Share

JIKA BUKAN DENGAN DEREN

***

Zeva berjalan menelusuri lorong hotel untuk mencari nomor kamar dari secarik kertas yang Deren berikan. Di sepanjang kakinya melangkah, Zeva hanya terdiam dengan tatapan kosong. Membayangkan baru semalam ia harus melakukan pekerjaan itu dan hari ini ketakutannya akan terulang kembali.

Merasa dirinya telah sampai pada tujuan, Zeva mengangkat kepala sejenak untuk memastikan bahwa ruang di hadapannya adalah kamar yang benar.

“237,” lirihnya mengulang angka yang tercatat pada kertas yang ia bawa. Zeva sedikit ragu ketika tangannya harus bergerak untuk mengetuk pintu.

“Lakukan saja seperti biasanya,” tuturnya berbisik meyakinkan diri sendiri.

Sesaat setelah ketukan yang ketiga, pintu itu ternyata tak dikunci. Dengan sedikit keraguan yang tertinggal, Zeva membuka daun pintu dan memutuskan untuk masuk ke dalam.

Setelah pintunya kembali tertutup, ia mendengar suara percikan air dari arah kamar mandi. Melihat baju kerja yang berserakan di atas kasur, Zeva segera merapikan tempat tidurnya dan melipat pakaian-pakaian itu dengan rapi.

Saat lipatan terakhir selesai dilakukan, muncul seorang pria dari kamar mandi dengan sebuah handuk yang hanya dililit untuk menutupi bagian pentingnya.

“Terima kasih sudah dirapikan,” ucapnya mengejutkan Zeva.

Perempuan itu terperanjat kecil dengan kepala menunduk dan sedikit menepi untuk memberikan pria tersebut jalan.

“Duduklah sebentar. Aku akan memakai bajuku di kamar mandi,” sambungnya meraih lipatan baju bersih yang ia letakkan di atas meja.

Setelah memastikan laki-laki itu memasuki bilik mandi, Zeva mengangkat kepalanya dan melihat punggung seorang pria yang tampak sempurna.

Sesekali dahinya mengerut. Seolah matanya kembali menangkap gestur tubuh yang pernah ia lihat.

Sejenak memori Zeva berkelana pada seorang pria yang tidak sengaja bertemu di warung makan tempo hari. Matanya samar-samar terus memperhatikan postur tubuh tersebut dari balik kaca dan membenarkan semua ingatannya.

“Rupanya itu kamu? Senang bertemu kembali,” girang pria tersebut membuyarkan lamunan Zeva.

‘Senyum itu’ batin Zeva ketika menatap pria tampan di hadapannya.

Dengan perasaan penuh kegirangan, sosok pria itu berjalan ke arah Zeva dan memperkenalkan diri. “Aksa,” tuturnya dengan senyuman merekah.

Zeva mengikuti lekukan senyum Aksa dengan baik. Entah dari mana ketenangan itu datang. Yang jelas, kali ini Zeva tidak merasakan tekanan hebat seperti yang ia rasakan ketika harus melayani rekan kerja suaminya.

***

“Jadi Deren itu suamimu?”

Kini mereka berdua memilih untuk duduk bersanding di tepi kasur. Kemudian Zeva mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.

“Jika kamu istrinya, mengapa ia membiarkanmu tidur dengan laki-laki lain?” Aksa terus bertanya.

Zeva menoleh ke arah Aksa dengan senyuman kecil. Ia hanya menyampaikan bagian yang perlu ia ceritakan.

Zeva menyebut bahwa apa yang ia lakukan adalah sebagai seseorang yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Sekeras apa pun Zeva mengelak, nasibnya akan tetap berhenti di tempat yang sama.

Di sepanjang cerita itu dibeberkan, Aksa hanya bisa mendengar dengan penuh perhatian. Yang ia lihat, perempuan di hadapannya adalah seorang istri yang terbuang meskipun baktinya begitu kuat.

Aksa melihat cinta yang Zeva miliki untuk Deren sangatlah besar. Hanya saja setiap orang juga memiliki batas kesabaran masing-masing.

Berulang kali Zeva menyeka air mata yang selama ini tidak pernah ia keluarkan. Bukan tangis karena siksaan Deren, melainkan tangis karena kehadiran Aksa yang masih menunjukkan kepeduliannya meskipun mereka bukan siapa-siapa.

“Kemarilah,” pinta Aksa agar Zeva mau lebih dekat lagi kepadanya. Zeva hanya menurut.

Kedua tangan Aksa kemudian dilayangkan hingga menyentuh kepala Zeva. Ia menatap perempuan itu dengan penuh kasih. Sesekali tangan Aksa mengusap lembut kepala perempuan tersebut dari pangkal hingga ujung rambut.

Aksa tersenyum hangat. “Tidak seorang pun yang bisa merasakan dan memahami luka-lukamu dengan baik. Tapi, bukan berarti kamu harus menyakiti diri sendiri dengan bertahan untuk sesuatu yang tidak diperlukan,” tutur Aksa membuat Zeva tak kuasa menahan haru.

“Aku tidak punya pilihan lain, Aksa. Aku ha—,”

“Cobalah untuk berani dan membuat pilihanmu sendiri,” sahut Aksa segera memotong ucapan Zeva.

“Orang lain tidak memiliki hak atas kehidupan siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Zeva, kamu hanya butuh keberanian untuk keluar dari kurungan itu,” sambungnya.

Semua kata-kata Aksa membuat Zeva terhipnotis dengan keberanian yang sedikit bisa ia rasakan. Pria di hadapannya mungkin benar. Jika suaminya tak memberikan pilihan, maka Zeva hanya butuh menjadi berani untuk menentukan pilihannya sendiri.

Perlahan tatapan mereka berdua kini saling bertemu. Zeva melihat kebaikan Aksa begitu tulus. Begitupun dengan Aksa yang melihat Zeva benar-benar membutuhkan dukungan meskipun tak seberapa.

“Bolehkah aku meminta sesuatu?” pinta Zeva penuh ragu di tengah desakan kuat dari keinginannya.

Aksa mengangguk. Menyanggupi permintaan yang bahkan belum Zeva sampaikan.

Namun, sejenak Zeva menyadari bahwa apa yang ingin ia katakan mungkin akan merusak segalanya. Meski baru kali ini Zeva mengobrol dengan Aksa, pria itu bahkan tidak segan-segan memberikan pengertiannya. Demi alasan itu, Zeva tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya dengan baik.

Ia menggeleng yakin. “Ah, tidak. Lain kali saja,” ucapnya membatalkan permintaan dengan sedikit rasa kecewa.

Kekecewaan itu hadir karena Zeva tak sengaja menginginkan Aksa untuk tetap berada di sisinya.

“Katakan saja. Ingat jika kamu harus berani untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Aksa mendesak Zeva untuk mengungkapkan permintaannya.

Lagi-lagi Aksa berhasil membangkitkan rasa berani yang selama ini telah lama hilang. Jika bukan hari ini, Zeva mungkin tidak akan memiliki kesempatan lain untuk bertemu dengan Aksa.

Perempuan tersebut memposisikan tubuh agar lebih dekat dengan lawan bicara. Kepalanya harus sedikit terangkat untuk ikut menatap kepedulian seorang pria yang tak sengaja ia temui.

“Aksa, mungkinkah aku bisa menjadi seorang istri yang sesungguhnya jika bukan dengan Deren?” lirih Zeva dengan tatapan serius untuk pertanyaannya.

Aksa terdiam. Memang benar bahwa ia hanyalah orang baru di kehidupan Zeva. Tapi, sekarang Aksa seperti mengerti betul betapa sengsaranya Zeva yang harus memaksa diri untuk tetap mempertahankan Deren.

Tangan Aksa kemudian mengelus kepala Zeva pelan. “Kenapa?” singkatnya untuk mengulik alasan di balik pertanyaan itu.

“Karena bersama Deren rasanya berat sekali.” Zeva tak lagi menutupi apa yang ia rasakan selama ini.

Aksa terus melayangkan senyum untuk meredakan keresahan perempuan itu.

“Dari awal, dia memang tidak berniat untuk memilikimu. Jika kamu bersama dengan seseorang yang bersamamu adalah sebuah tujuan, maka hatimu tidak akan mempertanyakan keraguan itu,”

“Lalu, apakah salah jika sekarang aku menginginkan orang lain?” bola mata Zeva mulai berkaca-kaca.

Jemari yang mulanya sibuk mengelus kepala Zeva, kini Aksa tarik dan beralih memegang kedua tangan perempuan itu.

Aksa memperhatikan jari-jemari yang terlihat begitu mungil, namun pemiliknya harus memikul beban terlalu berat.

Sepasang matanya kemudian tertarik pada warna biru di pergelangan tangan kanan. Pelan tapi pasti, Aksa mengangkat sedikit kain yang menutupi lengan Zeva hingga tampak jelas bahwa luka lebam dari amarah Deren semalam sudah semakin memburuk.

“Lakukan saja. Aksa harap kamu bisa bertemu dengan laki-laki itu,” ucapnya sembari mengusap luka tanpa melihat ke arah Zeva.

“Aksa.” Zeva menyebut nama lawan bicaranya dengan nada bergetar.

“Kemarilah,” tuturnya meraih tubuh perempuan itu dalam dekapannya. Aksa tidak ingin Zeva turut melihat kesedihan yang ia rasakan.

Zeva memejamkan mata merasakan pelukan dari lawan jenis yang benar-benar terasa berbeda dari sebelumnya. Setiap usapan yang Aksa lakukan pada punggungnya memberikan ketenangan luar biasa bagi Zeva. Bahkan jika diperbolehkan, Zeva tidak ingin melepas pelukan itu sampai kapan pun.

***

“Hari ini kita wujudkan keinginanmu untuk memiliki pekerjaan lain.”

Ucapan Aksa membuat Zeva tersenyum penuh harapan. Setelah bangun tidur, laki-laki itu menyiapkan baju baru untuk Zeva yang akan bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Aksa berniat memunculkan kembali keberanian Zeva yang selama ini sulit ditemukan lagi.

“Aku akan memberimu gaji setiap hari untuk cicilan hutang yang harus kamu lunasi. Sebagai gantinya, bekerjalah dengan baik dan layani aku sebagai atasanmu,” tutur Aksa ramah sembari memegang pundak Zeva sebelah kanan.

Senyum haru terlukis di bibirnya. Entah ia harus merasakan sedih ataukah senang. Sedangkan Aksa juga melihat setitik keraguan yang mengganggu pikiran Zeva.

“Apakah ada hal lain yang kamu inginkan?” Aksa bertanya hingga lamunan itu sirna.

“Aku belum menyiapkan baju kerja dan sarapan pagi untuk Deren,” jawab Zeva berterus terang.

Aksa tertawa. “Apakah dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri?”

Zeva menggeleng. “Selama ini aku yang menyiapkan segala keperluan Deren. Jika tidak, dia pasti akan memukuli tanganku dengan benda apa pun itu,”

Mendengar kenyataan yang begitu menyakitkan, Aksa menurunkan senyuman dari sisa gelak tawanya. Ia baru mengerti jika Deren sudah benar-benar tidak masuk akal selama ini.

“Jangan khawatir. Dia pasti memiliki orang lain untuk menggantikan pekerjaanmu,”

Sejenak Zeva teringat pada seorang wanita yang malam itu ia temui. Mungkin Aksa benar. Deren sering membawa perempuan lain ke rumah. Jika bukan Zeva, setidaknya ada orang lain yang bisa ia repotkan untuk itu semua.

***

Di sisi lain, Deren dengan segala amarahnya menggerutu menunggu Zeva yang tak kunjung datang hingga pukul tujuh pagi.

Tubuhnya kini tengah asik berjalan kesana kemari untuk menghubungi seseorang yang sedari tadi tak sudi menjawab panggilan.

“Sialan! Awas saja jika aku melihat keberadaanmu hari ini,” geramnya dengan tangan mengepal penuh dendam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status