Pesawat Garuda air sudah mendarat di bandara Suekarno-Hatta dengan selamat pukul sepuluh lewat lima belas menit waktu setempat. Tidak terlambat dari jadwal yang sudah di tentukan. Ustaz Rahman segera memesan ojek online untuk mencari alamat rumah Ayi.
Di Jakarta Ayi sudah punya tempat tinggal sendiri dengan membeli rumah yang jauh lebih bagus dengan rumahnya saat tinggal di kampung. Ayi membeli rumah dengan hasil kerja kerasnya. Album lagu religi Ayi sudah banyak terjual berjuta copy. Dari hasil tersebut ia sudah bisa membeli rumah mewah di daerah Jakarta.
"Pak, kita mau kemana? Sedari tadi jalan terus tanpa tujuan," ucap sopir ojek online.
"Aku sedang mencari alamat orang yang telah lama kurindukan, Pak. Tapi, aku tidak tahu dimana ia tinggal. Yang aku tahu dia seorang penyanyi terkenal sering membawakan lagu religi," ujar Rahman.
"Wah, pasti dia wanita yang istimewa bagi Anda sampai rela nyusul
Kehilangan seseorang yang di cintai itu sakit, tapi kehilangan seseorang yang di cintai karena kebodohan jauh lebih sakit. Di hadapanku dia menatap dengan raut yang tak terbaca. Dan aku tak peduli, hati ini benar-benar ingin marah padanya.Melihat wajahnya yang polos dan alim rasanya hati ini panas dingin, jantungku berdetak cepat dari biasanya, ingin sekali aku langsung bertanya pada Ustaz Rahman apa alasanya datang menjemputku jauh-jauh sampai ke Jakarta.Jangan tanya perasaanku ini padanya, diantara kami memang sudah tidak terjalin ikatan, kalau pun masih ada rasa dan cinta di hatiku, sudah tidak pantas memilikinya. Dirinya sudah menjadi milik wanita lain."Maaf, Mas. Aku tidak bisa ikut denganmu."Ser ... ada yang mulai menusuk di lubuk hati Ustaz Rahman bagaikan sebilah samurai."Aku tahu kamu pasti marah dengan keputusan umi yang memilih, Nur Azizah dari pada dirimu."Ak
"Kau?"Aku terkesiap saat menyaksikan siapa yang sedang dipukuli para warga.Tubuh kurus, pakaian compang-camping, serta wajah yang tidak terawat juga ada bekas luka gores memanjang di bagian wajah kirinya. Tangannya yang kiri juga terlihat cacat.Kudekati lelaki itu, ia adalah laki-laki yang pernah aku kenal dulu waktu pertama kali aku tiba di Jakarta. Wajahnya babak belur di hajar masa karena tertangkap basah mencopet.Keadaannya berbanding terbalik saat beberapa bulan yang lalu kami bertemu dalam perlombaan. Meski beberapa kali kami hanya bertemu, namun aku tahu kalau laki- laki itu adalah Ustaz Adam yang pernah memberikan kerak telor.Saat itu Ustaz Adam terlihat gagah dan tampan memakai setelan jubah mahal dan barang berkelas. Tapi, kini sungguh aku hampir tidak bisa mengenalinya yang jauh berbeda dari sebelumnya.Kehidupan ini bagai ro
"Ayah ...."Seorang anak kecil berlari mendekati Ustaz Adam, memeluk dengan erat. Usianya tak jauh dari Nara hanya selisih dua tahun saja lebih tua sedikit darinya."Cinta," seru Ustaz Adam menciumnya bertubi-tubi.Gadis kecil itu lantas mengusap air mata Ustaz Adam. Tidak disangka perbuatan ayahnya meninggalkan kesedihan bagi gadis itu."Ayah mau kemana?" tangannya mengusap jejak air mata Ustaz Adam."Ayah mau pergi, Nak.""Cinta mau ikut sama Ayah.""Kamu gak boleh ikut Ayah, Nak. Kamu bersama Ibu saja tunggu sampai Ayah pulang menemui kalian," jelas Ustaz Adam."Tapi, Ayah mau kemana? Dan kenapa tangan Ayah diborgol?"Ustaz Adam hanya menangis sedih melihat anaknya bertanya. Hati ayah mana yang takkan
Umi dan Nur berjalan dengan hati-hati menuju ke arah kami. Langkah mereka semakin dekat dan dekat."Assalamu'alaikum, apa kabar umi?" sapaku memberanikan diri.Detik berikutnya umi tersenyum ke arahku. Wajah itu terlihat pias seolah tak punya gairah."Waalaikumsalam. Alhamdulillah kabar baik," jawabnya pelan.Wajah yang dulu kukenal sangat membenci, kini terlihat sendu. Tampilan umi yang selalu elegan terlihat biasa saja. Banyak perubahan dari diri umi di banding kemarin dulu saat aku tinggal di rumahnya sebagai istri Ustaz Rahman. Umi yang terkenal cerewet berbeda dari umi yang sekarang lebih lembut dan bijaksana."Maaf, aku masih ada urusan. Permisi! Assalamualaikum,
"Ay, ini buat kamu dan anak-anak," ucap umi menyerahkan sebuah bingkisan."Apa ini, Umi?" tanyaku penasaran.Selama aku tinggal bersama umi belum pernah sekali pun umi memberiku hadiah apalagi bersikap ramah pula.Aku tidak tahu apa maksud umi memberi sebuah bingkisan yang isinya entah apa karena tertutup rapat dalam sebuah box. Setelah perpisahanku dengan Ustaz Rahman aku putus hubungan. Mereka pun sama sekali tidak pernah mencari atau pun sekedar bertanya kemana aku pergi. Sikap umi yang mendadak menjadi baik seperti perlakuan ibu kepada putrinya membuatku penuh tanda tanya. Ada apa dengan umi?"Nanti kamu juga akan tahu kalau sudah membukanya," katanya dengan mengulas senyum."Maaf, Umi. Bukan menolak rezeki tapi, ini terlalu berlebihan. Aku tidak bisa menerima pemberian umi. Apalagi berupa hadiah," sergahku.Umi memandang Ustaz Rahman yang berdiri di sebalah Nur Azizah. Berasa kecewa
Hari sudah malam, pemandangan excotic di malam hari sungguh memanjakan mata. Kuteringat akan tatapan Ustaz Rahman yang begitu sendu merasakan pernikahan yang tak bahagia di tengah konflik hati.Antara mematuhi umi seorang ibu yang melahirkan serta mbesarkan. Atau kah memilih bertahan berada di sisiku. Nyeri, cemburu, itulah dua kata yang menggambarkan hatinya sekarang. Begitu juga dengan Nur Azizah, ia pasti merasakan hal yang sama. Cemburu itu sudah pasti apalagi merasakan sakit sudah tentu.Sedang asyik melamun ponselku berdering menampilkan pesan watsapp dari umi, Ibu-nya Ustaz Rahman. Pesan itu menyatakan agar aku datang besok ke rumahnya sehabis salat zuhur. Umi menggundangku dalam rangka acara selamatan mengumpulkan anak yatim. Sudah menjadi tradisi dalam kebiasaan keluarga Ustaz Rahman setiap bulan di hari jum'at akan mengadakan santunan bagi anak yatim piatu.Pesan umi : "Datanglah besok, Ay. Umi mengundangmu unt
"Hem ... Maaf, Ustaz," ucapku cepat.Aku segera menarik tanganku dari gelas yang tadi kami sentuh bersama. Wajah Ustaz Iman berubah menjadi merah menahan malu.Ustaz Rahman mendongak, menatap sahabatnya sejenak yang membuatku tak nyaman dan menunduk menghindari tatapan itu."Akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak sengaja telah menyentuhmu, Ay," ucap Ustaz Iman merespon.Wajah Ustaz Rahman kini berubah. Ah, aku dari tadi mencuri pandang ke arahnya karena selalu penasaran ekspresi itu. Tiap kali Ustaz Iman memberi perhatian padaku ekspresi Ustaz Rahman berubah. Wajah itu milik seorang pria normal pencemburu.Selesai makan kami berbincang-bincang di ruang keluarga bersama keluarga Umi Fatimah. Ada abi, Nur dan juga Ustaz Rahman. Suasana sedikit kaku karena umi mengobrol dengan menanyakan hal pribadi kepada Ustaz Iman."Nak Iman, kapan kamu nikah? Apa belum ada c
"Sarah," gumamku. Wanita bergaya elegan itu turun dari mobil dan menghampiriku. "Apa kabar, Ayi? Senang bertemu denganmu kembali," ucapnya dengan nada dingin. Sikap dingin Sarah tidak pernah berubah. Sombong dan congkak atas harta yang dimilikinya membuat ia menjadi wanita yang kejam dan tak berperikemanusian. Senyumnya yang sinis tidak pernah lepas dari bibir yang bergincu merah. "Baik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja," jawabku. "Apa yang kamu lakukan di sini bersama seorang laki-laki yang bukan mahrammu," ketusnya. Ekor mata Sarah melirik Ustaz Iman yang berdiri di sampingku membantu membawakan barang belanjaan.