“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kian yang langkahnya terhenti begitu melihat Helga duduk di sana seorang diri.Helga tersenyum. Wajahnya terlihat agak pucat. Tidak biasanya, wanita itu kini tidak mengenakan riasan di wajahnya. Meski begitu, ia justru terlihat sangat cantik.Kian teringat saat dulu ia pernah tidur bersama Helga dan terbangun di pagi, melihat wajahnya yang polos tanpa riasan. Helga persis terlihat sama seperti waktu itu.Wanita itu menghampiri Kian dan kemudian memeluknya. Ia menyandarkan wajahnya di dada Kian. Seandainya ia bisa menjauhkan Helga dari tubuhnya, ia akan melakukannya dengan tega. Namun, melihat kondisinya yang seperti ini, Kian justru ingin memeluknya dengan erat.Hanya saja, ia tidak balas memeluknya begitu saja. Ada terlalu banyak mata yang melihatnya. Jadi, terpaksa Kian pun melepaskan pelukan Helga.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kian yang berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan kekhawatirannya.“Aku sudah baikan. Aku hanya perlu banyak istir
Ucapan Helga seminggu yang lalu masih terus mengusik Kian. Ia yakin sekali jika terjadi sesuatu pada wanita itu, tapi Kian memilih untuk tidak banyak bertanya. Jika ia sampai tahu yang sebenarnya dan ternyata itu adalah sesuatu hal yang buruk, maka ia mungkin akan langsung jatuh lagi ke pelukan wanita itu.Kian sekuat tenaga untuk tetap bertahan bersama Laureta, istrinya yang kini bersikap berbeda setelah kejadian di rumah sakit itu. Andai saja Laureta mengetahui lebih banyak lagi tentang Kian dan Helga, mungkin Laureta akan langsung meninggalkannya.“Menurutmu, apa pakaianku sudah cukup segini?” tanya Laureta sambil menunjukkan isi kopernya pada Kian.“Ya, aku rasa sudah cukup. Kalau sampai ada yang kurang, nanti kita beli saja di sana,” kata Kian kalem.Laureta mengangguk. “Baiklah. Kamu kan sudah pernah ke sana. Memangnya udaranya bisa lebih dingin dari kulkas?”Kian terkekeh. “Ya, bisa jadi. Kamu harus membawa vitamin dan jangan makan sembarangan supaya tidak sampai sakit.”“Oke.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Laureta naik pesawat jet pribadi. Pesawatnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung enam belas orang. Laureta terkesima dan takjub melihat kemewahan yang tidak akan pernah ia alami jika ia tidak menikah dengan Kian.Meski perasaannya masih belum menentu semenjak kejadian di rumah sakit itu, tapi untuk saat ini Laureta bisa disebut berhasil mengesampingkan perasaannya. Ia duduk bersebelahan dengan Kian. Kursinya begitu mewah dan besar. Ia bisa meluruskan kakinya tanpa ada yang menghalangi.Semua orang tampak bersemangat untuk pergi berlibur, termasuk Elisa yang biasanya selalu saja cemberut dan tidak menunjukkan tanda-tanda ramah. Untuk pertama kalinya Elisa tersenyum pada Laureta karena sang kakak duduk di sebelah kirinya berdua dengan suaminya.Erwin duduk di belakang sang ibu bersama Helena, anaknya Marisa yang bungsu. Sementara Renata duduk dengan Feliska, adiknya.Laureta melirik ke arah Erwin yang sedang me
Dua jam terlewati. Laureta tidur pulas sekali. Kian tersenyum. Istrinya itu tampak polos sekali saat tidur. Kian tergoda untuk menciumnya.Ia pun menunduk, lalu mengecup bibir Laureta. Saat ia menoleh ke samping, Erwin sedang melihat ke arahnya. Kian pun dengan santai duduk kembali. Biar saja mata Erwin terbakar karena melihat mantan kekasihnya kini menjadi istrinya.Sesuatu yang dingin seolah menjalar di dadanya. Nama Helga mengganggu hati dan pikirannya. Ia telah mengkhianati Laureta meski tidak secara langsung. Ia ingin menjauhi Helga, melupakan wanita itu dengan sekuat tenaganya.Namun, begitu wanita itu jatuh sakit, hati Kian langsung terguncang dan bimbang. Menyadari akan hal itu membuat Kian membenci dirinya sendiri. Ia tidak suka akan perasaan seperti ini, membuatnya merasa seperti seorang pengecut.Kian berjanji untuk mencintai Laureta karena wanita itu adalah istrinya dan memang ia merasa nyaman dan dicintai oleh wanita itu. Perasaan cinta Laureta tulus apa adanya. Namun, me
Laureta megap-megap seperti yang kehabisan napas. Ia tak menyangka jika Kian akan menciumnya seperti itu. Hasratnya bergejolak, gairahnya mendidih di bawah kulitnya.Lidah Kian menyapu bibirnya, memberikan efek geli hingga Laureta pun bergetar. Lututnya terasa lemas.Kian tidak berhenti sampai di sana. Pria itu dengan gigih mencumbunya, memaksa bibirnya untuk terbuka. Lalu lidah mereka pun saling sapa.Area bawah tubuh Laureta berkedut-kedut hingga mengalirkan sesuatu yang basah dan licin. Laureta pun memeluk leher Kian, memberinya akses untuk menyentuh tubuhnya dengan leluasa.Kian pun menyambut undangan Laureta. Tangannya langsung menggerayangi tubuhnya, tapi sentuhannya tidak begitu terasa karena ada banyak kain yang menghalangi. Ia membuka jaket Laureta dengan terburu-buru. Ciuman mereka pun terhenti, napas keduanya terengah-engah.“Sudah kubilang. Seharusnya jaketnya tidak usah sebanyak ini,” ucap Laureta sambil menautkan alisnya. Ia kesal karena jaketnya agak sulit untuk dibuka.
Ucapan cinta dari mulut Kian sungguh membuat hati bergetar. Laureta merasa hatinya terasa hangat. Hidupnya begitu sempurna karena memiliki seorang suami yang mencintainya.Mungkin ada banyak permasalahan yang terjadi padanya selama ini, tapi semua itu sungguh terbayarkan karena Kian tidak membiarkan Laureta terus terlarut dalam kesedihannya. Sepertinya hal itu akan menjadi hal yang normal dalam kehidupan rumah tangganya.Kunci dalam keharmonisan rumah tangga salah satunya adalah bumbu-bumbu pertengkaran. Sejauh ini, Laureta masih bertahan dan bisa memaafkan Kian dengan setulus hatinya.Malam itu benar-benar menjadi malam yang sempurna. Laureta tidur dalam pelukan Kian. Biasanya jika di rumah, ia hanya akan bertahan selama beberapa menit hingga akhirnya melepaskan diri karena pelukan Kian semakin lama terasa panas dan membuat tangannya jadi pegal.Namun, kali ini Laureta merasa nyaman dalam pelukan Kian karena udaranya amat sangat dingin. Pemanas ruangan berfungsi dengan sangat baik, t
Laureta melihat-lihat ke sekelilingnya dan merasa takjub. Orang-orang di sana rata-rata bertubuh tinggi dan tentu saja wajah mereka seperti bule. Laureta merasa seperti yang sedang masuk ke dunia film.Berbagai hiasan natal tidak hanya berada di hotel atau restoran saja, tapi hampir di seluruh jalan. Laureta mendongak dan melihat lampu yang dibentuk seperti lonceng, tapi karena ini masih pagi jadi lampunya belum dinyalakan. Seharusnya nanti malam, tempat ini akan terlihat jauh lebih indah lagi.Laureta jadi tidak sabar untuk berjalan-jalan lagi nanti malam. Namun, pemandangan pagi hari pun tidak kalah cantiknya. Udaranya sangat dingin, tapi ada sedikit matahari yang mengintip di atas sana, membuat gedung-gedung terlihat menyala keemasan.Setengah jam berlalu, Laureta dan Kian sama-sama menikmati keindahan kota dengan berjalan kaki. Lalu Kian mengajak Laureta untuk masuk ke salah satu toko. Dari luar saja Laureta sudah bisa mencium aroma coklat yang gurih.
Rasanya, baru saja ia makan ini dan itu, Kian sudah mengajaknya pergi lagi ke restoran untuk makan siang.“Kian, apa tidak salah? Kita makan terus hari ini,” ujar Laureta.“Sejak tadi kan kita jalan kaki jauh ke sana dan ke sini. Sudah seharusnya kita makan terus. Udara dingin membuat tubuh kita membutuhkan pembakaran yang lebih banyak supaya kita tidak kedinginan. Masa hal itu saja kamu tidak tahu?”Laureta terkekeh. Ia pasrah saat Kian menunjuk salah satu meja. Lalu mereka duduk di sana berdua.Kian melepaskan sarung tangannya, lalu meremas tangan Laureta yang kedinginan. Ia menggosok-gosok tangannya dan kemudian menghangatkannya dengan uap dari mulutnya.“Masih dingin?” tanya Kian.Laureta tersenyum. “Kalau kamu yang pegang, aku langsung merasa hangat.”“Kamu ingin aku memegangmu di mana lagi?” tanya Kian.“Kamu mulai menggodaku lagi. Aku ingat sekarang kalau