Kian bertanya, “Kenapa? Bukankah rumah ini sangat nyaman?”“Tidak!” seru Laureta. “Aku terkurung di kamar ini dan tidak tahu harus berbuat apa!”Kian jadi merasa bersalah karena telah pergi tadi pagi tanpa mengatakan apa-apa pada Laureta. Wanita itu pasti bingung jadinya. Namun, tetap saja ia kesal dengan kata-kata Laureta.Lalu Laureta duduk dan menatap Kian lurus-lurus. “Kamu kan kaya raya, banyak uangnya. Bisa tidak, kamu beli lagi saja rumah baru? Lalu kita pindah ke sana.”“Untuk apa?” tanya Kian sambil menautkan alisnya, heran.“Aku tidak suka tinggal di sini!” rengek Laureta. “Kamu kan bisa membeli rumah yang dekat dengan The Prince. Jadi, kamu tidak usah jauh-jauh pergi ke sana. Sepertinya ada perumahan elit di dekat sana. Bagaimana? Ide bagus bukan?”Kian menyipitkan matanya curiga. “Apa itu karena Elisa?”Laureta terdiam sejenak sambil menurunkan pandangannya. “Anggap saja begitu.”“Kamu serius? Apa yang sudah dia lakukan padamu? Apa kamu bertemu dengannya lagi hari ini? Apa
Malam itu, Laureta sudah tertidur pulas. Suara dengkurnya terdengar pelan di sebelah Kian. Lalu Kian memiringkan badannya supaya ia bisa melihat wajah Laureta dengan jelas.Wanita itu tampak cantik meski sedang tertidur. Kian mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Laureta, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin mengganggu tidur Laureta.Semakin ia perhatikan, Laureta jadi terlihat semakin manis. Ia teringat saat tadi siang wanita itu datang ke The Prince sambil mengenakan kaus dan celana jeans. Sungguh hal itu di luar perkiraannya. Bagaimana bisa Laureta membantah perintahnya? Tak ada satu pun orang yang berani melakukannya.Lalu ingatan saat Laureta melemparinya dengan uang hingga terkena matanya saat mereka baru pertama kali bertemu, Kian tidak akan pernah lupa akan hal itu. Laureta memang bukan jenis wanita yang bisa ia atur seenaknya.Mungkin ia harus memperlakukan Laureta dengan lebih manis lagi supaya wanita itu mau rela saat bercinta dengannya, turut menikmati setiap
Laureta dan Kian masuk ke dalam ruang periksa dokter. Wajah Kian tampak tidak bersahabat. Ia diam saja, lalu duduk di kursi tepat di hadapan sang dokter. Sementara, Laureta diminta untuk langsung berbaring di ranjang periksa.Laureta gugup setengah mati. Ia belum pernah diperiksa kandungannya. Ia tidak tahu, apa yang akan dokter itu lakukan padanya, jadi ia hanya bisa berdoa sambil berharap semuanya baik-baik saja.Dokternya berusia sekitar awal lima puluh tahun. Rambutnya tampak tipis, tapi kumisnya lumayan lebat. Dari caranya memandang, sepertinya dokter itu sangat berpengalaman. Semoga saja dokter itu bisa diandalkan, doa Laureta dalam hati. itu melihat catatan medis yang baru ditulis sedikit oleh sang perawat di bagian depan. Di sana terdapat catatan tanggal terakhir menstruasi dan siklus haidnya yang tiga puluh hari.“Sudah berapa lama nikahnya?” tanya dokter itu pada Kian.“Baru satu minggu, Dok,” jawab Kian.“Oke. Sebentar, saya periksa dulu rahimnya ya.”Laureta langsung tega
Laureta mundur beberapa langkah. Pikiran rasionalnya memperingatkannya untuk tidak mendekati bahaya. Baginya, Erwin hanya akan menjadi bencana dalam kehidupannya.Erwin menatapnya sambil memiringkan kepalanya. “Ayo! Mau naik tidak?”Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak mau! Aku tidak mau ikut denganmu!”Sepertinya Erwin kesal karena ia kemudian memutar bola matanya. Jendela mobil sebelah kiri tertutup. Erwin pasti sudah menyerah. Ia akan menunggu sampai Erwin pergi dan kemudian menyeberang jalan untuk naik angkot ke arah yang berbeda.Namun, ternyata Erwin turun dari mobil dan menghampirinya. Laureta terkesiap dan seketika jantungnya berdebar kencang. Ia merasa dirinya lemah sekali. Seharusnya ia berlari saja supaya Erwin tidak bisa mengejarnya. Sayangnya, semua itu sudah terlambat.Erwin sudah berada di hadapannya. “Kamu sedang menunggu Pak Karsa? Dia tidak akan datang karena dia sedang mengantar nenekku arisan.”“Hah? Arisan?” Laureta mendengus kesal. Kalau Erwin tidak memberitah
Laureta mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap jika ia tidak pernah tertarik lagi pada pria itu. Namun, mengapa rasanya sulit sekali.“Ada apa?” tanya Erwin. “Kenapa kamu tidak mau pulang? Apa kamu tidak bahagia tinggal di rumah itu? Baru juga kamu menikah berapa hari.”Aduh gawat. Seharusnya Laureta tidak berkata seperti itu. Ia jadi terkesan seperti yang tidak bahagia.“Bukan begitu. Aku hanya belum bisa melanjutkan kegiatanku secara normal. Kian masih belum mengizinkanku mengajar zumba. Jadi, kalau aku pulang ke rumah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rumah itu begitu besar, tapi aku masih belum merasa seperti rumah sendiri.”Erwin mengangguk. “Aku mengerti. Jadi, bagaimana? Apa kamu mau aku antar ke studio senam? Atau mau ke tempat fitnes?”Laureta merasa penawaran Erwin bagai air segar di tengah gurun pasir. Namun, apakah ia boleh menerima kebaikan Erwin seperti ini?“Kian pasti akan mencariku dan nantinya dia akan menyalahkanku,” kata Laureta sambil menunduk.“Ak
Sudah lama sekali, Laureta tidak menonton ke bioskop. Terakhir kali ia ke sana sekitar setahun yang lalu. Waktu itu, Laureta dan Erwin menonton film horor. Laureta mengantuk karena bosan, sementara Erwin ketakutan setengah mati hingga ia tidak berani ke kamar mandi.Jika mengingat hal itu, Laureta jadi ingin tertawa. Erwin seperti anak kecil yang berlindung di balik punggung ibunya. Kalau saja ia tahu Erwin takut menonton horor, seharusnya mereka tidak menonton film itu.“Aku rasa, kita pulang saja,” ujar Laureta. “Kamu tidak akan bisa menonton film horor. Nanti kamu ketakutan sendiri.”“Tidak!” tukas Erwin. “Sekarang ini aku suka menonton film horor. Film yang sekarang sedang tayang sepertinya seru. Kamu pasti suka.”“Film apa?”Erwin mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan cuplikan filmnya. Sepertinya memang seru. Namun, ia cukup yakin jika Erwin pasti tidak akan suka film seperti itu. Ucapannya bahwa ia menyukai film horor terdengar palsu.“Sudahlah. Nanti lagi saja menontonnya. Aku
Laureta pun berbalik. Wanita itu tampak cantik dan anggun dengan mengenakan gaun biru tua dengan bagian rok yang mengembang kaku. Kerah bajunya dihiasi dengan kancing berwarna silver. Warna bajunya yang gelap terlihat kontras dengan kulitnya yang putih dan mulus. Wanita itu mengenakan riasan wajah yang tipis, tapi justru membuatnya terkesan sangat cantik dan elegan.Laureta jadi malu pada dirinya sendiri yang hanya mengenakan kaus dan celana panjang. Meski begitu, ini adalah pakaian yang bermerk dan Kian sudah setuju ia mengenakan pakaian ini.Ia mengangguk sopan pada wanita itu. “Ya, Bu?”Wanita itu tersenyum. “Jangan panggil aku ibu. Aku ini Marisa, adiknya Kian. Kamu sudah lupa padaku ya?”Laureta langsung meringis. “Oh ya, Kak Marisa. Maafkan saya karena saya lupa.”“Tidak apa-apa. Lain kali, kamu harus ikut acara sarapan bersama supaya kita semua bisa saling kenal ya.”“Ya, Kak.”Marisa berjalan semakin mendekat pada Laureta. Ia melihat Laureta dari atas ke bawah seolah sedang me
“Aduh, gawat! Aku harus bagaimana, Kak? Uhm, aku tidak bermaksud untuk menghindari acara sarapan, tapi kebetulan waktu itu aku bangunnya kesiangan. Kian sudah pergi lebih dulu dan tidak memberitahuku apa-apa.”Marisa tersenyum sambil menepuk tangan Laureta. “Tidak apa-apa, Laureta. Tenang saja. Yang penting, mulai besok kamu harus ikut sarapan ya.”“Iya, Kak.” Laureta meringis. Sepertinya ia bisa menangis lagi setelah Marisa pergi. Ia sungguh malu dan takut sekali.“Oh ya, Kian juga memintaku untuk mengenalkanmu pada beberapa teman-teman sosialitaku. Sebenarnya, hal itu agak sulit karena aku dan teman-temanku sudah memiliki circle-ku sendiri. Kamu bisa mulai mencari teman-teman yang baru. Kamu bisa ikut denganku ke beberapa acara. Biarlah kamu secara natural mendapatkan teman. Benar begitu kan?”Laureta mengangguk. “Iya, Kak.”Aneh rasanya jika sampai teman-temannya saja harus Kian yang mengatur. Dan mengapa harus berasal dari golongan sosialita? Permintaan Kian sungguh sulit sekali.