POV AntoMemberhentikan orang yang biasa melayani dan membeli kebutuhan rumah, memang sengaja kulakukan. Selain mengubah kebiasaan joroknya, aku juga mengubah Marni agar lebih mandiri dan tak bergantung pada orang lain. Entahlah! Aku merasa, Marni perkembangannya lebih lambat dari usianya, dia sudah dua puluh enam tahun, bahkan di usia segitu, wanita telah memiliki dua anak. Sifat perasa dan sering merajuk, atau suka meneteskan air mata pada hal-hal kecil, menjadi pemandangan yang setiap saat kudapati. Contohnya tadi siang, saat aku mengatakan sengaja memberhentikan orang itu, supaya Marni bisa belajar pergi ke pasar untuk belanja, dia langsung pergi dengan menampakkan wajah merajuk. Padahal aku belum selesai bicara, dia sudah pergi meninggalkan rumah. Sebuah sikap yang bagiku sangat kekanak-kanakan.Ingin kutahan langkahnya, akan tetapi, kuingin melihat sejauh mana keras kepala Marni kali ini. Orang yang keras kepala kadang ada kalanya dibiarkan agar jera sendiri.Tiga puluh menit
POV MarniBeberapa hari kemudian, aku menelpon supir Ayah mertua meminta beliau mengantarku ke rumah adik-adikku. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya dua puluh menit jika memakai mobil.Kami tinggal di kecamatan yang sama dengan Mas Anto. Namun, wilayahku agak terpencil dari kota, setelah jalan raya, kita akan masuk ke jalan tanah dan melalui kebun sawit yang amat luas. Mobil harus tahan banting karena jalan sering licin dan berlumpur saat musim hujan. Tak jarang truk pengangkut sawit terguling atau malah tenggelam ke dalam lumpur."Tidak usah ditunggu, Pak. Nanti saya telpon lagi," kataku pada pria yang rambutnya sudah memutih itu. Dia tersenyum dan mengangguk. Namanya Pan Yamin, supir keluarga Mas Anto, mungkin umurnya sebaya dengan Ayah mertua.Sebelum pergi bekerja beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan ilmu baru dari Mas Anto, dia mengajarkan bagaimana cara menelpon seseorang. Mas Anto beberapa kali kesal padaku, karena otakku tak kunjung menangkap apa yang diajarkannya. Maklum,
POV Marni"Apa tidak apa-apa, Kak?" tanya Leni untuk ke sekian kalinya padaku, saat kumematut diri di depan cermin dengan kepalaku yang botak.Antara sedih dan menyesal, sedih kehilangan rambut panjangku menyesal tak mencari tau lebih lanjut bahwa sebenarnya ada cara lain untuk menghilangkan kutu itu.Lihatlah diriku! Tampak aneh di cermin sana, kepala botak yang membuatku kehilangan kepercayaan diri."Kak," sapa Leni lagi, membangunkan lamunanku. "Sebenarnya ada apa? Kenapa kakak bertindak sejauh ini, setelah menikah, kakak banyak berubah. Apa ini karena Mas Anto?"Leni orangnya yang peka. Sejauh apa pun aku menghindar, dia akan tahu juga."Kau akan mengerti setelah kau menikah, banyak hal yang mesti dirubah demi menjaga hati suamimu, bahkan mengorbankan diri dan perasaanmu sendiri." Aku menunduk. Tidak, jangan ada air mata di depan Leni. Apa yang kurasakan cukup hanya aku saja yang tahu."Ibu dulu berkata, pernikahan itu akan indah jika kita menerima kekurangan." Mata Leni menerawan
POV AntoSepeninggal Doni, kuhanya tersenyum geli. Bagaiman bisa Doni memiliki kriteria wanita idaman seperti itu.Memang, selera yang aneh, aku juga tak habis pikir, bagaimana bisa Doni penasaran dan tertarik pada wanita yang berdiri kebingunan di tepi jalan raya? Bisa saja yang dilihatnya adalah wanita dungu dan bodoh, atau malah wanita yang baru gila? Di zaman yang canggih ini, nyaris tak ada orang yang tak mengerti dengan alat transportasi. Dengan adanya HP pintar, semua bisa dilakukan. Kecuali wanita yang dimaksud sama jenisnya dengan Marni. Itu lain perkara. Marni adalah jenis langka yang ditemui di zaman era digital sekarang. Marni, yang sayangnya adalah istriku sendiri. Marni tinggal di pelosok, rumahnya jauh dari kota. Untuk menuju rumahnya saja, kita harus melewati jalan tanah yang di kiri dan kanannya adalah kebun kelapa sawit milik perusahaan asing. Marni contoh orang pedesaan yang kuno dan bahkan tak mengerti cara menggunakan HP. Banyak hal yang tak dimengerti oleh Marn
POV anto"Apa? Ibu menyuruhnya belajar menyetir?" tanyaku tak percaya. Terkadang Ibu memiliki ide yang tak terduga, bahkan tak pernah terpikirkan olehku. Marni bahkan tak handal meletakkan tombol setrika secara tepat, tak jeli menyesuaikan mana yang panas dan paling panas. Sekarang ibu malah menyuruhnya belajar menyetir? Aku rasa itu sangat mustahil."Iya, apa salahnya? Agar dia lebih mandiri dan tak bergantung pada orang lain, zaman sekarang ilmu mengemudi itu penting. Nggak harus nunggu suami kalau mau ke mana-mana. Tidak perlu pusing naik angkutan umum arah ojek online.""Iya, tapi kalau bukan Marni, sah-sah saja. Ini Marni, Bu. Ibu tau sendiri, bagaimana cerobohnya Marni, bisa saja dia menabrak orang, atau dia yang kena tabrak." Aku mengusap keningku. "Marni itu hanya salah asuhan, bukan bodoh, tugasmu yang mengajari. Ibu walaupun tak suka padanya, dia sudah menjadi menantu, mau tak mau kita menerima dan mengajarkan dia berbagai hal. Termasuk menyetir."Aku tak bisa lagi membant
POV MarniKesal, tentu saja. Dipaksa pandai menyetir langsung paraktek di waktu yang sama lalu ujung-ujungnya menabrak tembok dan bagian depan mobil hancur. Apa Mas Anto lupa? Bahwa aku adalah orang kampung yang bahkan baru bisa menggunakan HP untuk hal-hal yang sederhana. Aku baru bisa menelpon dan SMS saja, tidak mengerti menggunakan internet. Lalu dalam hitungan hari, dia telah menyerahkan stir mobil padaku. Nampak betul dia tidak sungguh-sungguh. Belum lagi cara mengajarinya yang tak sabar sambil marah-marah. Aku malah menangkap marahnya dari pada ilmunya.Kulangkahkan kakiku, tak peduli dengan beberapa tukang ojek yang menawarkan jasa mereka. Tidak, aku tak mau lagi berakhir seperti waktu itu, dimanfaatkan orang dan hampir diperkosa, aku bahkan sering mimpi buruk terbayang wajah pria itu sampai saat ini.Sial beribu sial, sandal jepitku putus. Saking kesalnya, kubanting benda itu ke trotoar, seakan yang kubanting adalah Mas Anto. Semen trotoar yang panas tak kuhiraukan. Aku tau,
POV AntoAku tak bisa menahan tawa dengan pemandangan yang ada di depanku. Tak peduli dengan tatapan garang Marni yang terlihat seperti kucing tercebur, bagiku ini sangat lucu melebihi menonton film komedi. Marni handal membuat kejutan yang menakjubkan, dia bisa menjungkir balikkan emosiku dengan apa yang dilakukannya.Bahkan sejak empat bulan kami menikah, baru kali ini aku melepaskan tawa yang membuat perutku sakit. Lihatlah dia! Tak hanya aku yang tertawa, beberapa orang tak sengaja menengok pun menyembunyikan senyumnya agar Marni tak tersinggung. Hanya aku yang melepaskan tawa begitu saja.Marni sudah bangun dari got, air kotor dan lumpur bercampur sampah meluncur dari bajunya. Motor masih tergolek tak berdaya di tepi lapangan. Kulihat dia cemberut dengan bibirnya yang maju beberapa senti. Ya ampun, bahkan lumpur menempel di pipinya serta ada sampah makanan ringan menempel di jilbabnya, aku semakin sakit perut melawan tawaku. Selain lucu, pasti bau sekali. Berapa banyak pembuanga
POV AntoMarni bergayut ke leherku karena kakinya belum bisa dipijakkan secara utuh, jarak kamar mandi pun agak jauh dari ruang tamu kami. Terpaksa aku menuntunnya melewati lorong dan dapur terlebih dahulu.Tibalah saatnya momen yang paling menggelikan, saat aku harus membantu membuka celana Marni karena dia tak bisa membungkuk dan menekuk kakinya terlalu kencang."Pegangan!" perintahku. Marni mengangguk, aku membungkuk dan saat itulah keseimbangan Marni hilang, dia yang mengandalkan sebelah kakinya untuk berdiri utuh malah jatuh menimpaku, kami jatuh berhimpitan di kamar mandi. Ini bukan suasana romantis bagaikan film, karena Marni menjerit saat lututnya menghantam lututku. "Sakiiiiit," jeritnya. Air matanya sampai keluar. Aku sampai tak tau berniat apa dengan kesialan bertubi-tubi hari ini. "Kakimu kena?" tanyaku memastikan. Marni mengangguk. Benar saja, lututnya yang tadi lukanya telah tertutup terbuka lagi, mengeluarkan darah yang cukup banyak.Kunaikkan lagi celana panjang Mar