"Mas. Boleh aku minta nomor WhatsAppnya?" tanyanya lirih."Aku lupa dengan nomorku sendiri." Aku menjawab asal sembari menyuap makanan. Terlihat gurat kecewa di wajahnya.Aku tidak tega melihat wajah yang sedih begitu."Begini saja. Kamu ada kartu nama?"Senyumnya merekah setelah mendengar pertanyaanku. Hanum segera melambaikan tangan pada karyawannya. Memerintahkan pada salah satu karyawannya. "Tolong ambilkan kartu nama di meja saya.""Ini restoran kamu yang keberapa?" tanyaku kepo. Aku tahu orang tuanya memiliki beberapa cabang rumah makan. Mungkin saat ini sudah menjadi restoran. Belum sempat menjawab karyawan tadi sudah kembali ke sini. Cepat juga dia! "Kamu boleh pergi," ucap Hanum pada karyawannya, setelah menyerahkan kartu nama tersebut. "Ini, Mas. Tolong hubungi aku segera, ya. Aku sudah lama mencari kontakmu tapi tidak ketemu. Mencari akun media sosialmu pun tidak berhasil." Tangan kiriku segera mengambil kartu nama tersebut. Entah untuk kepentingan apa aku menghubun
"Astaghfirullah … Bian! Alangkah menjijikkan perbuatan bekas istrimu!" Aku kehabisan kata-kata untuk membantah ucapan ibu. Toh memang benar adanya. Aku sudah melihat adegan yang memalukan di galeri Silvia. "Firasat ibu tidak salah. Anggraini bukan wanita baik-baik. Ini buktinya."Untung saja sudah aku ceraikan.Aku merasa jijik setelah melihatnya adegan itu. Membayangkan tubuhnya sudah dijamah oleh lelaki lain selain suaminya. Mual pun tiba-tiba menyerangku. Zaman sekarang banyak wanita yang covernya gadis tapi isinya sudah tak perawan. Bagaimana bisa dahulu, aku jatuh cinta pada wanita itu? Aku terpesona dengan cantiknya. Memang benar apa kata orang tua, cantik rupa belum tentu hatinya."Benar-benar menjijikkan! Kamu harus segera memeriksakan diri, Bian! Ibu tidak mau kamu terkena penyakit kelamin!" "Bian belum pernah menyentuhnya, Bu," jawabku jujur. Ibu mengernyitkan dahinya. Pasti beliau tak percaya. Tapi itu kenyataannya."Apa kamu tidak normal, Bian?" Pertanyaan ibu absurd. R
Ternyata selama ini ibu dan Silvia memiliki komunikasi yang bagus. Ibu sepertinya sengaja membuat aku tersiksa karena mencari keberadaan menantunya. Tiba-tiba hatiku panas saat melihat Silviatersenyum ramah dan sesekali melihatnya tertawa pada seorang pria yang sedang duduk manis di depan warungnya."Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain." ucapku setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Bikin malu saja. Memang kamu siapa?" tantang Silvia dengan mata menatap nyalang ke arahku. ***POV 3"Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain," ucap Abian setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Biki
"Saya tidak perlu menjelaskan mengapa istri saya menyendiri di sini. Jangan berasumsi sendiri. Istri saya wanita baik-baik, Istri yang sholehah. Tidak perlu kalian korek informasi tentangnya terlalu dalam." Darini melengos pergi begitu saja setelah Abian berhasil membungkam mulutnya.Merasa kesal wanita beranak dua itu segera pergi dari warung Silvia tanpa pamit. Sebenarnya karedok Darini sudah dibungkus dari tadi. Wanita itu sengaja berlama-lama karena ingin ngerumpi di situ. Mencari bahan ghibahan."Mbak Silvia. Punya hutang penjelasan sama kami. Yuk, Ningsih kita pulang dulu!" "Mbak kami pulang dulu, ya," pamit keduanya. Marini dan Ningsih pun meninggalkan warung itu.Kini tinggal "Mbak. Pesanan saya sendiri sudah selesai?" Darsono merasa tak nyaman berlama-lama di warung Silvia, padahal biasanya tempat itu menjadi candu untuknya. "Ini, Mas." Silvia menyerahkan dua puluh bungkus karedok pada Darsono."Terima kasih. Ini uangnya." Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Abian menangk
"Baju kamulah. Masa baju orang lain." "Siapa tahu baju istrimu yang lain. Secara aku telah pergi selama tiga bulan. Aku sudah tidak tahu lagi kamu menikah dengan wanita mana? Menikah ke berapa? Dan apa yang telah terjadi aku benar-benar tidak paham.""Aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan.""Dulu aku berpikir yang baik-baik tentang kamu, Mas. Namun, penilaianku telah kamu patahkan. Sekarang aku tidak tahu siapa sebenarnya lelaki yang telah menikahiku. Buktinya, aku mengira kamu adalah anak yang patuh serta menyayangi ibu, nyatanya kamu malah tega menorehkan luka di hatinya.""Aku bukan malaikat yang tidak pernah salah dan juga bukan setan yang tak pernah benar. Sudahlah kita akhiri perdebatan ini dan cepat ganti bajumu. Memangnya kamu mau tidur dengan gamis seperti ini?" Silvia terdiam beberapa detik. Tidak mungkin dia bisa tidur dengan nyaman apabila masih memakai gamis yang berbahan tebal dan terasa berat itu."Aku janji tidak akan macam-macam." Abian menerima baju tidur itu ke
Abian masih ingin berbicara banyak dengan Silvia. Akan tetapi, istrinya sudah tidak ingin berlama-lama di cafe tersebut. Silvia sudah berjalan meninggalkan Abian yang masih terdiam di kursi. Tidak menyangka akan mendapatkan penolakan dari Silvia. Sadar dirinya ditolak, gegas pria itu berjalan ke kasir guna membayar tagihan. Silvia sudah menunggu di depan mobil. Dari jauh Abian berjalan gontai menuju mobilnya. Senyumnya mengembang saat melihat Silvia berdiri di depan kuda besinya. Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Tinggal tiga puluh menit menuju rumah Bu Anis. Selama dalam kendaraan dua manusia itu saling diam. Terhanyut dengan pikirannya masing-masing. Tanpa terasa mobil telah sampai di depan rumah bercat tosca tersebut. Abian pun telah membelokkan mobilnya ke arah garasi. Pria itu berhasil masukkan mobilnya ke dalam garasi. Silvia mendelik sempurna ke arah suaminya. Dadanya bergemuruh hebat. Abian tersenyum kecut menerima tatapan itu. "Ayo turun!" Abian hendak membuka p
Abian terperangah mendengar ucapan Silvia. Sepertinya istrinya itu tidak main-main. Tiba-tiba ada rasa nyeri dan sesak di dalam. Hatinya terkoyak. Tak siap bila Silvia benar-benar meminta berpisah darinya, meski dulu ini yang dinginkan Abian. Bu Anis menarik napas dalam-dalam. Menenangkan gejolak dalam dadanya. Ditatapnya lekat-lekat manik wanita muda itu. Ingin mencari kebohongan dari sorot mata itu, tetapi tidak ada. Ada denyut tak biasa yang dirasakan wanita paruh baya itu saat menantunya mengajukan pertanyaan tersebut. Meski pernah bilang setuju apabila Silvia meminta cerai anaknya. Bukan tidak bisa memegang ucapannya, bukan. Tetapi Bu Anis tidak ingin memiliki menantu yang lainnya. Silvia ingin menyerah. Bukan karena merasa kalah. Namun, tidak ingin sakit hati terlalu lama. "Apa memang sudah tidak pantas dipertahankan pernikahan kalian, Sayang?" "Apa memang sudah tidak ada kesempatan kedua, Nak?" tanya Bu Anis dengan suara yang bergetar. Ternyata "Silvia tidak tahu, Bu.""I
Wanita yang baru bangun tidur siang itu mencuri dengar pembicaraan dua pria muda di ruang tamu rumah mewah tersebut. "Selamat ya, Bian. Kamu menjadi pemenang taruhan seratus hari itu. Akhirnya kamu yang memenangkan hati Silvia. Kamu berhasil membawanya kembali." Tubuh Silvia bergetar hebat dadanya berdenyut nyeri. Badannya lunglai seketika seakan tidak ada tulang yang mampu menopangnya untuk berdiri tegak. Tubuh mungil itu pun merosot ke bawah. Syok setelah mendengar ucapan kakak iparnya. Andi.Memang, Silvia sudah mati rasa terhadap Abian. Namun, mendengar dirinya dipertaruhkan itu sangat menyakitkan.Ya, Andi sedang bertandang ke rumah Bu Anis. Kebetulan sedang ada urusan di daerah metro. Pria beranak satu itu pun menyempatkan diri ketemu Abian do rumahnya. "Aku sudah bilang, Mas. Bahwa akulah pemenangnya. Aku ini suaminya. Dia harus menjadi milikku kembali. Silakan cari perempuan lain sebagai ibu sambung Nafis. Jangan berharap mendekati Silvia." "Ya, karena harapan untuk memili