Share

Syarat Mertua

Pov Anto

Meninggalkan Marni untuk sesaat, mungkin adalah pilihan yang tepat bagiku. Kejengkelan yang kurasakan karena Marni tak bisa mengerti dengan apa yang kusampaikan, jangan sampai menjadi amarah yang akan semakin menyakitinya.

Aku tak tau, pernikahan apa yang tengah kami jalani, seharusnya di usia pernikahan kami, setidaknya kami telah mendapatkan kejutan, contoh punya anak misalnya. Bukankah kesempurnaan seorang laki-laki adalah melihat seorang anak yang mewarisi darahnya? Meneruskan nasabnya?

Aku memang tak mencintai Marni, tapi berhubungan badan tak butuh cinta, perasaan naluriah itu adalah sebuah kebutuhan. Akan tetapi, seorang Marni berhasil mematahkan selera dan semangatku dengan badannya yang bau.

Mobil sampai di pekarangan rumah ibu. Wanita yang berstatus ibuku itu, masih cantik bahkan di usianya yang hampir mendekati angka enam puluh lima. Dia tengah menggunting bunga, merapikan tanaman kesayangannya itu agar enak dipandang mata.

"Anto, ayo masuk! Ayah ada di dalam."

"Baik, Bu. Assalamualaikum," sapaku, Ayah tengah asyik dengan berita televisi, yang menyiarkan kondisi ekonomi di Indonesia makin memburuk. Ayah menoleh dan tersenyum ramah.

"Kapan sampai, Anto?"

"Beberapa jam yang lalu, Yah." Kusalami Ayah dengan takzim. "Ayah sehat?"

"Alhamdulilah, akan lebih sehat lagi kalau Ayah diberi cucu."

Aku terdiam, bagaimana menjelaskan pada Ayah, semua keinginannya belum bisa dikabulkan. Berbicara terang-terangan pada Ayah, pasti sangat malu sekali.

Ibu datang dengan segelas kopi dan meletakkannya di meja tempat ayah duduk.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Lancar, Yah."

"Marni apa kabar?"

"Dia sehat."

"Jiwanya yang tak sehat," sahut ibuku, langsung mendapatkan tatapan tajam dari ayahku.

"Dia menantumu, bagaimana kau bisa berbicara seperti itu?"

"Sudah kuduga, semua akan begini. Dulu, aku sudah melarang Mas untuk menjodohkan Anto dengan Marni, tapi Mas bersikeras."

"Apa salahnya menikahinya demi menolong, dia anak yatim piatu dengan enam orang adik, ayah Marni orang yang sangat baik. Marni juga baik." Ayahku membela Marni.

"Iya, sangat baik, sampai tak bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas, mana yang layak dan tidak layak, apakah rambut dalam sop itu pantas? Apakah bra di sofa tamu layak?" Suara ibu meninggi, aku yakin sebentar lagi ayah dan ibu akan berdebat.

"Mas sayang pada keluarga Marni, tapi tak sayang dengan anak sendiri. Bayangkan, bagaimana bisa hidup dengan wanita yang bahkan tak mandi selama berhari-hari, jangankan untuk sholat, menyentuh air saja dia takut."

"Sudahlah, Bu!" Aku menengahi. Perdebatan ini takkan selesai. Ayah bangkit, meninggalkan kami berdua. Sepertinya dia belum menerima semua kenyataan yang dikatakan ibu.

"Lihat Ayahmu! Pasti merajuk."

"Sudahlah! Jangan dilawan Ayah, Bu. Kasihan, beliau sudah tua."

"Tapi dia tak bisa diberi masukan."

"Bersabar."

Ibu meminum kopi sisa ayah, sebuah kebiasaan yang selalu dilakukannya, ayah dan ibu walau sering berbeda pendapat, mereka mesra dengan hal-hal kecil, minum kopi segelas berdua, makan sepiring berdua sudah menjadi kebiasaan dari dulu.

"Apa Marni tadi mengadu padamu?"

"Tidak." Aku berbohong, tak ingin memperuncing masalah.

"Ibu memang memarahinya, memaksanya membersihkan rumah, sampai dia menangis. Ibu tak habis pikir, bagaimana ibunya mendidiknya, dia sangat pemalas dan jorok."

Aku mengangguk saja, apa yang ibu katakan benar semua. Tak ada yang salah. Selain pemalas dan jorok, Marni juga cepat tersinggung dan agak keras kepala.

"Semua itu ibu lakukan, agar dia berubah, andaikan ibu tak datang, ibu yakin kau akan menemukan kandang binatang di rumahmu sendiri. Oh, Anto ...."

Tiba-tiba ibu menangis. Aku tau betul, jika ibu menangis, artinya dia sudah lelah dan putus asa.

"Ibu tak berharap banyak, tak berharap menantu yang kaya dan berpendidikan, terlihat seperti manusia normal saja sudah cukup. Marni menjadi gunjingan tetangga sekitar rumahmu, tak mau bergaul, jarang keluar rumah. Apa yang bisa diharapkan dari wanita seperti itu. Kalian terlalu berbeda dari segala hal."

Aku merenung, apa yang dikatakan ibu benar. Pernikahan ini ayahlah yang merancang. Kebiasaan ayahku, dia tak bisa ditentang, jika kemauannya tak dituruti, dia bisa sakit dan itu membuat ibuku pusing.

"Sejak menikah dengannya, ibu yakin kau tak bahagia, Anto."

Aku terdiam sekali lagi, bahagia? Entah apa itu bahagia, cita-citaku yang ingin menjadikan pasangan hidup sebagai teman, musnah sudah. Aku dan Marni selalu bertentangan.

"Ibu takkan memaksamu, Anto. Jika dia tak mau berubah, ceraikan dia! Perceraian memang tidak baik, tapi boleh. Ibu ingin kau bahagia, Nak."

Pandangan ibu tulus, perasaanku sampai terhujam dengan tatapan itu. Akan tetapi, menceraikan Marni secepat ini, rasanya terlalu jahat.

"Atau kita berikan dia waktu, jika dalam waktu tertentu dia tidak juga berubah, tak ada pilihan lain selain menceraikannya."

Ibu benar, Marni tak bisa mengurus dirinya sendiri, tak bisa mengurus rumah padahal dia tak dibebankan mencari nafkah. Bagaimana jika kami punya anak nanti? Apakah dia akan membiarkan anak kami tidak mandi-mandi, apakah dia akan membiarkan kotoran di dalam diapers? Atau dia akan meletakkan makanan bayi di dalam panci. Semua bayangan buruk itu membuat hatiku bimbang.

"Apa yang ibu katakan benar, kita beri dia kesempatan."

"Ya, sebenarnya bisa saja mencarikan pembantu untuknya, tapi dia takkan belajar, dia akan tetap bodoh mengurus rumah. Rezeki tak ada yang tahu, sekarang kau bergaji besar, besok belum tentu. Saat kau jatuh miskin tak mungkin menggaji pembantu, bukan? Tak ada cara lain selain mendidiknya. Jika dia diajari manja, dia akan tetap seperti itu selamanya."

Aku mencerna ucapan ibu, benar. Aku bekerja di perusahaan migas yang gajinya besar, perusahaan minyak dan gas milik luar negri yang berada di Provinsi Riau. Karena jatuhnya harga minyak dunia, perusahaan mulai mengurangi ratusan karyawan, atau memberikan pilihan pensiun dini dengan uang pesangon miliyaran rupiah.

Kami digaji berdasarkan harga dolar, semakin tinggi dolar semakin besar gaji kami. Sayangnya, perusahaan tempatku bekerja, mulai menutup salah satu cabangnya di salah satu kota kecil di Riau.

Tak menutup kemungkinan, PHK juga akan terjadi padaku, karena aku masih tergolong junior yang belum begitu diperhitungkan.

"Anto?" sapa Ibu menghentikan lamunanku.

"Ya, Bu."

"Di waktu yang kita tentukan ini, bersabarlah! Ibu juga akan membantu membuat Marni berubah, abaikan jika dia menangis, semua demi kebaikannya. Jika saja ibu adalah orang yang jahat, ibu akan memaksamu bercerai dan menikah lagi dengan wanita yang lebih baik. Akan tetapi, rasa kasihan masih ada di hati ibu, dengan harapan dia bisa berubah."

"Ibu benar, kita hanya bisa berusaha." Aku seolah meyakinkan diriku sendiri. Aku adalah imam, Marni tangung jawabku, sejak saudara laki-lakinya yang menjadi wali menikahkan kami, semua tentang Marni adalah tanggung jawabku. Mau tak mau aku harus memikulnya.

"Kita beri waktu dia tiga bulan. Jika tiga bulan dia tidak berubah, ibu akan serahkan keputusan padamu, Anto. Kau berhak mendapatkan wanita yang lebih baik."

Aku mengangguk. Bisakah dalam tiga bulan merubah Marni? aku sudah menghabiskan tiga bulan bersamanya dengan percuma. Dia masih Marni yang sama.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Amelia Kadmaerubun
lagi serunya eeee
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status