POV AntoDi hari pertama bekerja, aku merasa semangat baru membuncah di dalam hatiku. Sebentar lagi aku akan mempunyai teman baru dan suasana baru. Bekerja di perusahaan itu, tak seindah yang orang lihat. Sikut kiri kanan demi mendapatkan perhatian dari si bos dan mendapatkan jabatan, sudah biasa terjadi.Kupandangi tampilan diriku di depan cermin. Sudah rapi, rambut yang diberi gel dan disisir sempurna, baju kemeja lengan panjang dipadukan dengan celana bahan warna hitam. Hari pertama akan memberi kesan pada semua orang yang mengenal kita, jadi kita tak harus memperlihatkan yang terbaik.Marni muncul dari dapur, apron bunga-bunga kecil terpasang di dadanya. Dia tersenyum sambil memamerkan rantang warna biru yang berisi bekal makan siang. Walaupun dia merasa sebagai Marni SMP, dia tetap lihai dalam memasak."Ini, Mas!""Apa lauknya?""Ikan goreng sama sambal terasi."Sejujurnya aku tak suka dengan sambal terasi, bukan dengan rasanya, tapi baunya. Bahkan setelah beberapa kali cuci tan
Hari pertama bekerja, kami disambut dengan acara pembekalan, layaknya karyawan yang baru masuk, kami dibekali dengan berbagai hal. Acara perkenalan berlangsung seru, ada sekitar tiga ratus karyawan baru yang sama masuk denganku.Kulihat jam dinding kantor, sebentar lagi jam kerja usai. Aku rindu rumah, rindu menggoda Marni yang terkesan bodoh tapi menggemaskan.Bus karyawan sudah menunggu kami. Aku melihat Pak Joko yang mengkode diriku agar segera naik dan duduk di sampingnya. Sepertinya pria itu belum puas bercerita."Cukup lelah, ya, Anto. Atau karena aku sudah mulai tua.""Bapak masih muda, belum lima puluh tahun."Pak Joko tersenyum. Dia menepuk pahaku membuat aku agak kaget. "Kau laki-laki yang gagah dan kuat, beruntung Marni mendapatkanmu."Pak Joko tersenyum penuh arti yang bagiku sangat aneh. Aku sangat risih disentuh, bagiku tepukan di paha itu adalah sikap yang tak sopan."Ngomong-ngomong, di hari terakhir pembekalan, kita akan dibawa ke alam terbuka, sekaligus memperkenalk
POV AntoMarni telah tidur sejak jam sembilan yang lalu, dia paling tidak tahan saat melihat kasur. Baru masuk kamar saja sudah menguap.Aku masih geram dengan pengakuan Marni. Apa maksud Mawar mengatakan itu semua pada Marni yang polos dan tak mengerti apa-apa? Apakah dia ingin Marni sepertinya? Yang diperlakukan seperti piala bergilir. Untung saja Marni mengatakannya sehingga aku bisa meluruskan kembali. Ingin kudatangi rumah wanita itu, akan tetapi bertemu dengan Pak Joko membuatku tak nyaman. Benar kata orang, kita tak bisa menyimpulkan seseorang sebelum mengenalnya lebih dekat. Dulu aku menganggap Pak Joko sebagai pria yang sangat perhatian, walaupun beberapa rekan kerja menjauhinya entah dengan alasan apa.Kami baru saja pindah ke sini, tak mudah mendapatkan rumah nyaman yang membuat Marni amat senang tinggal di dalamnya. Mungkin aku yang harus lebih ketat menjaga Marni, misalnya menyruhnya mengunci pintu tanpa menerima satu pun tamu jika aku tidak di rumah.Bunyi bel menggangg
Kuusap perutnya yang mulai menonjol sedikit. Perpaduan diriku dan Marni tengah tumbuh di rahimnya. Alangkah bahagianya nanti saat dia lahir ke dunia, keluarga kami akan lengkap.Kuelus betis Marni, kulit halusnya membawa perasaan terbakar pada tubuhku. Dia bahkan tak melakukan apa-apa. Dia hanya tidur dan tak bergerak seperti patung. Tapi dia mampu memikatku yang selalu dingin pada perempuan."Mas?" Dia membuka matanya. Buru-buru dia menutup betisnya kembali."Tidurlah!""Mas mau apa?""Aku mau kamu.""Eh?" Marni mengerjap tak mengerti."Tidur saja, tak usah melihat. Tak usah bicara."Marni menurut, dia merebahkan tubuhnya kembali. Aku tersenyum licik, dokter menyuruh kurang-kurangi, bukan tidak boleh sama sekali. Akhirnya, malam indah dengan Marni yang selalu membuatku terpesona berlanjut juga. Dia candu yang memiliki rasa yang sempurna, membuatku selalu menginginkannya setiap saat.***Aku sengaja duduk di kursi paling belakang di dalam bus, berdampingan dengan Tendi yang tinggal di
POV Anto"Bagaimana rasanya? Enak?" tanyaku pada Marni yang makan dengan lahap. Kami memutuskan untuk makan di luar, sebuah kegiatan yang belum pernah kami lakukan sepanjang pernikahan kami. Rasanya seperti tengah berkencan, begitu manis dan romantis, walaupun tak ada pegangan tangan atau kata-kata cinta. Marni lebih tertarik dengan semua sajian di depannya dari pada aku suaminya. Pesonaku tak mempan pada Marni. Terasa aneh saat diabaikan.Kafe minimalis dengan menu aneka ragam itu, bahkan menyajikan es krim sebagai menu penutup. Selain tempatnya yang full AC, makanannya pun tak mengecewakan. Tempatnya bersih dan luas."Enak, sangat enak," sahut Marni mengangguk semangat. Dia telah menghabiskan sepiring makanan berat, dan segelas besar es krim buah. Akan tetapi tampaknya dia masih belum kenyang.Persis seperti anak-anak, dia tak mampu menyembunyikan wajah begitu gembira saat diberikan makanan kesukaannya. Inilah wajah paling cerah Marni sejak dia keluar dari rumah sakit setelah amnesi
Malam yang indah, Marni tak pernah minta ke bioskop, tak pernah minta dibelikan pakaian dan perhiasan mahal begitu terasa istimewa, walaupun dia memiliki banyak kekurangan. Kalau pun kami ke sini, ini bukan keinginannya, aku yang membawanya. Aku ingin memperkenalkannya pada makanan lain, selain sambal terasi.Kulihat langit yang gelap sekilas. Rasanya begitu mengesankan, sayangnya perasaan itu hanya milikku saja, sedangkan Marni malah terkesan ingin cepat sampai di rumah, nampak betul dia tak menikmati duduk berdua di atas motor kami."Katanya mau ngebut, ini sangat pelan, Mas. Aku tak sabar berjumpa dengan ranjangku."Bunga-bunga di hatiku rontok, bahkan langsung layu, jika tadi aku cemburu pada es krim dalam mulut Marni, kali ini aku cemburu dengan ranjang kami. Harusnya dia mengatakan dia rindu aku malam ini, tapi dia malah tak sabar bertemu dengan ranjangnya. Ya, posisi telah berganti, kini aku yang bertepuk sebelah tangan. Marni menghukumku dengan semua keadaannya.Sampai di rum
Pov MarniPrang! Tak sengaja aku menjatuhkan piring yang sedang kucuci. Benda itu pecah berderai mengahasilkan bunyi nyaring. Sejenak kurasakan kepalaku nyeri. Kuberjalan perlahan, mencari pegangan ke dinding, lalu duduk di meja makan."Apa? Kau tau? akan jadi apa dirimu jika kami membiarkanmu? Kau takkan jadi orang.""Iya, aku akan tetap jadi bodoh dan jorok. Bahkan setelah aku melakukan semuanya, Mas sama sekali tak menaruh hati padaku. Semuanya sia-sia. Aku menyukaimu, kamu tidak."Aku terjaga dari lamunanku, saat kilasan singkat itu datang begitu saja. Aku tersentak dengan nafas tersengal. Aku tau pasti yang terbayang itu adalah diriku dan Mas Anto. Wajah Mas Anto yang marah, menatap penuh kebencian, sementara aku tampak menyedihkan dengan wajah memelas dan ketakutan.Apakah itu yang pernah kami lalui saat aku belum amnesia? Mas Anto mengatakan bahwa kami saling mencintai, akan tetapi di kilasan itu, jelas menerangkan bahwa dia tak mencintaiku, cinta itu seperti Ibu dan Ayah, yan
Aku berjalan cepat ke arah pintu saat bunyi deru mobil disusul bunyi bel beberapa kali. Mas Anto pulang, wajah lelahnya terlihat jelas di mataku."Belum menyapu, Marni?" tanya Mas Anto melihat seisi rumah. Memang, aku baru selesai memasak, menyapu belum."Maaf, Mas. Belum."Mas Anto meletakkan tas kerjanya. Lalu mengambil sapu yang tergantung di dekat dapur. Kulihat dia mengerjakan pekerjaan rumah itu tanpa banyak bicara, bahkan tak menanggalkan baju kerjanya terlebih dahulu. Dia berbeda dengan Mas Anto yang berasa di kilasan ingatan itu.Sepuluh menit, rumah bersih, sampah makanan telah dikumpulkan Mas Anto dan dimasukkan ke tong sampah.Mas Anto duduk di sofa sambil menyandarkan tubuhnya."Mas, mau minum kopi?""Air putih saja, aku haus." Dia memejamkan matanya, tangannya diletakkan di dahi.Setelah mengambil air putih ke dapur, kusodorkan pada Mas Anto. Saat tangan kami bersentuhan, kurasakan tangan Mas Anto terasa panas dari pada biasanya."Mas sakit?""Mungkin gejala demam. Ambi