Abian sedang sibuk mencari artikel yang berkaitan dengan aborsi.Matanya membulat sempurna saat dia membaca efek samping aborsi."Belum tentu yang dikatakan Silvia itu benar adanya," bantahnya. Hati kecilnya menolak dengan apa yang dibaca. Abian berbicara pada dirinya sendiri. Membesarkan hatinya, tetapi di sisi lain pikirannya mulai goyah. "Jangan-jangan apa yang dikatakan Silvia benar adanya. Dari awal bertemu perempuan itu sudah tidak suka dengan Anggraini. Kemungkinan besar dia tahu banyak tentang istri keduaku."Pria itu menutup laptopnya. Memandang ke arah wajah cantik yang sedang tidur di sampingnya. "Kalau kamu terbukti pernah melakukan aborsi maka, aku adalah pria yang paling bodoh di dunia! Harus menerima barang murahan. Rongsokan! Alangkah menjijikannya dirimu!" umpatnya di dalam hati. Tiba-tiba dadanya gemuruh hebat saat membayangkan Anggraini pernah berbuat mesum dengan lelaki lain. Tatapannya menerawang ke depan. "Bian. Dari mana saja kamu? Aku ini sedang sakit, lho
***Sudah tiga hari Silvia tinggal di rumah Abian seorang diri. Ibunya kembali ke Lampung Barat setelah kondisinya sehat. Beliau tidak ingin berlarut-larut memikirkan Abian. Toh, sudah bukan anak kecil lagi, katanya.Awalnya Silvia merasa takut tinggal sendiri, khawatir Abian akan datang dan melakukan hal yang tak senonoh lagi.Namun, Bu Anis menyakinkan perjalanannya kali ini tidak lama hanya tiga hari. Alhamdulillahnya kekhawatiran Silvia tidak terbukti. Abian tidak pernah datang ke rumah itu. Kepergiannya pun hanya untuk mengecek kondisi rumah makan. Bu Anis bukan tidak mau membawa Silvia, tetapi menantunya itu kini punya tanggung jawab mengajar privat. Silvia yang lulusan sarjana pendidikan mulai mengajar untuk mengisi kekosongannya. Wanita itu mulai memberikan les privat untuk cucu dari teman-teman mertuanya.***Bu Anis telah pulang, tetapi tidak ada Silvia di dalam rumah. Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik masih berpikir positif. Dia mencoba menghubungi Silvia.
Wanita muda yang masih mencangklong tas itu mengangkat kepalanya. Memberanikan diri menatap mertuanya yang tengah membuang muka.Derain air mata Silvia semakin beranak sungai atas tuduhan yang tidak mendasar dari mertuanya. Entah dari mana asal muasal sumber fitnah itu. Bu Anis, orang yang biasanya bijaksana dalam menghadapi masalah, kini benar-benar hilang kendali. Bagi Bu Anis, perempuan yang berani pergi dari rumah tanpa izin suami itu tidak benar sama sekali. Sebenarnya Silvia pergi bukan tanpa pamit. Berulang kali dia mencoba menghubungi nomor mertuanya atau pun suaminya. NaNamun tak ada satupun yang menjawab panggilan tersebut. Mungkin karena nomor yang tidak dikenal oleh mereka.Sayangnya, dia lupa untuk mengirim pesan melalui SMS, karena nomor handphone kakak iparnya kehabisan data internet. Handphone milik Silvia sendiri hilang, ketika dia pulang dari masjid selepas kajian rutin. Pada saat itu dia naik angkot, memang dia tidak tahu siapa yang mengambil tetapi dugaan kuat
Abian menangkap sorot kebencian dari Silvia pada Anggraini. Lelaki yang sedang duduk di kursi itu berdiri di depan para istrinya."Ada masalah apa kamu sama Anggraeni, Silvia?" tanya Abian penuh selidik. Pria itu sebenarnya ingin tahu banyak tentang Anggraini. Dia yakin Silvia mengetahui rahasia besar dari istri mudanya."Jelas dia itu cemburu, Bian. Aku kan madunya. Gimana, sih, kamu gitu aja harus dikasih tahu!" Anggraini mengangkat dagunya. Melipat kedua tangannya di depan dada."Jangan kepedean kamu, Anggraini! Seandainya kamu tidak menjadi istri keduanya mas Abian aku tetap membencimu seumur hidupku. Paham! Jauh sebelum aku menikah dengan Mas Abian pun aku sudah jijik melihatmu!" Silvia menunjuk muka Anggraini.Kini wanita berkerudung lebar itu menatap suaminya."Kamu mau tahu kenapa aku sangat membenci Anggraini, Mas? Karena dia pembunuh dua nyawa keluargaku sekaligus! Dia penyebab kematian kakak pertamaku." Silvia mengalihkan pandangannya ke Anggraini. Kilatan amarah jelas te
"Mulai detik ini aku menjatuhkan talak padamu. Kamu bukan lagi istriku … Anggraini Puspasari."Anggraini tersentak dari lamunannya. Senyum yang tadi sempat mengembang kini sirna setelah mendengar ucapan suaminya yang sangat menohok. Perempuan itu maju beberapa langkah ke arah suaminya. Matanya mendelik ketika maenatap manik suaminya yang ada di depannya."Abian. Kenapa aku yang kamu ceraikan? Seharusnya itu Silvia. Wanita yang tidak kamu cintai! Kamu sudah diracuni otaknya oleh istri tuamu itu! Sadar, Abian!" Anggraini meninggikan suaranya pada Abian. Menggoyang-goyangkan bahu suaminya. Dia tidak terima telah ditalak. Menjadi janda secepat itu. Plak! Tangan Abian secara refleks menampar pipi mulus Anggraini. " Kehadiranmu telah merusak hubunganku dengan ibu. Wanita yang telah melahirkan aku sering terluka akibat kamu! Apakah kamu masih pantas untuk dipertahankan? Kamu tega membodohi aku. Kamu gadis tapi sudah tak perawan lagi. Apa kamu kira apa mau menerima kamu setelah semua k
Silvia telah berdiri sedari tadi untuk menyambut mertuanya, kemudian meraih tangan ibunya Abian."Kamu sehat, Sayang?" tanya Bu Anis pada Silvia setelah sedikit berbasa-basi pada Bi Baidah."Alhamdulillah, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?" Meskipun ada rasa sakit hati akibat tuduhan yang tak beralasan dari mertuanya, Silvia tetap bersikap sopan dan ramah."Alhamdulillah ibu baik saat ini." Bu Anis memandang wajah menantunya dengan teduh. Tatapan yang selalu ia berikan untuk Silvia sebelum ada kiriman foto dari Anggraini.Bi Baidah segera pamit ke belakang untuk membuatkan minum tamunya. Sebenarnya tidak hanya sekedar menyiapkan suguhan untuk besannya, tetapi Bi Baidah ingin memberikan ruang untuk mereka berdua.Lama Bu Anis menatap wajah mungil yang mulai terlelap dalam pangkuan Silvia. Entah apa yang dipikirkan wanita yang mengenakan gamis syar'i berwarna tosca tersebut."Ini anaknya Ana?" Bu Anis masih menatap wajah tampan yang ada dalam gendongan menantunya."Iya, Bu. Putranya
Bu Anis membenarkan posisi duduknya, punggung yang tegak dengan kedua kaki yang rapat. Tatapan teduhnya menyorot lelaki yang sedang duduk di seberang. Senyum manis tak lupa ia berikan pada lawan bicaranya. Menambah keanggunan perempuan yang telah berumur tersebut."Yang berhak melepaskan Silvia itu Abian, suaminya. Sebuah kesalahan kalau kamu mau menebus Silvia. Betapa bodohnya saya kalau sampai menerima uangmu," papar Bu Anis. Lembut namun menohok.Tepat seperti dugaan Andi. Bu Anis pasti tidak akan melepaskan Silvia begitu saja. Namun"Bukankah Silvia menjadi penebus hutang-hutang bapak mertua? Lantas mengapa Ibu menolak uang pengganti dari saya?" bantah kakak iparnya Silvia."Silvia terlalu berharga apabila ditukar dengan uang. Perjuangkan Silvia kalau kamu memang mencintainya. Buatlah dia bahagia dengan caramu. Bagi saya Silvia itu bukan lagi menantu, tetapi anak kedua saya. Saya akan mendukung apa pun keputusan yang akan diambil oleh Silvia. Termasuk menikah denganmu. Mungkin."
"Memaafkan bukan berarti harus pulang, Bu," bantah Silvia, lembut tapi cukup tegas.Bu Anis menarik napas kasar. Tetap tersenyum meskipun terpaksa."Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Ibu tidak bisa memaksa kamu. Apa pun yang terjadi kedepannya kamu tetap anakku. Ibu tidak peduli kedepannya kamu akan hidup sama siapa, Silvia. Namun, satu yang perlu kamu ketahui, ibu tidak mau kehilangan kamu. Ibu Sayang kamu, Nak. Hanya saja kemarin ibu terlalu bodoh sehingga terpedaya oleh setan." Raut penyesalan jelas terpancar dari sana.***"Nduk. Paman tidak tahu apa sebenarnya penyebab kamu pulang ke sini? Mertuamu orang yang sangat baik, Nduk. Apa kamu ada masalah dengan Abian?" tanya Paman Gozali di malam harinya.Silvia terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang diajukan oleh adik bapaknya tersebut."Alasan Silvia pulang adalah untuk membantu merawat Nafis, Paman." Silvia menjawab dengan tegas, setelah sekian menit terdiam.Selalu begitu jawaban Silvia.Dia tidak in