Hari sudah malam, pemandangan excotic di malam hari sungguh memanjakan mata. Kuteringat akan tatapan Ustaz Rahman yang begitu sendu merasakan pernikahan yang tak bahagia di tengah konflik hati.
Antara mematuhi umi seorang ibu yang melahirkan serta mbesarkan. Atau kah memilih bertahan berada di sisiku. Nyeri, cemburu, itulah dua kata yang menggambarkan hatinya sekarang. Begitu juga dengan Nur Azizah, ia pasti merasakan hal yang sama. Cemburu itu sudah pasti apalagi merasakan sakit sudah tentu.
Sedang asyik melamun ponselku berdering menampilkan pesan watsapp dari umi, Ibu-nya Ustaz Rahman. Pesan itu menyatakan agar aku datang besok ke rumahnya sehabis salat zuhur. Umi menggundangku dalam rangka acara selamatan mengumpulkan anak yatim. Sudah menjadi tradisi dalam kebiasaan keluarga Ustaz Rahman setiap bulan di hari jum'at akan mengadakan santunan bagi anak yatim piatu.
Pesan umi : "Datanglah besok, Ay. Umi mengundangmu unt
"Hem ... Maaf, Ustaz," ucapku cepat.Aku segera menarik tanganku dari gelas yang tadi kami sentuh bersama. Wajah Ustaz Iman berubah menjadi merah menahan malu.Ustaz Rahman mendongak, menatap sahabatnya sejenak yang membuatku tak nyaman dan menunduk menghindari tatapan itu."Akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak sengaja telah menyentuhmu, Ay," ucap Ustaz Iman merespon.Wajah Ustaz Rahman kini berubah. Ah, aku dari tadi mencuri pandang ke arahnya karena selalu penasaran ekspresi itu. Tiap kali Ustaz Iman memberi perhatian padaku ekspresi Ustaz Rahman berubah. Wajah itu milik seorang pria normal pencemburu.Selesai makan kami berbincang-bincang di ruang keluarga bersama keluarga Umi Fatimah. Ada abi, Nur dan juga Ustaz Rahman. Suasana sedikit kaku karena umi mengobrol dengan menanyakan hal pribadi kepada Ustaz Iman."Nak Iman, kapan kamu nikah? Apa belum ada c
"Sarah," gumamku. Wanita bergaya elegan itu turun dari mobil dan menghampiriku. "Apa kabar, Ayi? Senang bertemu denganmu kembali," ucapnya dengan nada dingin. Sikap dingin Sarah tidak pernah berubah. Sombong dan congkak atas harta yang dimilikinya membuat ia menjadi wanita yang kejam dan tak berperikemanusian. Senyumnya yang sinis tidak pernah lepas dari bibir yang bergincu merah. "Baik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja," jawabku. "Apa yang kamu lakukan di sini bersama seorang laki-laki yang bukan mahrammu," ketusnya. Ekor mata Sarah melirik Ustaz Iman yang berdiri di sampingku membantu membawakan barang belanjaan.
Suasana begitu ramai di dalam rumah bersamsakit. Ustaz Rahman dan Ustaz Iman terlihat menunggu di ruang ICU. Sementara Nur dan abi juga ikut menemani di sana dengan harap cemas sembari duduk dengan bangku berseberangan. Ustaz Iman duduk bersebelahan dengan Ustaz Rahman."Semoga, Umi bisa diselamatkan, Man," ucap Ustaz Iman."Yah, semoga," Ustaz Rahman mendesah.Ustaz Iman mengobrol ringan dengan Ustaz Rahman dalam hal ringan. Sesekali Ustaz Rahman membalas pesan dari watsapp dan menyambung obrolan.Ketika Ayi datang menjenguk umi ke rumah sakit Ustaz Rahman menyambutnya dengan tersenyum. Begitu juga dengan Ustaz Iman ia melemparkan senyuman manis. Ayi datang bersama Nara dan juga Faaiz untuk menjenguk umi yang kondisinya ngedrop."Mas, bagaimana dengan keadaan, Umi?" tanya Ayi dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Masih ditangani dokter,"
Waktu bergulir sangat cepat, di luar hari tampak sudah gelap. Ayi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu, mendesah pelan."Maaf, Mas. Aku harus segera pulang," ucapnya berpamitan pulang.Ustaz Rahman memutar bola jengah. "Tunggu sebentar, Ay. Dokter belum selesai memeriksa kondisi umi."Pintu ruang ICU perlahan terbuka, seorang dokter muda dengan penampilan mirip dokter Zaidul Akbar keluar setelah memeriksa kesehatan Umi Fatimah."Dok!" Ustaz Rahman langsung memasang wajah gusar.Dokter muda tersebut menggeleng pelan. Wajahnya terlihat sendu menatap Ustaz Rahman. Dokter tersebut menangkupkan kedua tangan memasang wajah sedih."Maaf, kami tim d
"Aku turut berduka cita, Abi," ucap Ayi. Abi masih berdiri di samping jasad umi dengan wajah yang sendu. "Iya, Ay," sahut abi lirih. Hampir suaranya nyaris tak terdengar tercekat di tenggorokkan. Akhirnya air mata abi yang sedari terlihat berkaca-kaca menahan tangis luruh juga membasahi pipinya yang terlihat mengkriput. Begitu juga dengan Ustaz Rahman yang terlihat bersedih karena kehilangan ibu tercinta secepat ini. Ustaz Rahman cepat mengusap air mata ketika Ayi memberi semangat agar tabah dalam melalui cobaan ini. "Yang sabar, Mas. Gusti Allah tidak a
Pov FaaizAku sangat marah pada Ustaz Rahman. Seorang ustaz pemuka agama telah mencampakkan istri yang sholeha dan sebaik Ayi. Sekarang aku mengerti kenapa dia selalu berada di pondok pesantren. Rupanya Ayi adalah mantan istri dari lelaki itu.Aku membenci sikapa Ustaz Rahman yang tidak bisa melindungi istrinya sendiri. Tidak mau mempertahankan rumah tangganya, malah memilih wanita lain menjadi istrinya.Siapa yang percaya pada seorang ustaz yang agamais tapi pendusta. Semua kata-katanya bagiku hanyalah sampah.Lagi pula wanita mana yang bisa terima bila suaminya menikahi perempuan lain? Memaafkan perbuatan Ustaz Rahman yang memilih menceraikan Ayi dari pada membelanya mati-matian adalah salah.Namun, belum juga pernikahan kedua Ustaz Rahman berjalan mulus dan mempunyai keturunan dia kembali datang. Ustaz tak tahu diri itu dengan entengnya mengatakan akan kembali menikahi Ayi. Dengan alasan wasiat dar
Suasana pondok pesantren begitu ramai hari ini. Persiapan mengadakan lomba cerdas cermat akan diadakan pada pukul sepuluh pagi. Para orang tua yang mendampingi anak mereka juga telah hadir. Pondok pesantren yang didirikan oleh kyai Sholeh telah terpilih menjadi ajang pelaksanaan lomba para santri. Mereka akan diuji berbagai materi pelajaran. Para santri wajib menjawab pertanyaan dari waktu yang sudah disediakan dan bisa tepat menyelesaikan dalam waktu singkat. Aku sudah mengambil tempat duduk di ruang kelas bersama Faaiz dan juga Nara. Ruang kelas ini cukup luas bisa menampung untuk ratusan para santri. Ustaz Iman terlihat sibuk mempersiapkan berbagai keperluan untuk para lomba santri. "Bunda, Abang Habib mana? Kok, belum kelihatan sih?" Tanya Nara melihat para santri kesana-ke
"Habib?"Mataku membulat sempurna mendengar pengumuman nama Habib disebut sebagai pemenang lomba.Buru-buru aku mendampingi Habib untuk menerima piala yang akan diserahkan oleh dewan juri. Suara tepuk tangan terdengar meriah dari para penonton.Habib seorang anak kecil dari keluarga miskin menjadi kebangganku. Habib tempatku bersandar dan harapanku. Dia telah mewujudkan impianku menjadi nyata. Kini ia kembali membuatku bangga dengan menjadi pemenang lomba dalam cerdas cermat dan mendapat hadiah utama beasiswa belajar keluar negeri.Mataku seketika basah berlinang, menangis terharu memperhatikan buah hati. Aku melihat Habib disanjung dan dipuji karena prestasinya. Anak lelakiku yang baru berusia sepuluh tahun tampak tersenyum seming