"Ayah ...."
Seorang anak kecil berlari mendekati Ustaz Adam, memeluk dengan erat. Usianya tak jauh dari Nara hanya selisih dua tahun saja lebih tua sedikit darinya.
"Cinta," seru Ustaz Adam menciumnya bertubi-tubi.
Gadis kecil itu lantas mengusap air mata Ustaz Adam. Tidak disangka perbuatan ayahnya meninggalkan kesedihan bagi gadis itu.
"Ayah mau kemana?" tangannya mengusap jejak air mata Ustaz Adam.
"Ayah mau pergi, Nak."
"Cinta mau ikut sama Ayah."
"Kamu gak boleh ikut Ayah, Nak. Kamu bersama Ibu saja tunggu sampai Ayah pulang menemui kalian," jelas Ustaz Adam.
"Tapi, Ayah mau kemana? Dan kenapa tangan Ayah diborgol?"
Ustaz Adam hanya menangis sedih melihat anaknya bertanya. Hati ayah mana yang takkan
Umi dan Nur berjalan dengan hati-hati menuju ke arah kami. Langkah mereka semakin dekat dan dekat."Assalamu'alaikum, apa kabar umi?" sapaku memberanikan diri.Detik berikutnya umi tersenyum ke arahku. Wajah itu terlihat pias seolah tak punya gairah."Waalaikumsalam. Alhamdulillah kabar baik," jawabnya pelan.Wajah yang dulu kukenal sangat membenci, kini terlihat sendu. Tampilan umi yang selalu elegan terlihat biasa saja. Banyak perubahan dari diri umi di banding kemarin dulu saat aku tinggal di rumahnya sebagai istri Ustaz Rahman. Umi yang terkenal cerewet berbeda dari umi yang sekarang lebih lembut dan bijaksana."Maaf, aku masih ada urusan. Permisi! Assalamualaikum,
"Ay, ini buat kamu dan anak-anak," ucap umi menyerahkan sebuah bingkisan."Apa ini, Umi?" tanyaku penasaran.Selama aku tinggal bersama umi belum pernah sekali pun umi memberiku hadiah apalagi bersikap ramah pula.Aku tidak tahu apa maksud umi memberi sebuah bingkisan yang isinya entah apa karena tertutup rapat dalam sebuah box. Setelah perpisahanku dengan Ustaz Rahman aku putus hubungan. Mereka pun sama sekali tidak pernah mencari atau pun sekedar bertanya kemana aku pergi. Sikap umi yang mendadak menjadi baik seperti perlakuan ibu kepada putrinya membuatku penuh tanda tanya. Ada apa dengan umi?"Nanti kamu juga akan tahu kalau sudah membukanya," katanya dengan mengulas senyum."Maaf, Umi. Bukan menolak rezeki tapi, ini terlalu berlebihan. Aku tidak bisa menerima pemberian umi. Apalagi berupa hadiah," sergahku.Umi memandang Ustaz Rahman yang berdiri di sebalah Nur Azizah. Berasa kecewa
Hari sudah malam, pemandangan excotic di malam hari sungguh memanjakan mata. Kuteringat akan tatapan Ustaz Rahman yang begitu sendu merasakan pernikahan yang tak bahagia di tengah konflik hati.Antara mematuhi umi seorang ibu yang melahirkan serta mbesarkan. Atau kah memilih bertahan berada di sisiku. Nyeri, cemburu, itulah dua kata yang menggambarkan hatinya sekarang. Begitu juga dengan Nur Azizah, ia pasti merasakan hal yang sama. Cemburu itu sudah pasti apalagi merasakan sakit sudah tentu.Sedang asyik melamun ponselku berdering menampilkan pesan watsapp dari umi, Ibu-nya Ustaz Rahman. Pesan itu menyatakan agar aku datang besok ke rumahnya sehabis salat zuhur. Umi menggundangku dalam rangka acara selamatan mengumpulkan anak yatim. Sudah menjadi tradisi dalam kebiasaan keluarga Ustaz Rahman setiap bulan di hari jum'at akan mengadakan santunan bagi anak yatim piatu.Pesan umi : "Datanglah besok, Ay. Umi mengundangmu unt
"Hem ... Maaf, Ustaz," ucapku cepat.Aku segera menarik tanganku dari gelas yang tadi kami sentuh bersama. Wajah Ustaz Iman berubah menjadi merah menahan malu.Ustaz Rahman mendongak, menatap sahabatnya sejenak yang membuatku tak nyaman dan menunduk menghindari tatapan itu."Akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak sengaja telah menyentuhmu, Ay," ucap Ustaz Iman merespon.Wajah Ustaz Rahman kini berubah. Ah, aku dari tadi mencuri pandang ke arahnya karena selalu penasaran ekspresi itu. Tiap kali Ustaz Iman memberi perhatian padaku ekspresi Ustaz Rahman berubah. Wajah itu milik seorang pria normal pencemburu.Selesai makan kami berbincang-bincang di ruang keluarga bersama keluarga Umi Fatimah. Ada abi, Nur dan juga Ustaz Rahman. Suasana sedikit kaku karena umi mengobrol dengan menanyakan hal pribadi kepada Ustaz Iman."Nak Iman, kapan kamu nikah? Apa belum ada c
"Sarah," gumamku. Wanita bergaya elegan itu turun dari mobil dan menghampiriku. "Apa kabar, Ayi? Senang bertemu denganmu kembali," ucapnya dengan nada dingin. Sikap dingin Sarah tidak pernah berubah. Sombong dan congkak atas harta yang dimilikinya membuat ia menjadi wanita yang kejam dan tak berperikemanusian. Senyumnya yang sinis tidak pernah lepas dari bibir yang bergincu merah. "Baik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja," jawabku. "Apa yang kamu lakukan di sini bersama seorang laki-laki yang bukan mahrammu," ketusnya. Ekor mata Sarah melirik Ustaz Iman yang berdiri di sampingku membantu membawakan barang belanjaan.
Suasana begitu ramai di dalam rumah bersamsakit. Ustaz Rahman dan Ustaz Iman terlihat menunggu di ruang ICU. Sementara Nur dan abi juga ikut menemani di sana dengan harap cemas sembari duduk dengan bangku berseberangan. Ustaz Iman duduk bersebelahan dengan Ustaz Rahman."Semoga, Umi bisa diselamatkan, Man," ucap Ustaz Iman."Yah, semoga," Ustaz Rahman mendesah.Ustaz Iman mengobrol ringan dengan Ustaz Rahman dalam hal ringan. Sesekali Ustaz Rahman membalas pesan dari watsapp dan menyambung obrolan.Ketika Ayi datang menjenguk umi ke rumah sakit Ustaz Rahman menyambutnya dengan tersenyum. Begitu juga dengan Ustaz Iman ia melemparkan senyuman manis. Ayi datang bersama Nara dan juga Faaiz untuk menjenguk umi yang kondisinya ngedrop."Mas, bagaimana dengan keadaan, Umi?" tanya Ayi dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Masih ditangani dokter,"
Waktu bergulir sangat cepat, di luar hari tampak sudah gelap. Ayi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu, mendesah pelan."Maaf, Mas. Aku harus segera pulang," ucapnya berpamitan pulang.Ustaz Rahman memutar bola jengah. "Tunggu sebentar, Ay. Dokter belum selesai memeriksa kondisi umi."Pintu ruang ICU perlahan terbuka, seorang dokter muda dengan penampilan mirip dokter Zaidul Akbar keluar setelah memeriksa kesehatan Umi Fatimah."Dok!" Ustaz Rahman langsung memasang wajah gusar.Dokter muda tersebut menggeleng pelan. Wajahnya terlihat sendu menatap Ustaz Rahman. Dokter tersebut menangkupkan kedua tangan memasang wajah sedih."Maaf, kami tim d
"Aku turut berduka cita, Abi," ucap Ayi. Abi masih berdiri di samping jasad umi dengan wajah yang sendu. "Iya, Ay," sahut abi lirih. Hampir suaranya nyaris tak terdengar tercekat di tenggorokkan. Akhirnya air mata abi yang sedari terlihat berkaca-kaca menahan tangis luruh juga membasahi pipinya yang terlihat mengkriput. Begitu juga dengan Ustaz Rahman yang terlihat bersedih karena kehilangan ibu tercinta secepat ini. Ustaz Rahman cepat mengusap air mata ketika Ayi memberi semangat agar tabah dalam melalui cobaan ini. "Yang sabar, Mas. Gusti Allah tidak a