Regina menutup pintu ruang kerja Dixon dengan dada perih. Ajakannya ditolak mentah-mentah dan dia diusir begitu saja. Ia memejamkan mata rapat-rapat untuk mengusir rasa lelahnya.Sepertinya Dixon tidak akan pernah mau datang ke ajakan makan malam orang tuanya. Harion pasti akan menerornya untuk terus mengajak Dixon.Ini sangat melelahkan. Regina menyeret langkah menuju kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat. Dixon pasti ingin bersiap sendirian untuk perjalanan bisnisnya dan tidak mau dibantu. Ia bisa diusir lagi jika ikut campur urusan pria itu.Ia berbaring di ranjang dengan seprei putih monoton itu. Aromanya seperti pengharum pakaian. Ukuran kasurnya tidak begitu luas, pas dengan tubuh Regina.Tekanan yang terus datang sejak ia masuk ke rumah ini dan teror dari ayahnya membuat Regina kelelahan dan terbuai dalam alam bawah sadarnya.Dia bangun pukul tujuh pagi, sedikit terlambat dari biasanya. Gadis itu bahkan tidak sempat mengganti pakaiannya sebelum tidur. Regina keluar kamar
Regina pikir ia bisa beristirahat dengan tenang setelah berhasil kabur dari kediaman Hadley. Ternyata tidak semudah itu. Ponselnya terus bergetar dan diserbu oleh telepon dari Harion.Harion masih menghubunginya setelah Regina keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sang ayah memang tidak bisa menyerah semudah itu.Reginalah yang lelah. Sampai kapan Harion akan terus meneleponnya? Ia memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.Ia tak perlu mengucapkan halo atau basa-basi lainnya, sebab suara Harion sudah menggelegar dari seberang telepon."Anak tidak tahu diuntung! Sudah kabur, tidak mau mengangkat teleponku juga! Kamu mau mangkir dari tanggung jawab, hah?!Regina memutar bola mata. " Tanggung jawab apa yang Ayah maksud?""Hah! Sia-sia aku membesarkan kalian! Yang satu kawin lari dengan pria lain, yang satu jadi sombong karena sudah menikah dengan Dixon Clark! Apa gunanya aku memiliki anak kalau begitu?! Kamu pikir membesarkan anak semudah itu?!"Lagi
Regina menjilat bibirnya gugup ketika panggilan itu tersambung. "Halo?" Suara Dixon yang berat dan dingin terdengar, memecut jantung Regina."Kenapa baru sekarang mengangkat telepon Ibu? Mentang-mentang istrimu ada di sini?"Napas Regina tertahan. "Regina ada di sana?"Speaker ponsel dengan jelas memperdengarkan suara Dixon. Sekilas Aria melirik Regina."Kamu tidak tahu istrimu ada di sini?"Kumohon, tolong jangan bilang apa pun, Dixon! Regina meremas jari jemarinya. "Dia sudah ada di sana? Kenapa pagi sekali?"Napas Regini meluncur saat senyum Aria kembali muncul dan tatapan curiganya memudar. "Ibu memaksanya datang pagi?""Siapa bilang? Regina memang orang yang rajin, iya 'kan, Sayang?" Regina berusaha memasang tawa ringan saat Aria lagi-lagi menatapnya dengan mata berbinar. "Jangan menekannya. Dia masih perlu beradaptasi."Dixon terdengar seperti suami yang perhatian. Padahal di apartemen dia begitu dingin bahkan tidak punya niat untuk menghubungi Regina sedikit pun selama di
Regina mulai belajar merangkai bunga dari Aria. Ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Aria cukup sabar mengajarinya dan tidak mengeluh sedikit pun. Sang ibu mertua juga menjelaskan cara merawat bunga sesuai jenisnya.Mungkin ia bisa sering-sering datang ke sini sesuai harapan Aria. Setidaknya ia tidak perlu menghadapi sikap dingin Dixon di apartemen atau mendapatkan tekanan dari ayahnya."Sulit, ya?"Regina mengusap tengkuk malu. "Ini memang sulit di awal. Tidak masalah kalau belum rapi. Jika dikerjakan terus-menerus, maka kamu akan menikmatinya dan menyadari kegiatan ini sangat menyenangkan sekaligus menenangkan."Bukan hanya itu yang menyenangkan. Meskipun canggung, tapi Regina senang bisa menghabiskan waktu seharian bersama Aria. Rasanya seperti ia mendapatkan kesempatan yang selama ini tidak pernah diberikan Georgina padanya.Keheningan yang cukup lama mengisi suasana di taman. Yang terdengar hanya suara gemerisik daun dan gunting yang bergerak lincah merapikan buket. "Dixo
Dua hari setelah Regina pulang dari kediaman Clark, Aria kembali mengundangnya untuk merangkai bunga. Ia merasa tidak enak jika harus bertemu Delin dan Xavier lagi."Kapan Dixon akan kembali?"Regina membeku. Dia sama sekali tidak tahu soal itu karena Dixon tidak pernah meneleponnya sekali pun."Di-dia masih ada pekerjaan." "Baiklah, kamu bisa datang lagi besok? Kita bisa mencoba resep baru yang kudapat dari internet.""Iya, aku akan datang.""Sampai jumpa di rumah besok~" Aria terdengar sangat bersemangat.Regina menatap layar ponselnya dengan cemas setelah telepon dari Aria berakhir. Haruskah dia menghubungi Dixon dan bertanya soal kepulangan lelaki itu? Tapi Dixon bisa saja berpikir jika dia terlalu ikut campur dan sok akrab. Ia bisa membayangkan suara dingin Dixon yang menganggapnya seperti pengganggu.Pintu tahu-tahu berbunyi dan sosok Dixon yang hanya memakai kemeja muncul. Regina menahan napas. Hawa di dalam apartemen seketika berubah dingin. Dixon tidak mengucapkan apa-apa
“Apa yang kalian lakukan di sini?!”Suara tajam Dixon mengalihkan perhatian kedua orang itu. Regina menoleh dengan cepat dan melihat Dixon dengan tatapan dingin menghampiri mereka. dia berhenti di depan mereka. tatapan matanya turun memandang tangan Regina dan Xavier yang terjalin di atas gelang. Ekspresinya sangat gelap.Regina tersadar dan sontak melepaskan tangannya dari gelang itu. dia entah mengapa merasa bersalah seolah tertangkap basah sedang berselingkuh. Namun dia bingung ingin menjelaskan bagaimana pada Dixon.Xavier yang kemudian tersenyum dan menyimpang gelang Regina di saku jasnya.“Hai, Dixon. Kamu hendak ke kamar mandi?” Dia bertanya basa-basi pada sepupunya.Namun ekspresi Dixon tidak ramah dan dingin.“Kamu yang kamu lakukan di sini dengan istriku, Xavier?” Dia bertanya dengan tatapan menusuk pada pria itu.Senyum di wajah Xavier tidak pudar.“Aku perlu menggunakan toilet, kebetulan bertemu dengan istrimu dan sekalian mengembalikan gelang Regina,” ujarnya sambil terse
“Bagaimana bisa begitu. Itu gelang palsu. Kembalikan padaku, aku akan ganti dengan yang lain.” Regina tetap merasa malu karena memberikan barang palsu pada seorang tuan Muda kaya seperti Xavier.Regina berjinjit-jinjit cemas ingin mengambil gelangnya dari tangan Xavier.Pria itu tertawa menggodanya dan semakin menjauhkan gelang itu dari Regina.“Aku suka gelang ini, dan kamu sudah memberikannya padaku yang berarti ini adalah milikku,” kekehnya dengan suara main-main.“Xavier, aku yang merasa malu memberikan barang palsu padamu!” Regina berjinjit-jinjit dengan cemas ingin mengambil gelang itu.Xavier tetap menjauhkan gelang itu dari jangkauan Regina sambil tertawa. Mereka tampak tidak menyadari masih ada orang lain di tempat itu yang memandang mereka dengan tatapan gelap.Sebagai seorang suami, perasaan pria itu cukup buruk melihat istrinya bermain-main dengan pria lain, terutama sepupunya.Regina merasa pinggangnya tiba-tiba ditarik ke belakang menjauhkannya dari Xavier dan sebuah len
Dixon berpamitan pada ibunya pulang duluan bersama Regina sekembalinya mereka dari toilet tanpa melepas tangannya dari istrinya.Dixon mengendarai mobil sendiri pulang ke apartemennya. Sepanjang perjalanan tidak ada berbicara di antara mereka.Regina terus memandang keluar jendela tenggelam dalam kesedihannya.Dixon meliriknya dari ujung mata dan berkata dingin, “Kamu marah karena gelang itu?”Regina menoleh menatapnya sebelum berbalik memandang keluar jendela. Dia ingin mengeluh dan memprotes.Namun menggigit bibirnya menelan kembali keluhannya dan berkata datar, “Tidak.”Sudut bibir Dixon berkedut dan wajahnya tanpa ekspresi saat dia berkata, “Lalu kenapa kamu diam dari tadi dan tidak berbicara denganku?”“Memangnya apa yang harus aku bicarakan? Kita bahkan jarang berkomunikasi,” gumam Regina tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.Dixon terdiam dan melirik istrinya sesaat dengan tatapan agak rumit sebelum mengalihkan pandangannya ke depan.“Jangan bertemu dengan Xavier lagi. A