini telah menggoyahkan hati dan pikiran wanita itu. Emily percaya, jika memang bukan Sean pelakunya. Rasa percaya yang besar itu hadir seketika.Pria itu kejang-kejang dengan mata membelalak.Victor langsung melakukan tindakan. Dokter itu sudah tidak bisa berbuat banyak."Victor! Jangan sampai dia mati sebelum bicara!" teriak Sean dengan nafas berat.Emily memegang bahu Sean. "Tenanglah, Sean. Jangan membuat panik dokter-nya.""Bagaimana aku bisa tenang, Emily? Kalau dia mati dan belum membuat pengakuan, kamu pasti akan memben
"Aku datang, Bos. Mau menagih janjimu." Felisha berdiri agak jauh dari meja. Di depan sana, ada pria yang duduk di kursi putih dengan sandaran tinggi membelakanginya.Di sekelilingnya, berdiri beberapa pria berbadan tegap dengan jas hitam.Felisha tertarik dengan pria yang memakai kaos hitam lengan pendek, hingga otot kekarnya tampak jelas dan menggoda. Wajah pria yang duduk di sudut ruangan itu tanpa ekspresi dan hanya memainkan batang rokok di tangannya. Tatapannya tak jelas kemana. "Cukup tampan," gumam Felisha."Ha ha ha ha ha. Bukankah sudah kulakukan kemarin? Pria yang kamu takutkan sudah jadi bangkai!" Suara menggelegar dari pria paruh baya. Kursi itu juga berputar pelan.Felisha tersenyum miring. Dia menatap lekat paruh baya itu. Masih terbilang cukup tampan dan terawat di usianya. "Kudengar kamu nggak punya istri. Padahal tidak buruk juga. Cukup tampan. Pasti dulu jadi idola banyak wanita.""Jaga bicaramu! Jangan menyinggung diluar urusanmu!" seru pria tegap di belakang Bos