Pov Faaiz
Aku sangat marah pada Ustaz Rahman. Seorang ustaz pemuka agama telah mencampakkan istri yang sholeha dan sebaik Ayi. Sekarang aku mengerti kenapa dia selalu berada di pondok pesantren. Rupanya Ayi adalah mantan istri dari lelaki itu.
Aku membenci sikapa Ustaz Rahman yang tidak bisa melindungi istrinya sendiri. Tidak mau mempertahankan rumah tangganya, malah memilih wanita lain menjadi istrinya.
Siapa yang percaya pada seorang ustaz yang agamais tapi pendusta. Semua kata-katanya bagiku hanyalah sampah.
Lagi pula wanita mana yang bisa terima bila suaminya menikahi perempuan lain? Memaafkan perbuatan Ustaz Rahman yang memilih menceraikan Ayi dari pada membelanya mati-matian adalah salah.
Namun, belum juga pernikahan kedua Ustaz Rahman berjalan mulus dan mempunyai keturunan dia kembali datang. Ustaz tak tahu diri itu dengan entengnya mengatakan akan kembali menikahi Ayi. Dengan alasan wasiat dar
Suasana pondok pesantren begitu ramai hari ini. Persiapan mengadakan lomba cerdas cermat akan diadakan pada pukul sepuluh pagi. Para orang tua yang mendampingi anak mereka juga telah hadir. Pondok pesantren yang didirikan oleh kyai Sholeh telah terpilih menjadi ajang pelaksanaan lomba para santri. Mereka akan diuji berbagai materi pelajaran. Para santri wajib menjawab pertanyaan dari waktu yang sudah disediakan dan bisa tepat menyelesaikan dalam waktu singkat. Aku sudah mengambil tempat duduk di ruang kelas bersama Faaiz dan juga Nara. Ruang kelas ini cukup luas bisa menampung untuk ratusan para santri. Ustaz Iman terlihat sibuk mempersiapkan berbagai keperluan untuk para lomba santri. "Bunda, Abang Habib mana? Kok, belum kelihatan sih?" Tanya Nara melihat para santri kesana-ke
"Habib?"Mataku membulat sempurna mendengar pengumuman nama Habib disebut sebagai pemenang lomba.Buru-buru aku mendampingi Habib untuk menerima piala yang akan diserahkan oleh dewan juri. Suara tepuk tangan terdengar meriah dari para penonton.Habib seorang anak kecil dari keluarga miskin menjadi kebangganku. Habib tempatku bersandar dan harapanku. Dia telah mewujudkan impianku menjadi nyata. Kini ia kembali membuatku bangga dengan menjadi pemenang lomba dalam cerdas cermat dan mendapat hadiah utama beasiswa belajar keluar negeri.Mataku seketika basah berlinang, menangis terharu memperhatikan buah hati. Aku melihat Habib disanjung dan dipuji karena prestasinya. Anak lelakiku yang baru berusia sepuluh tahun tampak tersenyum seming
"Sarah?" ucap Ustaz Rahman ternganga.Lelaki itu terlihat syok saat melihat kedatangan Sarah. Wanita itu tiba-tiba datang dan muncul di hadapan umum.Wajah wanita berkulit putih tersebut tersenyum miring menatap UstazRahman dan Nur Azizah. Sorotan kamera mengarah pada sosok wanita angkuh yang berdiri dengan tenang menghadap para wartawan."Kenapa, Ustaz Rahman? Terkejut?" Sarah mengulas senyum penuh ejekkan.Sarah berjalan santai mendekati Ustaz Rahman. Bibir merahnya masih menyunggingkan senyum miring."Apa yang kau lakukan disini?" tanya Ustaz Rahman gusar.Kini wajah keduanya saling berhadapan dengan jarak satu meter.
Faaiz keluar dari toko emas, usai membeli sebuah cincin batu permata. Lelaki yang berawakkan tinggi putih tersebut tersenyum bahagia saat menatap cincin dengan batu permata hijau mirip zamrud.Ia membeli cincin tersebut sebagai lamaran yang akan diberikan kepada pujaan hatinya. Dengan harapan sang pujaan hati akan menerima cintanya.Di dalam mobil Faaiz masih memperhatikan kotak merah beludru yang berisi batu permata hijau. Rencana untuk melamar sang kekasih hati sudah lama ia persiapkan. Akan tetapi Faiz selalu menundanya karena banyaknya kesibukkan dan konflik yang terjadi. Tiap kali ada kesempatan ia selalu gagal dan gagal."Em ... kali ini rencanaku harus berhasil memberi Ayi kejutan," gumamnya.Seraya menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Hatinya sedang
"Faiz?!" seruku lirih.Aku ternganga melihat Faaiz menyodorkan sebuah cincin permata hijau dan seikat bunga mawar."Ayi Fradilla, bersediakah kamu menjadi istriku?" Tanya Faiz dengan nada serius.Wajahnya terlihat berkeringat dingin. Perasaan bercampur aduk.Aku masih tak bergeming menerima cincin yang ia sodorkan. Kupandang wajah Nara yang tersenyum ke arahku. Mama dan papa Faiz juga tersenyum bahagia saat melihat kearahku.Aku takut dan masih trauma untuk menerima orang ketiga. Takut kedua orang tua Faaiz akan menolakku seperti apa yang dilakukan oleh Umi Fatimah ibunya Ustaz Rahman.Mengingat Faiz adalah anak semat
"Mas Anan?"Mataku membulat sempurna melihat isi pesan whatsapp Mas Anan.Pesan itu berisi nada penekanan dan ancaman. Sepertinya Mas Anan masih belum puas membuat hidupku menderita setelah yang lalu meninggalkanku dan memilih Sarah sebagai istri barunya."Bunda, ayo sarapan! Adek sudah laper nih," teriak Nara berdiri diambang pintu.Sudah menjadi kebiasaan Nara sarapan harus ditemani. Anak bungsu selalu manja bila berdekatan dengan ibunya.Aku lupa kalau hari ini Habib akan pergi ke Dubai untuk bersekolah di sana. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pesawat Habib akan berangkat pada pukul sepuluh. Masih ada waktu untuk bersiap-siap menuju bandara.
"Bunda, Habib pamit. Doakan semoga Habib berhasil dalam meraih cita-cita," ucap Habib berwajah sendu.Sorotan matanya menggambar rasa berat untuk berpisah. Sejak kecil sampai sekarang ia tidak pernah jauh dariku.Bertahun -tahun aku membesarkan buah hatiku dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kini aku harus melepaskannya pergi untuk sementara demi cita-cita. Habib anak yang cerdas serta berbakti. Ia juga selalu membantuku dalam pekerjaan rumah. Habib tak bersifat manja seperti anak-anak lainnya. Waktunya ia habiskan untuk membantu dalam pekerjaan rumah. Di saat anak seusianya menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman sebaya, tapi berbeda dengan Habib. Apa pun ia lakukan untuk membantu meringankan pekerjaanku.Apala
"Wanita tidak tahu malu. Dasar pezina. Tega-teganya kau menghianatiku demi seorang laki-laki miskin seperti dia," tunjuk Anan kepada Adrian.Mereka berdua tertangkap basah sedang melakukan perbuatan mesum di dalam kamar. Tubuh Sarah menggigil ketakutan saat Anan menodongkan pistol tepat di kepala Sarah.Adrian yang melihat Anan langsung bangkit dan memunguti pakaiannya. Pakaian mereka berdua berserakkan di lantai. Dengan hati-hati Adrian menjauh sedikit demi sedikit keluar dari kamar.Anan menembakkan pistolnya ke atas hingga menimbulkan bunyi suara yang sangat keras. Seketika Adrian berhenti melangkah dan diam di tempat."Maju selangkah lagi maka peluru ini siap menembus kepalamu Adrian," ancam Anan.