Bus melaju dengan kecepatan sedang melakukan perjalanan dari Medan menuju ke Jakarta. Selama lima hari dan lima malam Ayi dan anak-anak berada dalam bus, sesekali mereka ngobrol bareng bersama sang nenek yang tadi ditemui pada saat di dalam angkot hingga menuju terminal Amplas.
Bus sudah tiba di Lampung tepat di pelabuhan Baukuheni. Kapal-kapal besar terlihat berlabuh di dermaga. Lautnya yang biru terlihat sangat indah. Tujuan Ayi sudah akan semakin dekat untuk hijrah ke Jakarta. Kota yang dulu pernah memberinya kenangan bersama Rahman.
"Bunda, sebentar lagi kapal akan menyeberang ke Jakarta. Apa kita akan menetap di sana?" tanya Habib.
Tangan kedua anaknya masih tetap ia pegang erat seolah bagai ada lem yang mengeratkan keduanya. Ayi tidak ingin jauh-jauh dari anaknya karena ini kota besar, lalai sedikit saja menjaga maka bisa jadi mereka akan hilang.
"Iya, Nak. Kita akan menetap di Jakarta," jawabnya
"Syawal, keluar kamu!" suara teriakkan seorang laki-laki menghentikan aktivitasku yang ingin menunaikan salat asar.Syawal keluar dengan segera menemui pria yang tadi memanggilnya dengan suara bariton."Bang Baron," seru Syawal.Kuperhatikan tiga orang laki-laki bertubuh besar dan tegap berdiri dengan berkecak pinggang."Mana uang setoran hari ini, hah?" hardik pria yang dipanggil bang Baron."Be-be ... blum ada, Bang," jawab Syawal gugup.Ekspresi wajah Bang Baron mendadak berubah sangar."Apa?! Belum ada?!" teriak Bang Baron."Maaf, Bang. Aku belum ada ngerjain tugas," jawab Syawal.Masih dengan wajah sangar pria yang bernama Bang Baron mencengkram kerah baju Syawal."Apa kau mau aku habisi hah?" hardik Bang Baron."A-ampun, Bang. Jangan habisi aku! Akan segera kuberikan uang setorannya nanti, setelah ngerjain tugas," jawab Syawal dengan bibir gemetar.Deng
Matahari semakin tinggi di atas awan. Sinarnya yang cerah membiaskan cahaya dipermukaan bumi. Siang itu Ayi dan kedua anaknya pergi untuk mengamen. Sementara Syawal juga ikut menemani mereka dari belakang sebagai petunjuk arah jalan. Ayi melarang Syawal mencopet untuk mencari makan. Ayi mengusulkan agar mencari uang halal dengan cara ngamen meskipun hasil recehan. Tapi, itu lebih baik dari pada harus merampas hak orang lain."Bun, kita mau kemana?" tanya Nara.Mereka berempat berjalan menuju ke terminal."Kita mau pergi ngamen, Nak," jelas Ayi."Nara baik budi ya, nanti. Bunda, mau ngamen buat mencari sesuap nasi, agar kita bisa bertahan hidup di Jakarta ini," lanjut Ayi."Ya, Bunda. Nara, janji tidak akan nakal dan bikin susah bunda," ucap Nara mengangkat jari kelingkingnya.Seperti yang biasa ia lakukan dulu kepada Ustaz Rahman bila berjanji akan menautkan jari kelingkingnya."Anak pin
"Hentikan, Baron!"Seorang pria tinggi tegap berkulit putih menangkis tangan Bang Baron yang siap melayang ke wajah Ayi. Pria itu membuang tangan Bang Baron ke sembarang arah."Ali?! Jangan ikut campur urusanku dengan wanita ini," hardik Bang Baron.Pria yang bernama Ali itu pun menatap tajam ke arah Bang Baron."Apa kau sudah kehilangan nyali, Baron? Atau urat saraf malumu sudah putus hingga menganiya seorang wanita?" ucap Ali geram.Bang Baron berdecik ia membuang ludahnya kesamping."Cih. Kau tau apa tentang wanita ini, Ali? Dia sudah berani menghasut anak buahku untuk berhenti bekerja denganku. Hingga tidak memberikan uang setoran," sahut Bang Baron."Oh, jadi hanya karena wanita ini membela anak buahmu, lantas kau ingin menghabisinya," tukas Ali.Bang Baron maju satu langkah lalu, mendekati pria yang dipanggil Ali. Matanya menatap tajam ke
"Tunggu!" sergah seorang pria tampan.Pemuda itu berdiri di bawah pohon palem di depan rumah gudang.Ketika Ayi dan anak-anaknya akan masuk ke dalam, pria asing itu menghentikan langkah mereka.Serentak mereka berempat berbalik menghadap ke arah sosok pria berkemeja biru dongker dan celana abu-abu berdiri dengan tersenyum."Maaf. Anda siapa?" tanya Ayi penasaran.Pemuda asing itu pun tersenyum ke arah Ayi dan anak-anaknya."Namaku Faaiz Hasby. Aku produsen musik Abyan gambus," jawabnya mengulas senyum.Faaiz mengulurkan tangan tapi, Ayi hanya menyambutnya dengan tangan dilipat ke dada.Kening Ayi mengkerut mendengar penjelasan pemuda itu."Lalu?" tanya Ayi lagi."Aku tadi mendengar kamu membawakan lagu sholawat dengan merdu dan indah. Sungguh suaramu sangat memukau para pendengar hingga membuat mereka terhipnotis," ujarnya.Fa
Pov Rahman"Ayi?!"Aku terkesiap ketika menyaksikan Ayi, membawakan lagu sholawat ya Asiqil Musthofa di salah satu setasiun televisi.Bola mataku hampir saja keluar dari kelopaknya. Hampir saja aku menjatuhkan gelas yang ada di tangan saat melihat penampilan Ayi yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Kalau saja Nur Azizah istriku tidak segera menangkap gelas yang ada di tanganku mungkin sudah jatuh, hancur berkeping-keping tak tersisa."Astagfirullah, kamu lihat apa, Mas? Sampai segitunya, kayak lihat hantu saja?" tanya Nur heran.Diletakkannya kembali gelas yang tadi berisi kopi panas di atas meja.Alangkah terkejutnya Nur saat matanya melihat penampilan Ayi yang berada di salah satu setasiun televisi. Wajahnya mendadak pias ketika menyaksikan Ayi membawakan lagu sholawat dengan anggun dan suara merdu yang mendayu-dayu."Ayi?!" ucapnya terperanga.Nur akhir
Pesawat Garuda air sudah mendarat di bandara Suekarno-Hatta dengan selamat pukul sepuluh lewat lima belas menit waktu setempat. Tidak terlambat dari jadwal yang sudah di tentukan. Ustaz Rahman segera memesan ojek online untuk mencari alamat rumah Ayi.Di Jakarta Ayi sudah punya tempat tinggal sendiri dengan membeli rumah yang jauh lebih bagus dengan rumahnya saat tinggal di kampung. Ayi membeli rumah dengan hasil kerja kerasnya. Album lagu religi Ayi sudah banyak terjual berjuta copy. Dari hasil tersebut ia sudah bisa membeli rumah mewah di daerah Jakarta."Pak, kita mau kemana? Sedari tadi jalan terus tanpa tujuan," ucap sopir ojek online."Aku sedang mencari alamat orang yang telah lama kurindukan, Pak. Tapi, aku tidak tahu dimana ia tinggal. Yang aku tahu dia seorang penyanyi terkenal sering membawakan lagu religi," ujar Rahman."Wah, pasti dia wanita yang istimewa bagi Anda sampai rela nyusul
Kehilangan seseorang yang di cintai itu sakit, tapi kehilangan seseorang yang di cintai karena kebodohan jauh lebih sakit. Di hadapanku dia menatap dengan raut yang tak terbaca. Dan aku tak peduli, hati ini benar-benar ingin marah padanya.Melihat wajahnya yang polos dan alim rasanya hati ini panas dingin, jantungku berdetak cepat dari biasanya, ingin sekali aku langsung bertanya pada Ustaz Rahman apa alasanya datang menjemputku jauh-jauh sampai ke Jakarta.Jangan tanya perasaanku ini padanya, diantara kami memang sudah tidak terjalin ikatan, kalau pun masih ada rasa dan cinta di hatiku, sudah tidak pantas memilikinya. Dirinya sudah menjadi milik wanita lain."Maaf, Mas. Aku tidak bisa ikut denganmu."Ser ... ada yang mulai menusuk di lubuk hati Ustaz Rahman bagaikan sebilah samurai."Aku tahu kamu pasti marah dengan keputusan umi yang memilih, Nur Azizah dari pada dirimu."Ak
"Kau?"Aku terkesiap saat menyaksikan siapa yang sedang dipukuli para warga.Tubuh kurus, pakaian compang-camping, serta wajah yang tidak terawat juga ada bekas luka gores memanjang di bagian wajah kirinya. Tangannya yang kiri juga terlihat cacat.Kudekati lelaki itu, ia adalah laki-laki yang pernah aku kenal dulu waktu pertama kali aku tiba di Jakarta. Wajahnya babak belur di hajar masa karena tertangkap basah mencopet.Keadaannya berbanding terbalik saat beberapa bulan yang lalu kami bertemu dalam perlombaan. Meski beberapa kali kami hanya bertemu, namun aku tahu kalau laki- laki itu adalah Ustaz Adam yang pernah memberikan kerak telor.Saat itu Ustaz Adam terlihat gagah dan tampan memakai setelan jubah mahal dan barang berkelas. Tapi, kini sungguh aku hampir tidak bisa mengenalinya yang jauh berbeda dari sebelumnya.Kehidupan ini bagai ro