Bulan purnama penuh bersinar dengan indah di malam hari. Suara binatang malam menghiasi susana malam yang mencekam. Alunan musik sholawat menjadikan suasana menjadi syahdu. Kami berkumpul di taman bersama Habib.
Taman ini dibangun dengan gaya arsitek yang klasik. Dulu taman ini adalah kebun singkong yang aku tanami untuk pengganti nasi kalau aku kehabisan beras. Ingat masa lalu ingat masa susah sewaktu ditinggal Mas Anan merantau. Kini taman ini berdiri dengan indah memakai hiasan kolam kecil yang di dalamnya ada ikan hias. Masa suram itu telah berlalu sepuluh tahun.
"Bunda," panggil Nara. Ia datang dengan membawa cemilan keripik yang tadi siang dibeli dari supermarket
"Nara?"
"Hayo, Bunda lagi melamun ya?" Godanya canggung.
"Bunda, ada tamu yang datang mencari," ucap Nara menghampiriku.Seketika aktivitasku terhenti melantunkan sholawat. Aku menoleh pada sibungsu yang berdiri diambang pintu kamar. Nara tersenyum menatapku."Siapa, Nak?" tanyaku melipat mukena."Tidak tau, Bun."Keningku terlipat ketika ada seorang tamu datang ke rumahku seingatku aku tidak pernah janjian dengan siapa pun."Sebentar Bunda temui. Kamu tolong buatkan minuman untuk tamu kita ya!"Nara mengangangguk dan segera ke belakang untuk membuatkan minuman yang aku minta.Kaki ini melangkah ke ruang tamu, di sana sudah duduk seorang wa
Siang itu matahari begitu terik tepat di atas kepala. Ayi dan Nara memutuskan untuk berbelanja kebutuhan bahan pokok. Mereka akan membeli beberapa kebutuhan untuk disumbangkan kepada panti asuhan.Setiap satu bulan sekali Ayi akan memberi sumbangan kepada beberapa panti jompo dan panti asuhan. Kegiatan amal ini rutin dilakukan sesuai dengan amanah Faaiz sebelum meninggal."Bunda, ayo kita pulang. Sudah semua kebutuhan kita beli," ucap Nara menoleh kepada Ayi."Ayo, Nak!"Selesai memilih beberapa dus susu Ayi membawa ke kasir. Setelah semua belanjaan dihitung dalam troli dia membayarnya dengan memakai uang kes.Setelah itu Ayi meminta Habib mengemudikan mobil menuju ke panti asuhan
Anan masih menatap pandangan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu tampak canggung di hadapan Habib dan Nara yang sudah bertahun-tahun lamanya berpisah.Untuk pertama kalinya dulu dia berpamitan pada Ayi merantau ke Jakarta. Kota yang padat dengan penduduknya dan segala kemewahan. Lelaki itu berjanji akan kembali menjemput setelah sukses dan berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Namun, nyatanya tidak demikian. Anan datang ketika sudah berhasil dan melupakan janji yang sudah dibuat dengan anak dan istri yang ditinggalkan. Ketika pulang hanya memberi talak pada Ayi wanita yang sudah lama menunggunya pulang."Nak, ini sudah lama berlalu dan Ayah sudah menghabiskan waktu di dalam bui. Kenapa kamu masih belum memaafkanmu," lirihnya.Masih terdengar dia menghela na
Tidak mudah melepas kepergian orang yang kita cintai. Meskipun kepergian itu katanya hanya sementara, tentu rasa sedih dan rindu akan meraja menyiksa jiwa dalam dada.Saat aku melepas Mas Anan merantau rasa itu begitu berat mencekam raga, dihempas kerinduan yang mendalam dalam penantian. Saat dia datang hanya menghadiahiku kata talak. Dan sekarang lelaki itu berdiri di depanku meminta kembali merajut jalinan kasih setelah lama berpisah dan anak-anak juga sudah besar."Ay … izinkan aku untuk menjadi suamimu kembali menjadi ayah untuk Habib dan Nara. Aku akan melamar dan menikahimu dengan proses seperti awal kita bertemu."Suara Mas Anan terdengar serak, manik matanya yang biasa bersinar kini berubah redup. Di hadapan Habib dan Nara dia berkata dengan percaya diri seolah aku adalah barang mainan yang bisa dipungut kembali setelah dibuang."Habib, Nara dan Humairah. Mau, kan kalian Ayah dan Bunda bersatu l
Jika memang jodoh sejauh apa pun dia akan pergi, sekencang itu berlari atau pun mengelak pasti akan dipertemukan. Karena ada sebuah ikatan yang akan menyatukan cinta mereka yaitu takdir. Kisah hidupku dengan Ustaz Rahman sudah berakhir sudah saatnya aku bangkit dan membuang kenangan itu."Mas," sapa Nurul ketika mendekat.Wanita itu berjalan bersama dengan anaknya penuh percaya diri. Gamis dan hijab yang dikenakan melambai-lambai tertiup angin. Senyumnya tetap mengembang kala menyapa."Assalamualaikum, Mbak," sapa Nurul mengembangkan bibir tipisnya."Waalaikumsalam," jawabku."Apa kabar, Mbak?" tanyanya tanpa mengurangi senyum.
Siapa yang tahu jodoh kita dengan siapa? Hanya Allah pemilik semesta alam yang tahu rahasia kehidupan manusia. Seorang calon suami bukan berarti takdir yang sudah digariskan.Hari ini aku melihat sendiri cinta sejati seorang Ustaz Rahman yang sudah ditolak, namun masih tetap mendekat. Bahkan dia rela menolak wanita seperti Nurul yang sudah setia menamani dan menyiapkan keperluannya. Tapi, dengan lembut Ustaz Rahman menolak wanita itu.Meski sebulan lagi akan menikah, bisa jadi Allah akan mengambilnya. Seperti yang terjadi padaku ketika pernikahan diambang persiapan sembilan puluh lima persen, nyatanya gagal. Allah mengambil Faaiz lebih dulu sebelum kami menikah. Setelah terpisah waktu dan jarak yang begitu lama akhirnya aku dipertemukan dalam satu ikat
Ponsel Mas Rahman bergetar, pertanda pesan masuk. Aku malas membukanya karena sedang menyusui Hafiz Zeeshan Bayi mungil ini diberi nama oleh Mas Rahman yang artinya pelindung martabat. Kelak akan menjadi anak yang sholeh, berbakti pada kedua orang tuanya.Namun, kembali benda pipih itu bergetar beberapa kali. Karena merasa terganggu aku pun membukanya. Di dalam ruang kerjanya Mas Rahman sedang memeriksa data siswa. Seminggu lagi pondok pesantren akan libur, dia sedang meninjau para murid yang berprestasi untuk diberi beasiswa.[Maafkan aku, Mas. Sepertinya aku takbisa untuk menjauh darimu][Mas, lambat laun Ayi juga akan tahu kalau kita punya hubungan yang spesial][Jangan menghindar dariku karena aku akan semakin mendekat][Aku mencintaimu, Mas. Aku tak mau jauh darimu]Barisan pesan dari Nurul begitu panjang tertulis lewat aplikasi hijau itu. Aku yang membaca isi pesannya merasa terbebani dengan kata-kata mesra ya
"Nurul?" Ayi terkejut melihat siapa pengirim pesan dari ponsel suaminya.Tangannya gemetar memegang benda pipih yang ada dalam genggamannya. Benda pipih itu terus saja berdering seolah tidak putus asa menghubungi suaminya."Siapa yang menelpon, Ay?" tanya Ustaz Rahman keluar dari kamar mandi.Ayi memberikan handphone milik suaminya, dia lantas berlalu begitu saja sambil menggendong Hafiz. Kening Ustaz Rahman mengernyit saat melihat pesan dari Nurul dan juga panggilan yang tak terjawab sebanyak lima kali selama ada di dalam kamar mandi."Nurul? Ada apa dia menelponku malam-malam begini? Bukankah tadi aku sudah mengantarkannya ke rumah sakit?" gumam Ustaz Rahman.Ting. Satu pesan lagi masuk ke aplikasi hijau miliknya, Ustaz Rahman membaca pesan itu. Nurul memintanya untuk datang ke rumah sakit, Anisa kritis dan membutuhkan dirinya. Bocah itu selalu memanggil nama Ustaz Rahman."Mas, ayo makan