Ternyata selama ini ibu dan Silvia memiliki komunikasi yang bagus. Ibu sepertinya sengaja membuat aku tersiksa karena mencari keberadaan menantunya. Tiba-tiba hatiku panas saat melihat Silviatersenyum ramah dan sesekali melihatnya tertawa pada seorang pria yang sedang duduk manis di depan warungnya."Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain." ucapku setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Bikin malu saja. Memang kamu siapa?" tantang Silvia dengan mata menatap nyalang ke arahku. ***POV 3"Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain," ucap Abian setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Biki
"Saya tidak perlu menjelaskan mengapa istri saya menyendiri di sini. Jangan berasumsi sendiri. Istri saya wanita baik-baik, Istri yang sholehah. Tidak perlu kalian korek informasi tentangnya terlalu dalam." Darini melengos pergi begitu saja setelah Abian berhasil membungkam mulutnya.Merasa kesal wanita beranak dua itu segera pergi dari warung Silvia tanpa pamit. Sebenarnya karedok Darini sudah dibungkus dari tadi. Wanita itu sengaja berlama-lama karena ingin ngerumpi di situ. Mencari bahan ghibahan."Mbak Silvia. Punya hutang penjelasan sama kami. Yuk, Ningsih kita pulang dulu!" "Mbak kami pulang dulu, ya," pamit keduanya. Marini dan Ningsih pun meninggalkan warung itu.Kini tinggal "Mbak. Pesanan saya sendiri sudah selesai?" Darsono merasa tak nyaman berlama-lama di warung Silvia, padahal biasanya tempat itu menjadi candu untuknya. "Ini, Mas." Silvia menyerahkan dua puluh bungkus karedok pada Darsono."Terima kasih. Ini uangnya." Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Abian menangk
"Baju kamulah. Masa baju orang lain." "Siapa tahu baju istrimu yang lain. Secara aku telah pergi selama tiga bulan. Aku sudah tidak tahu lagi kamu menikah dengan wanita mana? Menikah ke berapa? Dan apa yang telah terjadi aku benar-benar tidak paham.""Aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan.""Dulu aku berpikir yang baik-baik tentang kamu, Mas. Namun, penilaianku telah kamu patahkan. Sekarang aku tidak tahu siapa sebenarnya lelaki yang telah menikahiku. Buktinya, aku mengira kamu adalah anak yang patuh serta menyayangi ibu, nyatanya kamu malah tega menorehkan luka di hatinya.""Aku bukan malaikat yang tidak pernah salah dan juga bukan setan yang tak pernah benar. Sudahlah kita akhiri perdebatan ini dan cepat ganti bajumu. Memangnya kamu mau tidur dengan gamis seperti ini?" Silvia terdiam beberapa detik. Tidak mungkin dia bisa tidur dengan nyaman apabila masih memakai gamis yang berbahan tebal dan terasa berat itu."Aku janji tidak akan macam-macam." Abian menerima baju tidur itu ke
Abian masih ingin berbicara banyak dengan Silvia. Akan tetapi, istrinya sudah tidak ingin berlama-lama di cafe tersebut. Silvia sudah berjalan meninggalkan Abian yang masih terdiam di kursi. Tidak menyangka akan mendapatkan penolakan dari Silvia. Sadar dirinya ditolak, gegas pria itu berjalan ke kasir guna membayar tagihan. Silvia sudah menunggu di depan mobil. Dari jauh Abian berjalan gontai menuju mobilnya. Senyumnya mengembang saat melihat Silvia berdiri di depan kuda besinya. Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Tinggal tiga puluh menit menuju rumah Bu Anis. Selama dalam kendaraan dua manusia itu saling diam. Terhanyut dengan pikirannya masing-masing. Tanpa terasa mobil telah sampai di depan rumah bercat tosca tersebut. Abian pun telah membelokkan mobilnya ke arah garasi. Pria itu berhasil masukkan mobilnya ke dalam garasi. Silvia mendelik sempurna ke arah suaminya. Dadanya bergemuruh hebat. Abian tersenyum kecut menerima tatapan itu. "Ayo turun!" Abian hendak membuka p
Abian terperangah mendengar ucapan Silvia. Sepertinya istrinya itu tidak main-main. Tiba-tiba ada rasa nyeri dan sesak di dalam. Hatinya terkoyak. Tak siap bila Silvia benar-benar meminta berpisah darinya, meski dulu ini yang dinginkan Abian. Bu Anis menarik napas dalam-dalam. Menenangkan gejolak dalam dadanya. Ditatapnya lekat-lekat manik wanita muda itu. Ingin mencari kebohongan dari sorot mata itu, tetapi tidak ada. Ada denyut tak biasa yang dirasakan wanita paruh baya itu saat menantunya mengajukan pertanyaan tersebut. Meski pernah bilang setuju apabila Silvia meminta cerai anaknya. Bukan tidak bisa memegang ucapannya, bukan. Tetapi Bu Anis tidak ingin memiliki menantu yang lainnya. Silvia ingin menyerah. Bukan karena merasa kalah. Namun, tidak ingin sakit hati terlalu lama. "Apa memang sudah tidak pantas dipertahankan pernikahan kalian, Sayang?" "Apa memang sudah tidak ada kesempatan kedua, Nak?" tanya Bu Anis dengan suara yang bergetar. Ternyata "Silvia tidak tahu, Bu.""I
Wanita yang baru bangun tidur siang itu mencuri dengar pembicaraan dua pria muda di ruang tamu rumah mewah tersebut. "Selamat ya, Bian. Kamu menjadi pemenang taruhan seratus hari itu. Akhirnya kamu yang memenangkan hati Silvia. Kamu berhasil membawanya kembali." Tubuh Silvia bergetar hebat dadanya berdenyut nyeri. Badannya lunglai seketika seakan tidak ada tulang yang mampu menopangnya untuk berdiri tegak. Tubuh mungil itu pun merosot ke bawah. Syok setelah mendengar ucapan kakak iparnya. Andi.Memang, Silvia sudah mati rasa terhadap Abian. Namun, mendengar dirinya dipertaruhkan itu sangat menyakitkan.Ya, Andi sedang bertandang ke rumah Bu Anis. Kebetulan sedang ada urusan di daerah metro. Pria beranak satu itu pun menyempatkan diri ketemu Abian do rumahnya. "Aku sudah bilang, Mas. Bahwa akulah pemenangnya. Aku ini suaminya. Dia harus menjadi milikku kembali. Silakan cari perempuan lain sebagai ibu sambung Nafis. Jangan berharap mendekati Silvia." "Ya, karena harapan untuk memili
Dua tahun bukan waktu yang singkat. Namun, aku tidak bisa melupakan sosoknya begitu saja. Bahkan semakin kuat aku menepisnya rasanya pun kian menggila. Semakin menyakitkan. Mungkin semua ini ganjaran untukku. Rasa ini tidak pernah hilang setelah seseorang membawa pergi separuh jiwaku. Sampai kapan aku akan menanggung rindu yang sangat menyiksa ini? Entahlah. Aku ingin perasaan ini segera menemukan muaranya. Bertemu dengan pencuri hati."Masuk," ucapku tanpa menoleh ke arah sumber suara saat pintu ruanganku diketuk dari luar.Mataku masih menekuri layar handphone. Menatap wajah ayu yang sedang tertidur pulas. Kamu di mana? Bagaimana keadaan saat ini? Apakah kamu mempunyai perasaan yang sama seperti aku? "Maaf, Pak. Ada wanita yang ingin bertemu dengan, Bapak." Rasti — karyawanku memberi tahu setelah berdiri di hadapanku."Siapa?" tanyaku sembari mematikan handphone. "Kurang tahu, Pak." Semoga saja itu orang yang aku cari. Tapi rasanya mustahil. Ah, tidak ada yang tidak mungkin jika
"Silvia." Reflek aku memanggil namanya. Wanita itu pun menoleh ke arahku. Dia pun mematung beberapa saat sebelum membalas senyumanku."Mas." Berjalan ke arahku setelah membayar belanjaannya. Hatiku girang tidak ketulungan bisa bertemu wanita pujaan. "Bunda ternyata ada di sini. Saya cariin ke mana-mana." Seorang pria yang ada di belakangku memutuskan kontak mata kami. Spontan aku pun menoleh ke arahnya. "Maaf tidak pamit dulu," ucap Silvia. Aku seperti terhempas dari ketinggian. Setelah dibuat melayang karena bertemu dengannya kembali. Namun, seketika harus menerima kenyataan bahwa dia telah menikah lagi."Mas. Aku pamit dulu, ya. Semoga nanti bisa bertemu kembali," jelas Silvia tepat di depanku. Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Kutatap punggung wanita berjilbab lebar itu. Dadaku tiba-tiba sesak saat melihat pria yang berjalan di sampingnya. Mereka terlihat serasi. Seharusnya aku yang berjalan bersamanya. Ternyata patah hati semenyakitkan ini. Penantianku selama dua tahun ternya