Abel yang masih terbawa mimpinya masih saja terisak dan tanpa sadar dia memeluk tubuh Leon erat. "Tolong aku, aku takut!" ucapnya dengan suara bergetar.
Leon mengepalkan tangannya, dia sungguh membenci suara tangisan wanita. Kedua matanya terpejam Leon mencengkram tubuh Abel yang memeluknya. Anehnya tidak membuat gadis itu merasa sakit justru semakin menempel kepadanya."Hentikan tangisan jelekmu itu, aku tidak segan merobek mulutmu saat ini juga!" ancam Leon.Tidak ada respon, tangisan Abel pun sudah terhenti. Leon lantas menatap ke arahnya ia sedikit terheran saat melihat gadis itu sudah kembali tertidur lelap. Leon menghembuskan napas panjang, ia berdecak kesal."Menyusahkan!"Leon mengangkat tubuh Abel membaringkannya di ranjang. Ia menatap lama wajah lelap gadis itu yang beberapa menit yang lalu berteriak dan menangis ketakutan. Kini terlihat seperti bayi yang sangat lelap dengan tidurnya. Leon mengusap wajah kasar dia tidak akan terpikat dengan Abel, tidak akan pernah!Leon menarik selimut sampai batas leher Abel, mengambil laptop dan berkas kerjanya melanjutkan perkerjaannya di sofa. Leon sudah berusaha untuk tidur, tetapi matanya sangat susah untuk terpejam. Leon sudah terbiasa menghabiskan malamnya dengan pekerjaan dia hanya bisa tidur selama tiga jam dalam satu hari.Leon turun membuat coffe untuk menemani malam panjangnya. Sedangkan Abel, dia cukup terkejut saat terbangun dalam keadaan dia di ranjang. Dengan cepat dia memeriksa tubuhnya melihat pakaiannya masih lengkap membuatnya cukup tenang. Abel mencari keberadaan Leon di seluruh penjuru kamar, tetapi tidak dapat ia temukan.Sampai Abel melihat berkas kerja dan laptop yang masih menyala di sofa. Tak lama pintu terbuka memperlihatkan Leon yang kembali dengan secangkir coffe di tangannya. Abel segera melihat jam yang sudah menunjukkan pukul dua pagi.Abel menghampirinya sembari berkacak pinggang dengan tatapan mata galaknya. "Hei, Tuan muda. Kau tidak melihat jam berapa sekarang? Apa yang kau lakukan, bukannya tidur malah minum kopi. Kau ingin mati muda, hah!" cetusnya. Omelan yang tanpa sadar dia ucapkan."Bukan urusanmu!" cetus Leon, dia kembali fokus dengan laptopnya membuat Abel menghembuskan napas kesal."Tidak, hentikan pekerjaan bodohmu ini! Apakah orang kaya sepertimu suka menyiksa diri sendiri. Cepat tidur, atau aku akan melaporkanmu pada Kakek Abi!" ancam Abel.Leon menatapnya tajam, mengulas senyum miring dia mendekati Abel yang semakin berjalan mundur. "Kau takut? Bukankah baru saja kau mengancamku?" Abel mendorong tubuh Leon dengan kuat."Siapa yang takut? Aku tidak takut. Terserah kau akan tidur atau tidak, tapi yang jelas saat ini aku sudah sangat mengantuk. Tapi tempatku kau gunakan untuk bekerja bagaimana bisa aku tidur!" Protes Abel."Tidurlah di ranjang."Abel menghembuskan napas kesal, susah sekali membujuk orang seperti Leon untuk tidur. Dia memutar otak sampai ia teringat jika Kakek Abi pernah bilang. Leon sangat susah untuk tidur karena dia menderita insomnia. Abel berpikir apa yang bisa dia lakukan agar dirinya bisa membuat Leon memaksakan dirinya untuk tidur tanpa harus mengancam keselamatannya."Tuan muda, orang yang tidak pernah tidur di malam hari adalah teman dari kelelawar. Apakah Anda satu spesies dengan mereka?" Leon menghunuskan tatapan tajamnya membuat Abel menunjukkan cengiran lebarnya."Makanya tidur dong! Kalau nggak mau ...," ucap Abel terpotong saat tiba-tiba Leon mendorongnya sampai terjatuh di ranjang kedua matanya melotot dengan cepat menahan tangannya pada tubuh Leon yang menindihnya."A-apa yang kau lakukan! Lepaskan aku." Ucapan Abel tergagap. Ia merasa gugup dengan jarak sedekat ini. Terlebih netra hitam Leon yang menatap intens ke arahnya."Kau semakin berani!" bisik Leon semakin membuat tubuh Abel gemetar."Ah, aku memang bodoh. Maafkan aku Tuan muda, aku tidak akan menganggumu lagi. Pergilah! Lanjutkan pekerjaanmu, aku akan melanjutkan tidurku. Tolong lepaskan aku, aku berjanji tidak akan menganggu waktu bekerjamu lagi!" ucap Abel dengan senyum terpaksa.Leon tersenyum miring. "Aku akan tidur berdua denganmu!" Abel semakin dibuat terkejut saat Leon menggendong tubuhnya membaringkannya di ranjang lalu memeluk tubuhnya erat. Leon benar-benar membuat Abel terbujur kaku.Abel seakan tak bisa berkutik dengan apa yang Leon lakukan. Dia membeku begitu saja, bahkan tak menolak dengan apa yang Leon lakukan. Bibirnya terkunci begitu saja. "A-aku sudah gila, bagaimana mungkin aku membiarkan dia tidur seenaknya memelukku," ucap Abel dalam hati.Tanpa sadar sudut bibir Abel sedikit terangkat begitu melihat wajah polos Leon saat tertidur terlihat sangat tampan dan menggemaskan. Dia terlihat seperti bayi berbeda saat pria itu terbangun terlihat menyeramkan dan menyebalkan. Tanpa sadar tangan Abel terangkat memgusap wajahnya pelan."Astaga, a-apa yang aku lakukan! Aku sudah gila dan lihatlah! Apa Kakek Abi membohongiku, dia tidak terlihat seperti orang insomnia. Dia bahkan tertidur sangat pulas," celoteh Abel.Abel berusaha sekuat mungkin untuk menyingkirkan tangan Leon dari atas tubuhnya. Akan, tetapi terasa sangat berat bahkan Abel merasa sangat kesusahan. Leon sendiri bahkan tak ada pergerakan sama sekali meskipun ia menguncangkan tubuhnya berulang kali."Leon, kau membuatku susah napas!" ucap Abel dengan suara melasnya.Sekarang Abel merasa dia yang akan terjaga semalaman. Dengan Leon seperti ini Abela tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Leon memang senang menyiksanya!****Abel terbangun lebih dulu, lebih tepatnya dia benar-benar terjaga semalaman karena ulah Leon. Abel melihat Leon yang masih pulas dengan tidurnya. Abel dengan hati-hati menyingkirkan tangan Leon yang menindih perutnya, cukup berat. Abel menghembuskan napas panjang, menyebalkan sekali pria satu ini.Abel mencepol rambutnya masuk ke kamar mandi setelah cuci muka dan sikat gigi. Abel segera pergi menuju dapur ini adalah hari kedua dia tinggal dan Abel ingin memasak untuk keluarga barunya terlebih ada Kakek Abi di sini. Abel menyapa para pembantu yang sudah aktif di rumah besar ini. Rasanya pagi ini tidak semenyeramkan kemarin mungkin karena adanya Kakek Abi yang membuat Leon tidak akan berani macam-macam."Selamat pagi, Nona Abel." Abel tersenyum dia mengambil beberapa bahan masakan yang ingin ia buat.Tidak ada yang melarang dirinya untuk bekerja mereka membebaskan Abel melakukan apapun. Abel meregangkan otot-otot tubuhnya sebelum tangannya dengan terampil menjadikan bahan mentah itu menjadi sebuah masakan yang sangat lezat. Cukup lama Abel berkutat di dapur sampai hidangan yang dia buat telah matang. Bau harum menyeruak di seluruh ruangan dapur."Baunya sangat sedap, Nona." Puji Bi Asih, Membuat Abel tersenyum kecil."Bi tolong rendang ini nanti di tata di meja makan ya. Saya mau mandi dulu!" Bi Asih mengangguk, segera mengerjakan apa yang Nona mudanya perintahkan.Sedangkan Abel tepat saat pintu kamar dia buka bertepatan dengan Leon yang lagi-lagi hanya menggunakan handuk di pinggangnya dan membiarkan dadanya bertelanjang. Abel buru-buru memalingkan wajahnya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air dari rambut basah Leon mengalir di dada bidangnya membuatnya terlihat sangat mempesona."Kau! Lagi-lagi kau seperti ini, kau membuat mataku ternodai." Leon menatapnya datar. Namun, saat matanya melihat Kakek Abi menatap ke arah mereka dengan cepat dia menarik tangan Abel dan menutup pintu kamar mereka."Ah, lepas! A-apa yang kau lakukan!"Leon menghempaskan tubuh Abel ke ranjang dia mengambil tisu lalu mengusap tangannya bekas menyentuh Abel tadi. Membuang tisu itu ke sembarang tempat, Abel yang melihat itu merasa kesal. Apakah dia kotoran sampai Leon bersikap sangat berlebihan seperti itu. "Dasar Pak tua sombong! Memang siapa yang mau menyentuhnya lagian dia duluan yang menyentuh tubuhku," gerutu Abel. "Aku sudah memperingatkanmu! Masih berani memakiku, hm?" Jantung Abel hampir lepas saat Leon tiba-tiba mengukung tubuhnya, jarak wajah mereka sangat dekat. Membuat Abel dapat melihat dengan jelas kedua netra gelap milik Leon yang menatapnya sangat tajam. "A-aku tidak memakimu, lepas! A-apa yang kau lakukan." Ucapan Abel tergagap membuat Leon tersenyum miring, tangannya mengusap rambut Abel pelan lalu semakin kuat bahkan sampai terasa seperti jambakan. "Aku benci rambut panjang, kau tahu harus melakukan apa, Baby?" Abel mendesis sakit akan jambakan tangan Leon pada rambutnya dia
Kedua mata Abel terpejam saat Leon semakin mendekat ke arahnya. Jantungnya berdegub sangat kencang saat merasakan benda dingin menari di wajahnya. Kedua mata Abel mencoba terbuka sedikit untuk melihatnya betapa terkejutnya ia saat melihat pisau kecil di tangan Leon. Abel yang akan berteriak suaranya tercekat begitu saja. Tatapan mata Leon sangat menyeramkan. Ya Tuhan apakah hidupku akan berakhir hari ini juga! batin Abel. Leon tersenyum devil, pisaunya menari di wajah Abel satu tangannya bergerak lalu dengan cepat pintu kamar yang hampir rusak itu tertutup dengan rapat. Meninggalkan Abel dan Leon berdua, Abel pasrah. Dia benar-benar tidak perduli jika hidupnya akan berakhir hari ini juga. "Katakan yang sejujurnya, apakah kau mengenal wanita itu?" tekan Leon, pisaunya tepat ia arahkan pada leher Abel. Leon benar-benar akan membunuhnya sedangkan Abel dia memberanikan diri menatap mata tajam Leon. "Siapa? Ibumu? Jika memang aku mengenalnya apakah kau akan membunuhku? Bunuh saja aku L
"Selamat pagi suamiku!" Leon yang baru saja terbangun terkejut melihat wajah Abel yang sangat dekat dengannya, yang semakin membuatnya terkejut adalah Abel berani mencium pipinya.Abel tersenyum sangat ceria, dengan berani menarik tangan Leon agar segera bangun. "Segeralah mandi, aku sudah menyiapkan air untukmu. Aku akan turun untuk membuatkan kamu sarapan!" ucap Abel dengan suara cerianya. "Berani sekali dia menciumku!" Leon mengusap pipinya kasar lalu masuk ke kamar mandi. Kali ini ia kembali dibuat kebingungan. Air yang Abel siapkan baunya sangat harum dan di bak mandi bertabur banyak sekali bunga mawar. Apakah karena kejadian semalam membuat otak Abel tergeser? Kenapa pagi ini dia menjadi sangat aneh. Leon memejamkan matanya, aromaterapi yang Abel berikan baunya memang sangat harum. Leon menyukainya, dia mandi lebih lama dari biasanya. Tubuhnya yang pegal terasa lebih baik sekarang, Leon segera keluar karena dia akan ada rapat pagi ini. "Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu,
Abel terlihat sangat cantik dengan gaun hitam yang sangat pas di tubuhnya, gaun sepanjang mata kaki dengan belahan sampai paha. Rambut yang di gelung ke atas menunjukkan leher jenjangnya. Make up tipis di wajahnya membuat wajah Abel berkali lipat terlihat cantik. Kini dia tinggal menunggu kedatangan Leon. "Anda sangat cantik, Nona!" puji perias Abel, sembari menundukkan kepalanya. Abel tersenyum tipis menatap pantulan dirinya di cermin, dia memang terlihat cantik dan menawan. Abel sangat yakin dengan kesempurnaan paras yang Tuhan berikan mampu membuat Leon terpesona kepadanya. Cepat atau lambat Leon akan bertekuk lutut di hadapannya. Pintu kamar terbuka, kedatangan Leon membuat mereka semua segera pergi kecuali Abel yang mengulas senyum manis ke arah Leon. "Suamiku, kau sudah kembali!" Abel berjalan mendekat ke arahnya membantu melepaskan jas yang Leon kenakan. Leon menatapnya intens, menepis tangan Abel dari tubuhnya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Abel yang melihat itu berdecak
Bugh! Abel menutup mulutnya begitu Leon melayangkan pukulan di wajah Aldi sampai pria itu terpental. Ia terdiam kaku tak bisa berbuat apa pun saat seorang wanita menahannya dan Leon terus memukul Aldi secara membabi buta. Anehnya tidak satu pun dari mereka berani melerainya. "Leon hentikan!" teriak Abel, kedua matanya berkaca-kaca dia takut melihat Aldi yang sudah berlumur darah.Abel menyentak tangan wanita yang menahan lengannya berlari ke arah mereka dia melindungi Aldi yang hampir mendapat pukulan lagi dari Leon. "Ku mohon hentikan!" ucap Abel dengan suara bergetar. Napas Leon memburu, kedua tangannya mengepal menatap Abel dengan tatapan membunuhnya. "Kau bahkan sampai memohon untuk pria itu!" Leon menggendong tubuh Abel bak koala meninggalkan pesta itu begitu saja. Tangannya mencengkram pinggang Abel membuat gadis itu meringis. Leon melempar tubuh Abel ke dalam mobil. Dia mengemudikan mobil itu sendiri dengan kecepatan yang tinggi. "Leon kau gila, hah! Pelan kan laju mobilmu
"Pasien membutuhkan darah secepatnya. Golongan darah O negatif sedang habis di rumah sakit ini!" jelas Pak Dokter.Kedua tangan Leon mengepal, dia menatap tajam pada dokter pria tersebut membuatnya langsung menunduk ketakutan. "Cepat carikan pendonor untuk istriku, jika sampai dia kenapa-napa nyawamu taruhannya!" ucap Leon semakin membuat tubuh dokter itu bergetar. Leon segera menghubungi nomor anak buahnya agar segera mencarikan donor darah untuk Abel. Leon menghembuskan napas panjang. Dia tidak menyangka jika Abel akan melakukan hal senekat ini. "Tenanglah, Baby. Kau akan selamat, aku Leonardo Richard tidak akan membiarkan mangsaku mati dengan mudah." Leon tersenyum miring, dia meninggalkan rumah sakit untuk menemui seseorang yang mungkin bisa membantu dirinya. ****"Nyonya, Anda baik-baik saja?" Marshanda memegang kepalanya yang sedikit pusing dia merasakan sakit pada dadanya. Marshanda tidak dapat mengingat jelas apa yang sudah terjadi kepadanya. "Safira, di mana aku? Apa yang
"Bagaimana mungkin wanita itu masih hidup!" Botol berisi wine dia lempar, sampai terdengar suara pecahan yang cukup nyaring. Dia terlihat sangat murka saat mengetahui musuhnya masih hidup. Kedua tangannya mengepal, matanya menyorot tajam pada sebuah foto keluarga yang dia tusuk dengan pisau. Ia tersenyum miring. "Aku tidak akan membiarkan hidupmu bahagia. Setelah kau menghancurkanku, kau akan melihat bagaimana mereka menatapmu dengan penuh kebencian.""Siapkan tiket untukku, sudah saatnya aku bertemu dengan dia." ****Leon menatap Abel yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Sudah tiga hari dan gadis itu belum juga sadarkan diri, entah mengapa dia mulai merindukan ocehan Abel yang tidak berguna. Setelah gadis itu bangun apakah dia akan sangat membencinya. Selamat pagi suamiku! Aku hanya ingin membuat suamiku jatuh cinta kepadaku. Ucapan Abel tempo hari lalu terngiang di kepala Leon, dia menghembuskan napas kasar menatap lekat wajah cantik istrinya. "Bangunlah! Kau tidak ingin
Marshanda menghembuskan napas panjang, menatap rumah yang sudah lama tidak dia tapaki. Dia tidak menyangka jika akan kembali ke rumah ini lagi, setelah penghinaan yang dulu dia dapatkan. Marshanda dengan ragu mengetuk pintu berwarna putih itu, jika bukan karena ingin bertemu dengan Abel, Marshanda tidak akan pernah datang ke rumah ini lagi. "Nyonya!" Bi Asih yang membukakan pintu nampak terkejut sekaligus senang saat melihat majikannya kembali setelah bertahun-tahun pergi. Marshanda tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu, Bi. Bagaimana keadaanmu?" Bi Asih tersenyum, melihat majikannya yang terlihat semakin cantik, Bi Asih sedikit membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan kepada majikannya. "Kabar saya baik, Nyonya. Silahkan masuk, Tuan besar dan Tuan muda pasti senang saat melihat Anda kembali." Marshanda hanya diam mengikuti Bi Asih masuk. Bahkan setiap sudut rumah itu tidak berubah, tetap sama seperti dulu sebelum dia pergi. Hanya saja foto keluarga yang dulu terpajang besar