Ana terduduk lemas di depan ruangan dokter, otaknya terasa kosong, tak mampu untuk diajak berpikir barang sejenak.
Hilir mudik pasien yang masuk ke ruangan dokter menjadi pemandangan yang makin menyesakkan hatinya, kebanyakan dari mereka berbawah ceria dan senyum lebar, dengan langkah kaki pelan, seolah sangat takut kalau llangkah kaki yang terburu-buru akan membuatnya tak nyaman, dan yang membuat Ana makin iri adalah adanya seorang laki-laki yang mendampingi mereka, menggenggam lembut tangan mereka dan membimbingnya dnegan sayang.Hal kecil yang bagi Ana adalah sebuah kemustahilan.Ana memang bukan remaja ingusan yang baru saja melakukan dosa denganpacarnya dan membuatnya harus menanggung akibatnya sendirian, sedangkan sang pacar sudah punya gandengan baru dan ak mau tahu dengan urusannya. Bukan, dia wanita dewasa dan telah menikah, anak ini juga lahir dengan pernikahan yang sah.Anak ini memang diinginkan keluarga itu, Akan tetapi apakah nanSeperti malam-malam sebelumnya, Ana juga tak bisa tidur dengan nyenyak, matanya seolah diganjal dengan lidi, padahal tubuhnya sudah sangat lelah dan dia sadar betul kalau dia butuh istirahat, tubuhnya tidak akan sama lagi sekarang, ada bayi yang sedang tumbuh di rahimnya.Ana mengambil ponselnya dan membuka galeri di ponselnya, ada satu buah foto Raffael di ponselnya, Foto saat hari pernikahan mereka yang diam-diam Ana ambil dengan meminta salah satu staff EO, tentu saja dengan berbagai alasan yang logis. Mereka memang memakai jasa fotografer profesional yang diminta oleh orang tua Raffael, tapi sampai saat ini Ana tak pernah mendapatkan satu pun foto itu, bahkan di rumah ini tak ada satu pun foto dirinya, seolah kehadirannya di rumah ini hanya fatamorgana. Di foto itu meski diambil secara candid, tapi Raffael terlihat sangat tampan, seperti pangeran dari negeri dongeng saja. Memang benar adanya Raffael adalah pangeran yang akan mewarisi semua kekayaan
Ana mengerjapkan matanya, dia khawatir sudah tertidur dan hanya bermimpi, rugi banget bukan kalau dia sudah sangat senang tapi ini hanya mimpi belaka dan tak pernah jadi nyata. Ana sedikit mencubit lengannya sendiri dan terasa sakit, jadi bisa dipastikan dia tidak bermimpi, tapi tetap saja perkataan Raffael sulit untuk dia cerna dengan baik. “Ka... kamu yakin, Raf?” tanya Ana, hatinya entah mengapa tak sesenang yang dia kira. Raffael yang dia kenal tak pernah memperlakukannya sebaik ini selama mereka berstatus suami istri, bukankah perubahan yang mendadak juga patut dicurigai. “Tentu saja, bukankah seharusnya aku juga menyapa keluargamu.” Ana memandang Raffael sejenak, dia tak yakin suaminya yang selalu tampil tampan dan karismatik serta bau duit akan mampu hidup di rumah masa kecilnya. Oh, bukan karena rumah sang nenek tidak layak huni, setelah menjadi artis Ana memang membangun sebuah rumah seperti impian sang nenek, sede
Raffael menatap itu semua dengan hati yang berkecamuk, bingung harus berbuat apa, di satu sisi dia harus meneruskan rencananya untuk membalas dendam pada Ana yang telah memporakporandakan hidupnya, tapi di sisi lain Raffael juga manusia yang masih punya hati, dia tak mungkin membuat kecewa semua orang dengan bersikap tak sepantasnya. “Maksudnya pengaantin baru itu kita? Aku tidak tahu kalau kamu merencanakan acara seperti ini, memalukan,” gumam Raffael tajam di telinga Ana. Raffael bisa melihat mata indah Ana terbelalak mendengar ucapan tajamnya, tapi dia tahu kalau itu hanya kepura-puraan saja, dia pasti sudah merencanakan ini semua untuk semakin menjeratnya, apa dia telah salah menururti permintaan Bella hanya demi selembar tiket audisi, istrinya itu pasti tak akan menyangka kalau Ana sudah memasang jebakan untuknya. “Wah selamat datang di kampung kami,” kata beberapa orang laki-laki paruh baya yang berkumpul di sana, terlihat banyak sekali tamu yang
Ana bangun tidur dengan hati yang was-was. Benar saja tangannya sakit karena semalam dia tertidur miring dengan kaku seprti robot, sedangkan Raffael yang seolah tak berdosa menjadikannya seperti guling. Apa laki-laki yang menjadi suaminya ini terbiasa tidur dengan banyak wanita? Pertanyaan itu langsung mampir begitu saja ke otaknya, Raffael memang marah saat mereka ‘tidur besama’ malam itu, tapi perlakuan Raffael padanya saat mereka terpaksa harus tidur sekamar membuatnya berpikiran seperti itu. Atau karena aku sama sekali tak menarik hatinya, karena itu tak ada hal yang perlu dicemaskan, mungkin bagi Raffael dia hanya wanita yang menampung benihnya dan akan mengandung anak yang diinginkan oleh orang tuanya. Ana sadar selama ini tidak pernah melihat Raffael besama anak-anak, memang ada artis-artis cilik yang bernaung di bawah perusahaan managemannya, tapi Ana tak pernah melihatnya dekat dengan mereka, atau pun ada berita di infotemen
Tinggal di desa memang tak sepenuhnya menyebalkan. Memang tidak ada jaringan internet yang memadai dan juga mall yang bisa dia tuju jika membutuhkan sesuatu, tapi bagi Raffael pemandnagan indah juga sapaan ramah orang-orang yang bertemu dengannya membuat hatinya senang, padahal dia tidak mengenal mereka semua, sangat berlawanan memang dengan kehidupannya di kota yang jarang sekali berteur sapa dengan tetangga. Yang makin membuat Raffael cukup terkejut adalah, istrinya yang ternyata cukup oportunis, bagaimana tidak, sudah tyahu kalau dia biasanya hanya bekerja memegang kerja dan komputer saja, tapi di sini, Ana memintanya untuk membantu mengangkut kacang panjang hasil kebun neneknya. “Ana kamu itu masak suamimu di suruh angkat karung, nanti dia bisa sakit karena tak terbiasa,” kata sang nenek tak setuju saat Ana meminta suaminya ikut bersama seorang laki-laki sebayanya yang biasa bertugas mengangkut hasil panen neneknya. Dibela demikian Raffael
“Tiga hari lagi audisi akan diadakan, paling lambat besok undangan itu sampai ke rumah Raffael, kamu masih bisa berubah pikiran, tapi aku akan pastikan sendiri kondisimu dan bayi dalma kandunganmu baik-baik saja,” kata Adam di ujung sana, bahkan Ana belum sempat mengatakan halo. Dia memang masih tinggal di rumah neneknya, mungkin untuk dua hari ke depan atau entahlah sampai kapan, sebenarnya dia sangat senang tinggal di sini, tapi sekarang dia seorang istri tidak mungkin rasanya dia tinggal di sini tanpa dipandang negative oleh orang-orang. “Kamu tahu aku sangat menginginkannya, tapi Raffael akan langsung membunuhku kalau dia tahu aku syuting dalam keadaan hamil.” Belum hamil saja Raffael sudah mengacaukan semua kontraknya, apalagi kalau Ana sudah hamil, dan dia tahu benar itu dilakukan Raffael bukan karena perhatian padanya tapi karena ingin membuatnya gila saja. “Apa dia sudah tahu?” “Belum aku belum mengatakannya, aku belum siap,”
Raffael boleh saja orang yang sangat berkuasa di dunia entertaiment, mendengar namanya saja orang sudah segan, akan tetapi orang tuanya sudah mendidiknya dengan baik untuk menghormati orang yang lebih tua. Apalagi orang tua yang dimaksud adalah nenek dari istrinya yang tidak tahu apa-apa, Raffael tidak akansetega itu untuk menghancurkan hati wanita tua itu, apalagi selama ada di sini, sanga nenek sudah memperlakukannya seperti cucunya sendiri. Raffael segera memutuskan panggilannya dengan Bella secara sepihak, istrinya itu pasti bisa mengerti keadaan ini, apalagi ini semua juga rencananya. “Eh, itu, Nek.” Kenapa di saat seperti ini otak Raffael menjadi blank, dia bahkan tak bisa memikirkan satu pun alasan yang masuk akal, sang nenek memang tidak memandangnya dengan pandangan marah, tapi pandangan sayu yang membuat Raffael begitu tak berdaya, seolah dialah pendosa di sini yan sudah menganiyayanya. “Itu keponakan Raffael, nenek sempat
“Bagaimana mungkin kamu memberikan undangan itu untuk Bella, An?” tanya Adam sarat dengan kekecewaan begitu Ana mengangkat panggilannya. Ana yang baru saja sampai di kamarnya di rumah Raffael langsung berhenti melangkah. “Apa maksudmu, Mas, aku sama sekali tidak melakukannya.” “Tapi dia datang dengan undangan itu meski panitia menolak karena aku sudah menghubungi pimpinan Theater.” “Tunggu... tunggu sebentar, Mas di sini pasti ada kesalah pahaman, aku bahkan tidak menerima undangan itu, kami baru saja sampai... astaga!” “Kamu sadar sekarang betapa liciknya wanita itu,” kata Adam di ujung sana. Jika Adam mengatakan dengan kata-kata kasar atau kemarahan pada dirinya Ana hanya akan meminta maaf pada Adam untuk keteledorannya, tapi dia mengatakannya dengan kekecewaan, membuat Ana tak tahu harus berbuat apa, kata maaf saja mungkin tak akan cukup untuk kesalahan ini. Adam sudah sangat bekerja keras, tapi Ana sudah menolak semuany