Beberapa Tahun Kemudian
"Bunda," seru Habib berlari memelukku. Hari ini Habib pulang ke Indonesia setelah bertahun-tahun lamanya ia merantau dan melanjutkan sekolah di Dubai.
Selama sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu hanya saling menghubungi lewat video call saja. Habib kini sudah menjadi pria dewasa yang tampan berumur dua puluh satu tahun. Sementara Nara berumur lima belas tahun. Nara juga sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan berkulit putih bersih seperti kulitku.
"Habib?!" panggilku.
Kupeluk dengan erat anak lelakiku yang dulu masih kecil kini sudah beranjak dewasa. Sepuluh tahun terpisah Habib tidak pernah sekali pun pulang walau sekedar menjenguk.
Bera
"Ustaz Rahman?!" Seruku terperanga. Sepuluh tahun tidak bersua baru kali ini kami dipertemukan kembali.Ustaz Rahman tersenyum mengucap salam dengan ramah seperti kebiasaanya saat bertemu."Assalamualaikum," ucapnya."Waalaikumsalam.""Silahkan duduk!"Ustaz Rahman meminta kami duduk. Selama tidak bertemu tidak banyak berubah dari dirinya. Hanya saja dia agak kurusan seperti tidak ada yang merawat. Lelaki itu duduk dengan menyandarkan bahu di kursi kerjanya.Kumisnya tidak dicukur rapi, jambangnya agak sedikit panjang. Rambutnya juga gondrong dan berantakkan. Bukankah disampingnya ada Nur Azizah? Lalu kemanakah gerangan Nur Azizah sekarang?
Tanganku gemetar ketika membuka isi pesan whatsapp dari Ustaz Rahman. Sejak pertemuan kami kemarin seperti ada harapan yang terselip dalam hidupnya.Isi pesannya mengatakan kata-kata indah. Ini sudah berlalu selama sepuluh tahun. Rasanya baru kemarin aku berpisah dengannya.Tidak ada yang spesial dari pertemuan kami kembali kecuali hanya situasi yang berubah keadaan. Ustaz Rahman tidak menikah lagi setelah kepergian Nur Azizah. Sementara aku juga memutuskan untuk hidup sendiri lebih fokus kepada anak-anak dan membesarkan mereka.Karirku menjadi penyanyi religi sudah redup tidak sepamor dulu.Hanya sesekali saja aku mengisi acara jika ada panggilan.Sejak Faaiz tak ikut campu
Bulan purnama penuh bersinar dengan indah di malam hari. Suara binatang malam menghiasi susana malam yang mencekam. Alunan musik sholawat menjadikan suasana menjadi syahdu. Kami berkumpul di taman bersama Habib.Taman ini dibangun dengan gaya arsitek yang klasik. Dulu taman ini adalah kebun singkong yang aku tanami untuk pengganti nasi kalau aku kehabisan beras. Ingat masa lalu ingat masa susah sewaktu ditinggal Mas Anan merantau. Kini taman ini berdiri dengan indah memakai hiasan kolam kecil yang di dalamnya ada ikan hias. Masa suram itu telah berlalu sepuluh tahun."Bunda," panggil Nara. Ia datang dengan membawa cemilan keripik yang tadi siang dibeli dari supermarket"Nara?""Hayo, Bunda lagi melamun ya?" Godanya canggung.
"Bunda, ada tamu yang datang mencari," ucap Nara menghampiriku.Seketika aktivitasku terhenti melantunkan sholawat. Aku menoleh pada sibungsu yang berdiri diambang pintu kamar. Nara tersenyum menatapku."Siapa, Nak?" tanyaku melipat mukena."Tidak tau, Bun."Keningku terlipat ketika ada seorang tamu datang ke rumahku seingatku aku tidak pernah janjian dengan siapa pun."Sebentar Bunda temui. Kamu tolong buatkan minuman untuk tamu kita ya!"Nara mengangangguk dan segera ke belakang untuk membuatkan minuman yang aku minta.Kaki ini melangkah ke ruang tamu, di sana sudah duduk seorang wa
Siang itu matahari begitu terik tepat di atas kepala. Ayi dan Nara memutuskan untuk berbelanja kebutuhan bahan pokok. Mereka akan membeli beberapa kebutuhan untuk disumbangkan kepada panti asuhan.Setiap satu bulan sekali Ayi akan memberi sumbangan kepada beberapa panti jompo dan panti asuhan. Kegiatan amal ini rutin dilakukan sesuai dengan amanah Faaiz sebelum meninggal."Bunda, ayo kita pulang. Sudah semua kebutuhan kita beli," ucap Nara menoleh kepada Ayi."Ayo, Nak!"Selesai memilih beberapa dus susu Ayi membawa ke kasir. Setelah semua belanjaan dihitung dalam troli dia membayarnya dengan memakai uang kes.Setelah itu Ayi meminta Habib mengemudikan mobil menuju ke panti asuhan
Anan masih menatap pandangan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu tampak canggung di hadapan Habib dan Nara yang sudah bertahun-tahun lamanya berpisah.Untuk pertama kalinya dulu dia berpamitan pada Ayi merantau ke Jakarta. Kota yang padat dengan penduduknya dan segala kemewahan. Lelaki itu berjanji akan kembali menjemput setelah sukses dan berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Namun, nyatanya tidak demikian. Anan datang ketika sudah berhasil dan melupakan janji yang sudah dibuat dengan anak dan istri yang ditinggalkan. Ketika pulang hanya memberi talak pada Ayi wanita yang sudah lama menunggunya pulang."Nak, ini sudah lama berlalu dan Ayah sudah menghabiskan waktu di dalam bui. Kenapa kamu masih belum memaafkanmu," lirihnya.Masih terdengar dia menghela na
Tidak mudah melepas kepergian orang yang kita cintai. Meskipun kepergian itu katanya hanya sementara, tentu rasa sedih dan rindu akan meraja menyiksa jiwa dalam dada.Saat aku melepas Mas Anan merantau rasa itu begitu berat mencekam raga, dihempas kerinduan yang mendalam dalam penantian. Saat dia datang hanya menghadiahiku kata talak. Dan sekarang lelaki itu berdiri di depanku meminta kembali merajut jalinan kasih setelah lama berpisah dan anak-anak juga sudah besar."Ay … izinkan aku untuk menjadi suamimu kembali menjadi ayah untuk Habib dan Nara. Aku akan melamar dan menikahimu dengan proses seperti awal kita bertemu."Suara Mas Anan terdengar serak, manik matanya yang biasa bersinar kini berubah redup. Di hadapan Habib dan Nara dia berkata dengan percaya diri seolah aku adalah barang mainan yang bisa dipungut kembali setelah dibuang."Habib, Nara dan Humairah. Mau, kan kalian Ayah dan Bunda bersatu l
Jika memang jodoh sejauh apa pun dia akan pergi, sekencang itu berlari atau pun mengelak pasti akan dipertemukan. Karena ada sebuah ikatan yang akan menyatukan cinta mereka yaitu takdir. Kisah hidupku dengan Ustaz Rahman sudah berakhir sudah saatnya aku bangkit dan membuang kenangan itu."Mas," sapa Nurul ketika mendekat.Wanita itu berjalan bersama dengan anaknya penuh percaya diri. Gamis dan hijab yang dikenakan melambai-lambai tertiup angin. Senyumnya tetap mengembang kala menyapa."Assalamualaikum, Mbak," sapa Nurul mengembangkan bibir tipisnya."Waalaikumsalam," jawabku."Apa kabar, Mbak?" tanyanya tanpa mengurangi senyum.