Pagi sekali Abel sudah terbangun ia bahkan mendahului Leon yang masih tertidur pulas. Abel segera mandi dan mengambil baju yang ada di paper bag. Semalam Leon mengatakan itu baju baru untuknya, Abel mengambil celana pendek dan kaos oversize. Ia akan mengunjungi pantai sebentar selagi Leon masih tertidur dan sebelum Leon terbangun. "Leon aku pergi sebentar, jika kau bangun kau tidak akan mengizinkan aku untuk melihatnya." Abel buru-buru keluar, sekarang langit bahkan masih terlihat sedikit gelap baru selesai subuh. Abel tersenyum hawa dingin yang menusuk kulitnya, untungnya ia sudah jaga-jaga membawa jaket. Abel mendekat ke pinggir pantai membiarkan jari-jari kakinya tersentuh air. Kedua mata Abel terpejam, hawa di sekitar pantai sangat enak, sangat sejuk terlebih di pagi hari seperti ini. "Pantai, Abel kembali datang tetapi tidak lagi bersama mama dan papa. Abel datang bersama suami Abel!" ucapnya lirih. Andai jika orang tuanya masih ada, pasti sangat seru jika mereka dapat bermai
Bruak! Kakek Abi melempar berkas yang baru saja dia terima, amarahnya meluap begitu mengetahui jika selama ini Abel dan Leon telah mempermainkan dirinya. "Berani sekali anak ini!" Kakek Abi menghembuskan napas kasar, kelakuan Leon kali ini mengingatkan dirinya pada putranya sendiri. "Ayah dan anak tidak ada bedanya, suka membuatku pusing!" Kakek Abi memijit kepalanya yang terasa pusing. Ia mengambil berkas yang dikirim secara anonim kepadanya. Siapa pelakunya, pasti ada yang tidak menginginkan hubungan Leon dan Abel. Meskipun mereka telah membohongi dirinya, entah mengapa ia merasa jika keduanya sudah saling suka. "Alex, selidiki siapa yang mengirimkan berkas anonim ini kepadaku!" ucap Kakek Abi pada tangan kanannya di telepon.Kakek Abi menghembuskan napas panjang, ia melihat biodata Abel yang jauh berbeda dari yang Abel ceritakan kepadanya. "Bagaimana bisa bocah kencur itu membodohiku. Lihat saja Leon apa yang bisa kakek lakukan kepadamu!"Angel yang mendengar suara gebrakan di
Setelah pertengkaran yang terjadi, hubungan Leon dan Abel yang tadinya baik-baik saja kini kembali terasa asing. Abel yang kecewa dengan ucapan Leon dan Leon dengan egonya yang tinggi enggan meminta maaf. Jadilah kini dua orang yang tinggal dalam satu atap, tetapi terasa seperti orang asing. Udara dingin malam tak membuat Abel beranjak dari balkon kamar, dia terlalu menikmati keindahan dari sana. Di tempat ia duduk Abel dapat melihat keindahan pantai dan gemerlap indahnya langit di malam hari. Meskipun tubuhnya sudah cukup menggigil, Abel memang tidak terlalu tahan dengan udara dingin dia bisa saja demam malam harinya jika tidak keesokan harinya akan terserang flu. Mengetahui hal itu tetap tidak membuat Abel masuk ke dalam, ia malas bertemu Leon. "Aku sudah menjalani pernikahan tipuan ini selama tiga bulan, aku rasa aku masih bisa bertahan untuk sembilan bulan lagi. Jika aku di haruskan mengandung, memang waktunya tepat setelah aku melahirkan pernikahan ini sudah berjalan satu tahun
"Ingin aku hangatkan?" Kedua mata Abel membulat, wajahnya bersemu seketika. Ucapan Leon barusan terdengar sangat ambigu. "Lepaskan aku, Leon!" sentak Abel. Dia terus memberontak, membuat Leon kesal sendiri dan memilih jalan pintas. CupAbel terdiam seketika saat benda kenyal menyentuh bibirnya, awalnya hanya kecupan biasa siapa yang menyangka Leon justru memperdalan ciuman mereka. Tangannya menarik rahang Abel, Leo tersenyum tipis saat Abel tidak melakukan penolakan sama sekali. Ia mengigit kecil bibir Abel melesatkan lidahnya ke dalam. Abel sampai memukul dada Leon berulang kali merasa udara sekitarnya mulai menipis. Hah"Kau gila Leon! Kau ingin membunuhku!" teriak Abel, dia menghiruo udara dengan rakus membuat Leon tertawa melihatnya. Ibu jari Leon mengusap bibir Abel lembut yang langsung dapat tepisan dari sang empunya. "Minggir!" Abel mendorong tubuh Leon agar dirinya dapat beranjak. Leon terus memperhatikan Abel yang terlihat kesal masuk ke dalam kamar mandi. Leon mengambil
Leon menatap lekat kontrak pernikahan baru yang Abel buat, kurang menunggu tanda tangan darinya saja. Entah mengapa hatinya terasa berat untuk sekedar menandatangani surat itu. "Cepat! Apa yang kau tunggu, Leon," desak Abel. Leon tersenyum miring. "Kau terlihat sangat ingin lepas dariku Abel? Justru hal itu semakin membuatku enggan untuk melepaskanmu, apa saat ini kau mulai membenciku?" Abel terdiam tangannya meremat kedua tangannya gugup. "Bukankah itu yang kau janjikan, aku hanya tidak ingin kau mengingkarinya dan satu hal lagi, aku akan hamil dengan cara inseminasi." Leon terdiam mendengarnya, ia tidak langsung menjawab. Justru saat ini Leon bangkit mendekat ke arah Abel. "Kau yakin, Baby? Kau bahkan tidak ingin aku sentuh?" kekeh Leon. Abel menepis tangan Leon di bahunya, ia melangkah mundur menatap Leon lekat. "Aku memang tidak ingin kau sentuh! Tanda tangani kontrak itu Leon dan kita bisa segera memulai prosesnya."Abel berlari masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Leon langsun
Leon tersenyum tipis saat melihat Abel yang masih pulas dengan tidurnya. Tangannya membelai pipi Abel perlahan, ia memberikan kecupan singkat di sanal. "Sayang, bangun. Kamu nggak lapar?" Leon sendiri tidak menyangka jika akan terbangun sesiang ini. Sedangkan Abel dia tetap memejamkan matanya meskipun sudah terbangun dari tadi. Ia malu untuk sekedar menatap wajah Leon, Abel bahkan menahan perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi. Leon terkekeh, ia sadar jika Abel hanya pura-pura tidur karena itu dia ingin mengusilinya kembali. "Aku lapar sayang, kalau kamu nggak bangun-bangun ganti kamu yang aku makan. Aku masih kuat loh," bisik Leon sembari mengecup leher Abel pelan. Abel menggeliat menjauh menutup kepalanya dengan selimut. "Kamu makan duluan sana, aku masih ngantuk, Leon!" ucap Abel dengan suara lirih. Ia sangat berharap Leon segera pergi, agar Abel bisa segera membersihkan dirinya. "Aku maunya makan sama kamu, udah siang loh ini. Emang kamu nggak mau mandi? Tubuh kamu nggak leng
"Kamu suka?" Abel mengangguk pergelangan tangannya tak terlepas dari tangan Leon. Keduanya sudah tidak lagi merasa canggung meskipun terkadang Abel masih merasakannya. Abel mengajak Leon berhenti di pinggiran pantai, menunggu senja yang sebentar lagi akan tiba. "Leon, kamu tahu? Pantai selalu menjadi saksi kebahagiaan aku dengan keluargaku. Aku kangen banget sama ayah, kangen banget sama mama." Abel tersenyum tipis. "Kamu mau ketemu sama mama? Kalau ternyata mama kamu masih hidup gimana, By?" Abel menggelengkan kepalanya. "Mungkin aku senang, tapi hal seperti itu nggak akan mungkin terjadi Leon. Kalau mama masih hidup, mama nggak akan biarin semua ini terjadi sama aku. Mama aku sayang banget sama aku, mama nggak akan biarin aku terluka. Kalau benar mama masih hidup, mama pasti akan langsung nemuin aku." Abel menghapus air matanya yang mengalir. "Maaf, udah bikin kamu jadi sedih. Luka karena kematian sampai saat ini memang belum ada penawarnya. Tapi sekarang kamu punya aku, aku sua
"Kau dari mana?" Leon langsung memeluk tubuh Abel erat, ia tak mengucapkan apa pun. Namun, pelukannya pada tubuh Abel semakin erat. Tangan Abel perlahan naik mengusap punggung Leon pelan. Entah apa yang terjadi Abel tidak mengerti. Namun, saat ini ia merasa jantung Leon berdetak sangat kencang. "Apa yang terjadi Leon? Apa semuanya baik-baik saja?" Leon tetap diam, tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja. "Kenapa dia meninggalkanku Abel? Apa salahku? Apa dia memang tidak pernah menginginkanku?" Leon menyembunyikan wajahnya di bahu Abel. Namun, Abel dapat merasakan jika bajunya basah. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang di maksud Leon. Abel tetap membiarkannya dia akan menunggu sampai Leon sendiri yang menjelaskannya. "It's okay, sekarang kamu punya aku. Apa pun yang terjadi kamu bisa cerita semuanya sama aku!" ucap Abel. Leon melepaskan pelukannya menatap lekat ke arah Abel. Saat itu Abel dapat melihat air mata Leon yang mengalir di wajah tampannya. Pri