Bab 5 Aku Mau Kamu Menderita
Siang itu, sinar matahari begitu terik. Setelah memarkir motornya, Bening bergegas menuju lobbi Hotel Frangipani. Siang itu dia ada janji meeting dengan client.
Tiba – tiba, mata Bening tersangkut pada lelaki yang tengah berjalan menuju mobil HRV berwarna putih. Mata perempuan itu menyipit. Ibra!! Perempuan itu lalu membelokkan langkah dan bersembunyi di belakang mobil tersebut,
Saat Ibra hendak membuka pintu. Cepat – cepat kaki Bening menahannya.
“Mau apa kamu di sini, Heh!” tanya Ibra kaku. Matanya seperti melihat setan saat melihat istrinya.
“Aku mau kita bercerai dan tolong tinggalkan rumahku segera!” kata Bening tegas. Ego wanita itu tersulut. Semua urat sarafnya menegang. Mukanya merah menahan amarah yang siap meledak setelah tiga bulan ia bisa menemui Ibra secara tak sengaja di pelataran hotel.
Ibra berupaya mengimbangi energy Bening yang marah. Ia mengusap – usap dagunya pelan, dan tersenyum sinis. Tatapannya menantang bahkan terkesan mengejek. “Bagaimana kalau aku tidak mau menceraikan kamu dan pindah dari rumah itu?” Suaranya terdengar angkuh.
Mata Bening berkilat marah. Dadanya bergerumuh menahan rasa jengkel yang selama ini ia pendam. “Lantas, untuk apa kamu berselingkuh dan menelantarkan aku serta Evan? Kamu bahkan tak pernah bertanya soal anakmu? Apakah dia sehat atau tidak!” Kenangan menyakitkan membuat suaranya tertelan oleh rasa frustrasi yang membelenggu dadanya.
Pria itu menyeringai. “Untuk apa? Aku tahu kamu pasti merawat anakmu dengan baik. Soal aku berselingkuh. Itu hanya untuk menambah semarak dunia. Aku hanya mau mengisi bagian yang tidak bisa kamu lakukan, dan Intan melakukannya dengan baik, dan akum au memiliki kalian berdua dalam hidupku.”
“Apaa?” Bening mulai tersengal – sengal. Ibra sengaja mau mempermainkan hidupnya. “Bangsat kamu, Mas! Kamu tendang aku, dan aku habis – habisan menguras tabungan dan menjual mobil, untuk membiayai rumah sakit Evan, dan kamu masih percaya diri berkata begitu?’ cetusnya sengak.
Kekecewaan Bening sangat nyata terlukis di wajahnya. Mata perempuan itu tampak kecewa dan tertekan.
“Sudahlah, jangan naif, Be. Kamu bisa atasi semua masalahmu. Kamu terlalu laki dan Intan memang tidak sepintar kamu. Tapi dia enak diajak bicara, saat aku pulang kerja. Sedangkan kamu. Aku harus menunggu sampai besok pagi, karena alat bantu dengarmu sudah kamu charge. Sedangkan aku kesulitan menggunakan bahasa isyarat.” Wajah Ibra kaku saat mengatakannya.
Dada Bening terbakar. Di saat seperti ini, ia menginginkan dunianya yang sepi, supaya dia tidak mendengar kata – kata yang membuat rapuh dirinya.
“Ketika duniamu sepi, aku tidak bisa mengajakmu bertemu client, dan apa kamu tahu, aku tersiksa oleh hal itu. Intan kini mengisi posisimu. Dia bisa kubawa ke mana – mana tanpa repot membawa alat bantu dengar! Apakah kamu tidak mengerti itu, Be!”
Lelaki itu diam sejenak. “Daripada bercerai, lebih baik kamu terima tawaranku. Aku mau menikahi Intan secepatnya. Kita bisa hidup berdampingan dan kalian berdua bisa bergantian melayaniku. Enak, kan? Kamu tak perlu capek – capek mengurusku sepulang kerja. Fokusmu cuma Evan? Lagi pula, siapa sih yang mau menikahi wanita tuli sepertimu,” katanya enteng.
Kedua tangan Bening mengepal, giginya gemeretak menahan emosi, ingin sekali ia meremas mulut suaminya itu dan menyumpalnya dengan sampah.
Ibra mendekati Bening. “Catat Be! Walaupun kamu seribu kali meminta bercerai dariku. Sampai mati aku tidak akan pernah mengabulkannya. Kamu asetku, Be. Kamu pandai berbisnis, aku butuh modal banyak dan tidak mau menyia – nyiakan kesempatan itu untuk menaikkan nama Digital Book Publisher milikku.” Mata Ibra culas melirik istrinya.
Bening semakin sakit hati.
“Brengsek!!!” desis Bening pilu. “Yang ada di otak kamu, hanya mementingkan kesenangan kamu sendiri. Kamu bukan suami dan Papa yang bertanggung jawab, dan itu membuatku semakin yakin untuk bercerai denganmu!” sungut Bening gundah. Guratan – guratan pesimis tergambar jelas di dahinya. “Kenapa kamu dulu mau menikahiku, padahal aku sudah mengatakan kalau aku tuli?” Ia menekan suaranya kuat – kuat.
“Aku dulu memang mencintamu, Be. Aku tidak menyangka akan seberat ini menikah denganmu.”
“Kalau begitu, ceraikan saja aku, daripada kamu hanya membuatku tersiksa,” keluh Bening tersiksa.
“Tidak! Sudah kukatakan kamu adalah asetku yang harus kupertahankan. Maaf, kalau aku sempat kasar kepadamu, karena aku tidak mau Intan meninggalkanku.” Kedua rahang Ibra mengatup. Ia tak bisa mengungkapkan bahwa ia butuh harta Bening dan tak sanggup hengkang dari rumahnya.
Suara Ibra melunak, sebuah ide muncul di kepalanya. “Atau begini saja, kita open relationship. Kamu boleh melakukan apa saja semaumu, kamu boleh pacaran dan boleh tinggal di mana saja bersama Evan. Di rumah atau tinggal bersama orang tuamu. Kamu bebas memilih, aku tidak akan mengaturmu.”
“Kamu memang memuakkan, Mas!” kata Bening dengan ide menjijikkan yang dilontarkan Ibra. Sikapnya dingin dan kaku. Dia heran bagaimana bisa dulu ia bertekuk lutut padanya. “Sekeras apapun kamu mau aku bersamamu. Aku tetap mau bercerai!”
Ibra bertepuk tangan. “Bagus! Kamu sekarang menjadi wanita yang lebih tangguh. Aku suka itu!” Tangan Ibra yang kokoh, lalu memegang bahu Bening dan menekannya kuat – kuat. “Semakin kuat kamu meminta bercerai, semakin kuat pula, aku menolak keinginanmu!”
Tulang belikat Bening seperti hendak lepas. Wanita itu meringis kesakitan. “Lepaskan, Mas, ini sakit,” katanya geram.
“Aku tidak mau melepaskannya sebelum kamu bilang iya.” Tangan Ibra yang kekas meremas bahu Bening kuat – kuat.
Kuku tangan Ibra serasa menembus tulang – tulang Bening. Wanita itu meringis kesakitan.
“Pak Ibra, apa kamu tidak melihat, wanita itu kesakitan?”
“Pak Ibra, lepaskan wanita itu. Dia kesakitan!” ulang Kama langsung menatap mata Ibra tajam.
Ibra kaget melihat Kama – lelaki yang dia incar selama berbulan – bulan untuk berinvestasi di tempatnya. Dia segera melepaskan cengkeramanya pada Bening. “Ini bukan seperti yang Anda lihat, Pak Kama. Tak mungkin saya menyakiti wanita ini. Ini hanya salah paham saja.” sahutnya menutupi rasa gugup.
“Apakah kamu tidak apa – apa?” tanya Kama pada Bening. Wajah wanita itu pucat pasi.
Ibra menatap Kama dengan pandangan aneh. Kenapa laki – laki itu terlihat begitu perhatian pada Bening.
“Tidak saya tidak apa – apa, terima kasih,” sahut Bening kelu. ”Permisi, saya masih ada urusan.” Bening terburu – buru dan tak sengaja menjatuhkan portfolio miliknya.
“Hei tunggu dulu! Portfolio kamu ketinggalan,” teriak Kama. Dia mengejar Bening, dan tak menghiraukan Ibra yang ada di situ.
Dahi Ibra berkerut, melihat Kama mengejar Bening. “Sial! Gara – gara Bening, aku hampir kehilangan muka pada Kama! Tapi aku heran, Pak Kama seperti mengenal Bening, bagaimana bisa? Ini sudah tidak benar!” dengkusnya cemburu. Ia mengentakkan kaki ke tanah dan kembali masuk ke hotel.
Bab 6 Bertemu dengan sang penolongSementara Bening, tergopoh – gopoh masuk ke Café Amour yang berada di dalam Hotel Frangipani.“Stop Bening!” kata Kama dengan suara berat.Bening berhenti dan kaget ada yang memanggil namanya. Perempuan itu menoleh ke belakang dan melihat lelaki yang menolongnya barusan berdiri satu meter di belakangnya.“Bagaimana bisa kamu menjatuhkan portfoliomu? Padahal kamu butuh presentasi pada Ibu Tita Maheswara.” Kama memberikan portfolio itu pada Bening.“Maaf, saya mungkin menjatuhkannya tadi sewaktu berdebat dengan suami saya?” kata Beming sambil menunduk. “Tapi, bagaimana Anda tahu saya mau bertemu dengan Ibu Tita Mahewara?” tanyanya curiga.Lelaki itu melempar senyuman manis. Dia memberikan kartu namanya. “Saya Kama, adik kandung Ibu Tita, client yang rencananya bertemu dengan Anda hari ini.” Dia lalu mengajak Bening masuk ke Café Amour dan mengambil tempat duduk di hadapan Bening. “Kakak saya masih terjebak macet.”Bening tidak serta merta menjawab. Ia
Bab 7 Tuduhan membabi butaSementara itu Bening, waspada, matanya tak lepas dari kaca spion. Ia tahu, Ibra mengikutinya semenjak keluar Hotel Frangipani. Setelah merasa aman, barulah dia memutar motornya menuju Joli Flower.Jam waktu itu menjelang magrib, Ismail dan Tanto sedang memasukkan bunga – bunga segar ke dalam toko. Hari ini, toko mereka tidak begitu sibuk. Ada 10 orderan rangkaian bunga dan sudah dikirim siang tadi.“Malam…” sapa Bening, dia lalu masuk ke dalam kantornya yang tak begitu luas.“Malam, Mba Bening. Kami mau pulang dulu, ya,” pamit Tanto, setelah selesai memasukkan semua bunga ke dalam. Lelaki kemayu itu memakai kuteks berwarna merah.“Silahkan, saya mau di sini sebentar.” Bening melihat Tanto dan Ismail. “Awal bulan depan, Joli Flower menangani pernikahan anak Ibu Tieta Maheswara. Dia salah satu anak konglomerat dan pertanda baik bagi kita. Saya berjanji mau memberikan bonus dua kali lipat gaji pada kalian, tiap kita mendapatkan order besar, asal kalian giat bek
Bab 8 BangkrutIbra bangun dan melihat Kama Maheswara sedang membantu Bening.“Pak Kama? Ini masalah saya, Anda jangan turut campur!” bentak Ibra gusar. Ia tak habis pikir, kenapa laki – laki itu selalu ada dan membela Bening.Alih – alih menjawab pertanyaan Ibra, Kama justru bertanya pada Bening. “Apakah kamu baik – baik saja!”Bening mengangguk.Merasa diabaikan Ibra semakin galak. “Pak Kama, saya bertanya pada Anda, kenapa Anda di sini!! Apakah Anda menguntit istri saya!”Sejurus kemudian Kama mengangkat alisnya ke atas. “Saya mau melindungi wanita yang disakiti suaminya. Anda sudah memukulinya berkali – kali, kan. Termasuk di gang dekat kantor Anda. Saya melihatnya dan itu salah satu penyebab, kenapa saya tidak mau bekerja sama dengan Anda!”Kama memandang Ibra dengan tatapan sinis. “Saya melihat partner itu dari bagaimana mereka memperlakukan orang sekitarnya, terutama keluarganya.”Ibra tercengang. Mukanya merah menahan malu. Ia berbalik dan melangkah pergi.“Hei, kembalikan dul
Bab 9 Kejutan di pagi hariBening menggigit bibir bawahnya, getir. Diakuinya asumsi Elang beralasan.Iswati bergeming, ia lalu duduk di samping suaminya. “Pa, apa benar begitu?” Ia tak dapat menyembunyikan garis – garis ketegangan di wajahnya kentara sekali.Gatot yang mulai tadi mendengarkan percakapan anak dan istrinya menjawab dengan suara gamang. “Ngomong – ngomong, di mana sertifikat rumahmu?”JRENGBening terkesiap! Lidahnya mendadak kelu. Tangannya mulai berkeringat, membayangkan hal buruk yang akan terjadi. Ia sama sekali tidak kepikiran untuk membawa atau mengambilnya. “Ada di brangkas rumah.”Tubuh Iswati semakin menegang. Ketakutan mulai merayap di dadanya, mengingat, ia tahu, bagaimana pengorbanan Bening untuk membeli rumah tersebut. “Apa Ibra tahu password brankasnya?” Pertanyaan konyol yang ia tanyakan. Ibra dan Bening pernah serumah dan status mereka suami istri. Tapi tetap saja ia menginginkan jawaban yang berbeda dari anaknya.Bening mengangguk lemah. “Di sana juga ad
Bab 10 Tanda tangan palsu“Jangan asal ngomong kamu ya, ini rumah saya, enak sekali kamu mengaku – ngaku rumah orang!” protes si ibu berdaster itu.Pak Alwi menautkan kedua alisnya. “Tolong jangan ribut. Jika kalian terus ribut, kita tak bisa mengetahui duduk perkaranya. Sebaiknya kita duduk dan membicarakan masalah ini baik – baik,” pintanya bijakKe lima orang itu lalu duduk di ruang tamu.“Coba jelaskan Pak Rahman, bagaimana Anda bisa menuduh Ibu Bening dan adiknya pencuri di sini?”Pak Rahman – pria bersarung itu menceritakan kronologisnya. “Jadi begitu ceritanya, Pak.”Pak Alwi manggut – manggut. Dia melihat ke Bening yang tampak cemas. “Sekarang, tolong gantian Ibu Bening yang bercerita, biar saya tidak salah paham.”Bening menarik napas dalam – dalam sebelum bicara. “Rumah ini adalah rumah saya, Pak RT. Saya membelinya saat masih lajang, sebelum menikah dengan Mas Ibra. Beberapa bulan lalu, perkawinan kami diterpa badai. Mas Ibra dan selingkuhannya, Intan mengusir saya bersama
Bab 11 Melabrak Besan“Lho, kok nanya saya, memangnya situ tidak punya anak, tanya dong sama Bening, kok jauh – jauh datang ke sini menanyakan di mana anak lanang saya?” Tangan Herni merapikan rambutnya. “Ibu Besan, jangan asal menuduh anak saya, menjual rumah Bening dengan tanda tangan palsu. Buktinya mana? Apa Ibu Besan tidak takut saya melaporkan Ibu Besan karena mencemarkan nama baik keluarga terpandang saya.”Iswati gemas sekali dengan jawaban besannya. “Untuk apa saya jauh – jauh datang ke sini, kalau Bening tahu di mana Ibra? Apa Ibu tahu apa yang dilakukan Ibra? Apa Ibu pernah kepikiran untuk menengok Evan? Ini sudah 6 bulan lho, saya belum pernah lihat Ibu datang menengoknya.”Iswati menarik napas panjang, sebelum melanjutkan kalimatnya. “Oh ya, saya lupa, Ibu Besan sibuk sekali shopping dan jalan – jalan ke Luar Negeri bersama teman – teman sosialita, menghabiskan uang anak dan menantunya. Hingga tidak tahu Ibra selingkuh dengan Intan asistennya! Asal Ibu tahu, Ibra telah me
Bab 12 ManipulatifAndini tidak mau mengalah. Dia menggedor – gedor pintu. “Pak, tolonglah, ini darurat! Istri Pak Zulfikar berselingkuh dengan suami sahabat saya. Saya mau meminta penjelasan.” Akan tetapi sipir penjara tersebut mengabaikan teriakan Andini.“Sudahlah! Kita pulang saja,” ajak Bening dengan nada kecewa.“Tidak bisa begitu dong, Be. Kita sudah jauh – jauh datang ke sini mau mencari tahu tentang Intan, masak kita mau mengalah.”“Jika Zulfikar tidak mau menemui kita, terus kita bisa apa?” ucap Bening. Matanya terkulai layu. Ia bersedih dan merasa semua jalan yang ditempuhnya buntu. Kemudian ekor matanya menangkap sosok wanita yang dicarinya, keluar mengendap - ngendap dari arah pintu pengunjung.“Intan!” sontak Bening mengejarnya.Intan terkejut saat melihat Bening berlari ke arahnya. “Sialan!” rutuknya kesal sembari berlari menjauh, sayangnya dia kerepotan dengan highheel yang dipakainya. Cepat – cepat ia melepaskan high heelnya.Namun, Bening dan Andini keburu menangkapn
Bab 13 Telepon anehPagi itu, tidak seperti biasanya. Bening mengajak Evan ke Joli Flower bersama Mba Atun. Bayi lelaki berusia 7 bulan itu duduk anteng duduk di atas kursi bayi sambil menikmati biscuit oat pertamanya di kantor sang mama. Sedangkan Mba Atun membantu Ismail menerima kiriman bunga yang baru datang.Sambil merangkai bunga, sesekali Bening menggoda Evan, bayi itu tertawa senang. Suara tawanya renyah sekali, seperti candu yang membawa kegembiraan pada hati Bening. “Bu… ada Pak Kama,” kata Mba Atun.“Tolong suruh masuk saja, Mba,” jawab Bening, tangannya sedang sibuk merangkai bunga pesanan Ibu Tita Maheswara yang menjadi langganan tetapnya.“Apa kabar?” sapa Kama lembut. Dia melihat ke Evan. “Apa bayi ganteng itu anakmu?”Bening menoleh. “Baik… dan yah! Dia Evan anakku.” Dia lalu menggendong Evan. “Evan, ayo sapa Om Kama.”Tanpa diduga, Evan mengulurkan kedua tangannya di depan pada Kama, minta digendong.“Apa boleh aku menggendongnya?” tanya Kama hati – hati.“Silahkan s