Reksi berhenti berjalan. Ia menoleh sambil menatap Laureta. “Aku juga tidak tahu, Ta. Aku merasa kalau aku bisa berpacaran dengan Erwin sekarang itu tidak diawali dengan cara yang baik. Aku seperti yang sudah merebut pria itu darimu walaupun sebenarnya kalian sudah resmi putus.
“Aku terus menerus memikirkan tentang hal itu. Hanya saja, aku sudah lelah untuk terus berpikir berlebihan. Aku jalani saja apa yang ada. Sebenarnya, aku sadar kalau di hatinya tidak ada aku. Dia hanya mencintaimu, Ta. Dia memang tidak bisa berpindah ke lain hati.”
Laureta menggelengkan kepalanya. “Reksi, semua ini hanya akan menyakitimu. Aku bukannya menyuruhmu untuk putus, tapi aku akan lebih bahagia jika melihat sahabatku bersama dengan pria yang juga mencintainya. Kamu berhak untuk dicintai, Reks.”
“Terima kasih, Ta. Maafkan aku atas segala yang telah aku perbuat padamu.”
“Tidak apa-apa, Reks. Aku sudah ikhlas.”
&ldqu
Laureta hanya bisa terbaring lemah di kursi tahap kedua. Ia meringkuk sambil memegang keresek karena khawatir muntah lagi. Hati Kian ketar-ketir sambil membawa mobilnya. Ia jadi teringat pada Adinda saat ia sakit. Semua orang pergi, hanya ada Kian yang mengurusnya. Adinda pun muntah-muntah dan badannya lemas. Tidak ada makanan yang bisa diterima oleh badannya. Kian khawatir jika Laureta mengalami hal yang sama seperti Adinda. Jadi, ia segera membawa istrinya ke rumah sakit. Ia mengebut sepanjang jalan, lalu menepi ke IGD. Ia memarkirkan mobilnya secara miring, tak peduli meski ia menghalangi mobil orang lain. Seorang satpam menghampirinya dan langsung mengambil alih. Kian mendahulukan untuk menggendong Laureta dan membawanya ke dalam IGD. Untuk ke sekian kalinya dalam waktu dekat ini, ia terus menerus ke rumah sakit. Kian sedih sekaligus khawatir. Dengan cepat para perawat mengurus Laureta. Ia mendapatkan ruangan yang lebih luas dan besar dari tempat lainnya. Badan Laureta agak de
Saat itu, udara tidak terlalu dingin seperti sebelumnya. Kian pergi ke Hyde Park dengan menggunakan taksi daring. Langkahnya terasa berat karena ia tahu jika pertemuan ini mungkin tidak akan berakhir dengan baik.Hatinya sungguh tidak tenang. Kian sempat berpikir untuk mengabaikan Helga dan memilih untuk pergi dari sini. Ia bisa berjalan kaki sampai ke hotel, sekalian ia berolahraga.Namun, Kian sudah berkata bahwa ia akan menemui wanita itu. Apa jadinya jika Helga menunggunya di sana sampai membeku? Kemarin ini, wanita itu baru saja bolak-balik rumah sakit karena hal yang sepertinya Kian terlewati. Helga belum menceritakan semuanya.Tidak seharusnya Kian masih mempedulikan wanita itu. Untuk itu, Kian membalikkan badannya dan merasa seperti orang bodoh. Sayangnya, rasa penasarannya terlalu tinggi. Sebelum ia benar-benar pergi dari sana, ia mencoba mengecek keberadaan Helga.Kian berhati-hati dengan menutup kepalanya menggunakan tudung dari jaketnya. Ia menunduk sambil melirik ke sana
Helga sedang menelepon seseorang dan berbicara dalam bahasa Inggris. Kian cukup mendengarkan bahwa Helga akan segera pergi ke apartemen temannya itu.Helga selesai menelepon dan berjalan menuju ke halte bus. Kian sengaja bersembunyi di dekat rambu lalu lintas hanya untuk memperhatikan wanita itu pergi.Tidak biasanya, Helga naik kendaraan umum. Hati Kian tidak tenang. Dengan decakan kesal di mulutnya, Kian pun terpaksa menghampiri wanita itu. Ia berhasil memegang tangan Helga sebelum wanita itu naik ke bus. Kian membuat wanita itu terkejut.Beberapa orang memperhatikan mereka seolah khawatir jika Kian adalah orang jahat. Namun, Kian pun melepaskan tangannya dan berkata, “Kamu tidak boleh naik bus sendirian.”“Memangnya kenapa? Aku sudah sering sekali naik bus, tidak masalah.”“Aku tetap akan menemanimu sampai ke apartemen dengan selamat,” ucap Kian dengan nada yang tidak bisa dibantah lagi. Diam-diam, Helga mengulum senyumnya.Mereka berdua sama-sama naik bus dan duduk bersebelahan. H
Seminggu setelah Laureta pulang ke rumah, kondisinya tidak juga lebih baik. Ia sudah bisa makan, tapi beberapa waktu tertentu ia bisa muntah-muntah lagi. Kepalanya pusing terus menerus. Rasanya tubuhnya lemas tak bertenaga.Laureta sempat memaksakan dirinya untuk melakukan pemanasan dan mencoba mengangkat barbel untuk menyegarkan dirinya. Namun, ia hanya bertahan selama lima menit saja dan tidak ingin melanjutkannya lagi.Ia bingung harus melakukan apa karena tidak ada yang bisa ia lakukan selain makan dan tidur. Hatinya sedih dan bingung harus bagaimana lagi. Sakitnya tak kunjung sembuh.Laureta memainkan ponselnya dan kemudian ia melihat tanggal yang tertera di bagian atas ponselnya. Sekarang sudah bulan Februari, tapi Laureta masih juga belum datang bulan. Seketika hatinya mencelos.Ia membuka laci nakas dan kemudian mengeluarkan alat tes kehamilan yang pernah ia beli waktu itu. Ia benar-benar takut sekali menggunakan alat ini karena ia belum pernah melakukannya.Dengan jantung yan
“Halo, Sayang,” sapa Kian di telepon. “Kamu sedang apa? Sudah makan siang belum?”“Halo, Kian. Aku sudah makan. Kalau kamu sudah makan belum?”“Belum. Tadi aku sedang sibuk, jadi belum sempat makan siang,” ujar Kian sambil meregangkan sebelah tangannya ke atas.“Ya ampun. Kamu pasti sibuk sekali.”Kian terkekeh. “Iya. Sebentar lagi aku mau pergi makan siang. Bagaimana keadaanmu? Apa kepalamu masih suka pusing?”“Ya, ada pusing sedikit. Tadi Adinda membawakanku makanan sup ayam kampung. Apa namanya tadi?” tanya Laureta. Lalu terdengar suara Adinda yang menjawab. “Oh, namanya cia po.”“Oh, cia po. Baguslah kalau begitu. Tumben di sana ada Adinda.”“Iya, Adinda sengaja datang ke sini untuk mengantarkanku makanan.”Kian tersenyum. “Sampaikan salamku pada Dinda ya.”“Oke.”Sete
Sekarang atau tidak selamanya. Clara pikir, ia tidak akan pernah mendapatkan apa yang ia inginkan dari Kian. Bosnya itu tidak akan membalas cintanya meski ia sudah jungkir balik sekalipun. Jadi, tak ada ruginya jika ia mengkhianati Kian kali ini.Clara pun mengangguk dengan cepat. “Baik, Bu. Baik. Uhm, sebenarnya …, Pak Kian memang …, beliau memang baru mengenal wanita itu.”“Aha!” seru Elisa. “Lalu bagaimana?”“Ayahnya pernah bekerja di The Prince dan mengambil uang kantor sebesar satu setengah milyar. Pak Kian memasukkan orang itu ke penjara dan mengambil putrinya.”Elisa menautkan alisnya. “Mengambil putri siapa?”“Putrinya orang yang sudah mengambil uang perusahaan, Bu. Namanya Pak Reno.”“Untuk apa Kian mengambil seorang anak perempuan?” tanya Elisa heran.“Ma-maksud saya …, anak dari Pak Reno itu adalah Laureta.”
Elisa pulang ke rumahnya dengan penuh kekesalan. Ia menjerit-jerit di mobil sambil memukul setirnya. Ia kesal dan benci sekali pada Kian. Adiknya itu benar-benar egois dan jahat sekali karena ingin menghak milik The Prince seorang diri.Selama ini, Elisa pun bukannya diam saja. Ia juga turut memajukan perusahaan meski memang Kian yang lebih banyak bekerja keras. Ayahnya malah memberikannya usaha yang lain, yaitu ekspor ikan di mana kondisi perusahaannya sangat berantakan.Elisa yang membenahi usaha itu dari awal, membuang orang-orang yang selama ini menjadi benalu dalam perusahaan. Butuh usaha ekstra untuk menjadikan perusahaan itu stabil kembali.Ayahnya selalu memberikan hal yang sulit dan kacau balau padanya. Seolah Elisa dilahirkan ke dunia ini untuk membereskan segala kekacauan sementara Kian mendapatkan bagian yang paling enak.Semua orang pun tahu kalau The Prince adalah usaha yang paling menghasilkan keuntungan terbesar. Sementara Elisa harus puas
Pagi itu, Elisa sedang duduk di meja makan untuk sarapan. Menunya adalah Bubur Manado kesukaannya. Ia biasanya bisa makan dengan lahap, tapi tidak hari itu.Setelah semalaman tidak tidur nyenyak, Elisa jadi merasa lelah di pagi hari dan sama sekali tidak bersemangat. Matanya agak sembab karena terlalu banyak menangis.Erwin baru saja duduk di sebelahnya. Ia menatap Elisa, tidak biasanya ia berkomentar. “Mama kenapa?”Elisa menoleh. “Kenapa apanya?”“Wajah Mama seperti yang tidak segar. Apa Mama sakit?”Elisa menggelengkan kepalanya. “Mama tidak sakit. Mama hanya kurang tidur saja.”“Siapa yang kurang tidur?” gelegar ayahnya yang baru saja memasuki ruang makan.Wajah Elisa langsung berubah masam. Ia tidak mau menyapa ayahnya dan memilih untuk membuang wajah.“Selamat pagi, Kek. Itu Mama kurang tidur katanya,” jawab Erwin sopan.“Apa kamu sakit,