POV MarniDi rumah mertua, tentu sangat berbeda dengan di rumah kita sendiri. Apalagi ibu, dia adalah orang yang sangat disiplin soal kebersihan, satu jam dengannya yang disertai omelan, berasa setahun bagiku.Sudah tiga hari aku di sini, dan selama tiga hari berturut-turut pula tukang pijat datang. Katanya pagi ini adalah pagi terkahir aku dipijat."Mar, jangan kebanyakan di tempat tidur, kamu perlu berlatih berjalan agar otot kaki kamu tidak kaku."Tiba-tiba ibu muncul. Dia menyibak gorden sehingga cahaya masuk ke dalam kamar."Setelah bangun tidur, jendela harus dibuka, agar udara baru masuk ke dalam kamar," tambah ibu lagi."Baik, Bu," sahutku."Jalannya nggak usah jauh-jauh, mumpung matahari belum tinggi, berjalan saja di sekitar rumah, sekalian berjumpa dengan tetangga lain," kata ibu lagi, setelah itu berlalu ke arah dapur.Aku bangkit, memijakkan kaki kiri yang masih ngilu. Sejak di rumah ibu, tak sekali pun kubuka jilbab karena malu dengan rambutku yang baru tumbuh.Ayah seda
POV Marni "Eh, istrinya Anto, kan?"Aku menoleh, wanita itu tak lain adalah wanita yang bertamu ke rumah Ibu mertuaku, dia sengaja mendekatiku setelah keluar dari salon. Tampaknya, tanpa kusadari, kami telah berada di salon yang sama. Kulihat dia yang tersenyum tanpa beban dan sangat percaya diri, rambutnya yang panjang meriap ditiup angin sore. Dia memakai gaun berenda sepanjang lutut bewarna putih sepatu hak tinggi yang bewarna putih juga."Benar," sahutku datar. Seharusnya kami tak usah saling sapa, apa gunanya? Apakah dia ingin memperjelas bahwa dia adalah mantan kekasih Mas Anto? Aku bukan lagi Marni yang akan merelakan Mas Anto begitu saja. Yang dikatakan ibu mertua benar, aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan."Bisa kita bicara sebentar?" tanya dia masih memasang senyum yang bagiku tak berpengaruh itu. Aku mengikutinya, ia duduk di depan salon, sebuah kursi santai yang sengaja diletakkan di sana, mungkin sebagai pilihan lain bagi tamu yang ingin disuguhkan pemand
POV AntoApa yang barusan terjadi? Aku sendiri tak bisa berpikir jernih sampai saat ini. Saat keputus asaan menjadi sebuah kemarahan yang malah diperciki api hasrat yang tak kusadari. Awalnya kusangka, aku takkan bisa menjalankan fungsiku sebagai seorang laki-laki, awalnya kukira aku adalah pria yang telah mati rasa tak tertarik terhadap keindahan raga seorang perempuan. Namun, kebrutalan malam ini mematahkan anggapan yang ternyata keliru. Aku normal, walaupun mengenalinya dengan cara yang kasar pada Marni.Seharusnya Marni diam saja. Jujur, sejak pemberhentian kemaren, aku bahkan tak bisa menelan nasi, aku merasa impian yang telah kurencanakan dan kususun hancur sudah. Karirku terhenti dan aku harus menerima kenyataan baru, penhangguran.Bukankah harga diri paling lemah bagi laki-laki saat dia menerima kenyataan akan menjadi pengangguran? Takkan ada kepala keluarga yang akan langsung siap dengan kenyataan itu, termasuk aku. Berulangkali Doni meyakinkan, bahwa dengan pengalaman yang k
POV Anto"Kau datang sendiri?" tanya Ibuku saat aku sampai di rumah. Ditinggalkan Marni, membuatku tak betah di rumah. Sebuah kebiasaan, aku yang meninggalkannya, sekarang dia yang meninggalkanku, rasanya aneh."Dia ke rumah adik-adiknya, mau di sana beberapa hari katanya. Mungkin sudah rindu dengan mereka."Tentu saja aku takkan mengatakan apa yang sejujurnya terjadi, itu sangat sensitif dan memalukan. Cukup Marni dan aku yang tau. Akan tetapi, bagaimana jika dia malah menceritakan pada adik-adiknya? Aku mendadak gusar."Oh, baguslah! Sesekali dia memang harus ke rumah adik-adiknya, biar diajari juga mereka. Kasihan, nanti setelah nikah adik-adiknya bisa seperti Marni juga. Kalau dapat suami dan mertua yang sabar, ya syukur. Kalau tidak, dia bisa diceraikan. Ibu dulu sebenarnya tak suka padanya, tapi karena kau dan Marni berjodoh, mau tak mau Ibu harus berlapang hati menganggap dia seperti anak sendiri."Ini entah yang keberapa kali Ibu mengatakan hal yang sama. Apa yang dikatakan Ib
POV MarniTak mudah memang, menahan perasaan yang berperang dalam hati. Antara rindu dan harga diri, salah satu dari yang dua itu harus menang, pulang untuk menuntaskan rindu dan mengorbankan harga diri, atau tetap di sini dengan harga diri tapi menahan rindu. Aku bahkan hampir menyerah di hari ketiga. Terbayang, bagaimana dengan makan malam Mas Anto? Atau sarapannya? Dia memang bisa bersih-bersih tapi tak bisa memasak. Tidak mungkin dia akan makan terus di rumah mertua, walaupun Mas Anto orangnya kadang menyebalkan, dia takkan membongkar aibnya sendiri di depan ibunya.Seringkali aku berubah pikiran, dan nerniat pulang ke rumah tanpa dijemputnya. Akan tetapi aku belum siap menerima kekecewaan kembali, bisa saja Mas Anto tak menginginkan kehadiranku, seperti yang pernah dikatakannya. Atau dia malah nyaman? Bisa saja dia nyaman, buktinya dia tak menampakkan batang hidungnya sampai saat ini.Kulihat ke ujung jalan, jalan besar yang selalu dilalui orang yang mau ke luar atau masuk dari
POV AntoDi sini kami sekarang, tidur di atas lantai beralaskan seprai saja. Jangan tanya betapa keras dan tak nyamannya, aku merasakan lantai semen yang dingin menembus seprai putih itu. Belum lagi bunyi nyamuk yang mendekat serta menggigit beberapa kali. Ditambah bunyi tikus yang berlarian di atas plafon rumah Marni. Aku tak habis pikir, rumah sejenis apa ini, semua binatang berkumpul dan bersarang di dalamnya.Bagaimana Marni dan keluarganya bisa hidup dan tinggal di sini. Oke, mungkin rumahnya sudah agak bersih dibanding terakhir kali aku ke sini, tapi dengan semua fasilitas minus ini, aku takkan bertahan walau semalam. Bahkan kulihat, adik-adik Marni sebagin tidur di luar di dekat televisi."Ya, ampun." Aku mengeluh lagi, Marni sudah tidur tanpa memberi tahu terlebih dahulu, masih dengan baju bola dan celana trainingnya. Dia bahkan tak terganggu saat nyamuk telah hinggap di pipinya. Tanganku gatal ingin menepuk nyamuk itu. Biarkan saja, atau pukul? Dilema.Plak! Kutepuk kecil, te
POV MarniJika ada yang bertanya, apakah perubahan bisa terjadi sendiri? Tidak. Selain paksaan mertuaku dan Mas Anto, ada sosok lain yang ikut berperan. Sosok yang baru kutemui sekali dan bersikap seperti sudah lama saling mengenal.Kami bertemu di salon, sama-sama duduk di ruang tunggu. Dia melemparkan senyum padaku dan kubalas dengan canggung."Bukankah kamu Marni?" tanya dia lebih dulu, orangnya cantik dan sangat anggun, penampilannya layak diacungi jempol. Baju yang dikenakannya indah dan tentu saja barang mahal."Iya, maaf, Mbak siapa?" tanyaku padanya. Aku agak sungkan pada orang asing, sebisa mungkin menjaga jarak, akan tetapi melihat gelagatnya, dia tak berbahaya."Kau mungkin tak mengenalku, tapi aku mengenalmu, aku salah satu kenalan lama suamimu, tepatnya teman suamimu. Kita pernah berjumpa sekali, saat pesta pernikahanmu, kau lupa?"Aku menggaruk kening. Daya ingatku lemah, aku tak bisa menghafal para tamu yang hadir waktu itu."Aku Silvi. Temannya Wulan.""Oh," sahutku ag
POV MarniKudorong bahu Mas Anto menjauh, memisahkan tautan kami. Dia masih kebingungan, sambil kesusahan menata nafasnya. Matanya masih gelap dengan tatapan misterius yang tak bisa kufahami. Aku tak menyangka keisenganku malah membawa petaka."Keluar, Mas! Aku mau mengganti pakaian kembali." Kubelakangi dia, menatap pantulannya di cermin besar di depanku.Kudengar dia mendengkus, lalu keluar dari ruang ganti. Dalam konsisi apa pun, dia selalu marah, bahkan disaat dia menciumku.Aku menghela nafas panjang, mengusap bibirku sendiri. Bukan yang seperti ini yang kuharapkan, bukan sebagai pelampiasan kemarahan seperti waktu dia mengambil haknya dengan kasar. Aku akan memberikan apa pun, karena aku adalah seorang istri yang halal untuknya. Akan tetapi diperlakukan seenaknya seolah tak berharga amat menyakitkan hatiku.Setelah selesai, kukeluar dari ruang ganti. Apa yang kudapati? Mas Anto dan Wulan tengah berbicara berdua, mereka tampak akrab, entah membicarakan apa. Sesekali Wulan tertawa