Adrian Pov.Ibu langsung di bawa masuk ke ruang IGD rumah sakit terdekat. Ya Tuhan, jangan sampai ibu kenapa-napa. Kalau sampai terjadi padanya aku tak kan bisa memaafkan diriku sendiri. Sepanjang menunggu dokter keluar dari ruang IGD aku terus saja merutuki diriku sendiri, aku menyesal telah memberitahunya secepat ini. Harusnya aku tahu kondisinya, harusnya aku sudah antisipasi jika ini akan terjadi. Maafkan Iyan Bu, maafkan aku."Mas, apa yang terjadi pada Ibu?" tanya Vivi yang tiba-tiba sudah ada di dekatku. Aku memang mengirim pesan padanya tadi saat akan ke rumah sakit. "Ibu di dalam, sini duduk." Aku menepuk pelan kursi tunggu yang dingin ini.Aku menoleh ke arah Anisa yang duduk di bangku seberang agak jauh posisi kami. Ia menunggu dengan raut cemas. Melihat kedatangan Vivi ia menatap kami tak suka. Ah, biarkan saja, toh Vivi juga istriku, statusnya sama mereka berdua sama-sama menantu ibu."Mbak Nisa, Mas Adrian!" Suara Dania terdengar memburu, ia pasti terburu-buru datang k
Back to Anisa Pov"Halo Nis, bisa ke rumah Ibu sekarang?" Suara Ibu terdengar bergetar di panggilan telepon."Ibu, Ibu kenapa?" tanyaku yang mulai khawatir, entah kenapa perasaanku merasa tidak enak, Mas Adrian juga belum pulang. Apa mungkin dia ke rumah Vivi."Tolong kamu ke rumah ibu sekarang ya Nis," ucapnya lagi."Iya, Bu, Nisa langsung kesana ya." Panggilan telepon terputus dan aku langsung memesan ojeg online kemudian bersiap memasukkan dompet, ponsel, ke dalam tas, dan berganti baju. Tak berapa lama ojeg pesananku sudah tiba di depan rumah.Aku pun langsung meluncur ke rumah Ibu, sepanjang perjalanan aku sudah dibuat takut, dari suara Ibu di telepon tadi aku merasa Ibu sedang tidak baik-baik saja. Mungkinkah sakit jantungnya kambuh? Ya Tuhan semoga Ibu baik-baik saja.Sepanjang perjalanan aku terus berdoa untuk beliau.Sepuluh menit perjalanan akhirnya aku sampai di rumah Ibu, Alhamdulillah pengemudi ojeg online itu bisa diandalkan, ia mengebut sesuai pintaku.Betapa terkejutn
Pelan netra tua itu mengerejap, melirik sekeliling ruangan serba putih ini, bau obat menyengat memenuhi indera penciumanku.Aku dan Dania sedang makan malam di sofa tak jauh dari ranjang ibu."Nisa, Dania," panggilnya lirih saat melihat kami tak berada jauh darinya."Alhamdulillah Ibu sudah bangun, Ibu nggak apa-apa?" tanya Dania yang langsung mendekati Ibu, pun denganku.Ibu menghela napas. Netra itu perlahan berembun."Mas-mu sudah keterlaluan Ni," ucap Ibu lirih. Dania menggenggam erat telapak tangan ibu. Menguatkan."Sudah Bu, tak usah terlalu di pikirkan dulu, ibu tenang ya, Mbak Nisa aja kuat kok, ya kan, Mbak!" Dania menyenggol lenganku."Iya Bu, Nisa nggak apa-apa.""Maafkan Ibu Nduk, Ibu telah gagal mendidik Adrian." Ibu terisak. Aku bisa melihat kekecewaan mendalam dari sudut matanya."Buk, Seperti apapun sikap Mas Adrian, itu semua bukan salah Ibu, Ibu sudah hebat mendidik Dia, hanya mungkin godaannya terlalu kuat hingga ia terlena." "Iya Bu, Mbak Nisa benar, semua bukan
Aku ingat, logo dan nama perumahan ini adalah perumahan dimana Vivi tinggal. Aku langsung membuka map itu, tertera di sana tanggal dan rincian angsuran serta beberapa berkas lainnya. Semuanya atas nama Mas Adrian.Ini sudah menjadi bukti jelas kalau rumah itu memang milik Mas Adrian.Hebat sekali kamu Mas, aku yang mendampingimu selama tiga tahun ini kau beri tempat tinggal rumah kontrakan, tapi dia? perempuan yang datang saat kau sudah mulai mampu membeli rumah walau dengan di cicil, kau tempatkan dia di rumah yang baru kau beli, status kepemilikan yang jelas.Aku menggeleng tak percaya. Tanpa sadar aku meremat erat map yang ada di tangan. Enak sekali dia, shit! Sial! umpatku. Aku merapikan semua ke dalam satu koper besar, biar nanti aku urus semuanya, aku pastikan Vivi akan angkat kaki dari rumah itu. Mau tinggal di mana juga terserah! Sedari dulu aku ikhlas menerima semuanya karena memang keadaannya begini, tapi jika sekarang kau telah mampu mencicil rumah, tapi rumah justru di t
"Nia, kamu ini apa-apaan sih? Maksud kamu apa? Vivi akan tinggal di sini? Yang benar saja? Astaghfirullah." Aku menarik cepat lengannya masuk ke dapur dan langsung kutanyakan maksud ucapanya. "Tenang dulu Mbak, tenang! Mbak Nisa dengan semua yang sudah mereka lakukan? Terus nyerah gitu aja sampai di sini? Mereka akan merasa menang Mbak! Bahkan si Vivi itu akan tertawa melihat Mbak keluar dari rumah ini. Jangan lemah Mbak! Dengan Vivi tinggal di sini, kita akan lebih mudah membuat dia merasa tak nyaman, biar dia tau rasa telah berani masuk dalam rumah tangga Mbak Nisa dan Mas Iyan.""Udah Mbak tenang aja, nanti kita jalani aja semuanya sesuai rencanaku," imbuhnya lagi.Aku diam sejenak, ada benarnya juga ini anak, toh juga rumah itu adalah rumah milik Mas Adrian, dia enak hidup tenang, nyaman, tanpa ada yang mengusik di rumah itu. Dengan dia tinggal di sini Vivi akan merasakan neraka di sini.Perlahan aku tersenyum menyetujui usul Nia."Sudah paham? Mbak Nisa jangan khawatir disini Mb
"Alhamdulillah, sekarang Ibu sudah mau menerima Vivi kan, insya Allah hidup kita akan makin lengkap karena sebentar lagi cucu yang Ibu tunggu akan segera hadir di tengah-tengah kita, Bu." Mas Adrian merangkul pinggang Vivi, lekas aku menoleh membuang pandangan.Tak bisakah dia berempati sedikit ada aku di sini. "Ya sudah, ayo bawa masuk barang-barang kamu, Vi," sahut Ibu. Kemudian Mas Adrian pun membawa masuk dua tas besar milik Vivi ke dalam."Eh, eh tunggu Yan, mau di bawa masuk kemana itu tasnya?" tanya Ibu tiba-tiba membuatku menoleh ke belakang yang ternyata Mas Adrian sudah ada diambang pintu kamarku."Ya ke kamar lah Bu.""Iya, tapi kan itu kamarnya Nisa, mana bisa kalian bertiga tidur satu ranjang disitu, ya nggak muat lah! Biarkan Vivi tidur di depan Tivi sementara sampai ruang dapur di sekat buat kamar Vivi nanti."Aku tercengang. Hah, ruang dapur?Ada rasa senang sekaligus ingin tertawa mendengar ucapan ibu mertuaku.Ruangan dapur memang lumayan luas, jika di sekat bisa ja
"Mas, kamu bisa pulang cepat nggak hari ini?" Suara Vivi sepertinya ia menelpon Mas Adrian untuk pulang lebih cepat hari ini."Ya, pokoknya aku nggak suka Mas masak kamar kita begitu sih!" sungut Vivi, masih dengan raut wajah di tekuk, dan aku ingin tertawa melihat ekspresinya itu."Ehm boleh nggak sih Mas kalau aku tuker kamar sama Mbak Nisa, biar Mbak Nisa aja lah yang di belakang itu!"Aku terkesiap mendengar ucapannya itu.Hah, yang benar saja, kalaupun dia minta tukar kamar, tentu aku menolak mentah-mentah."Ya! Jam lima seperti biasa ya, ya udah deh. Pokoknya nanti kamu bujuk Mbak Nisa tuh biar mau tuker kamar.""Iya, Wa'alaikumusalam."Aku yang sedang duduk membuka resep-resep kue di buku catatanku di kamarku, pintu tak sepenuhnya tertutup rapat, jadi aku bisa mendengar siapapun yang tengah berbincang di ruang tengah."Ehm Mbak Nisa, boleh aku masuk," ucap Vivi yang kepalanya sudah menyumbul di balik pintu."Hem, ada apa? Aku sibuk, besok aku sudah mulai mau buat kue."Vivi han
"Oh gitu! Terus aja Mas kamu banding-bandingin aku sama Mbak Nisa! Tentu saja aku beda sama dia, aku lagi hamil anak kamu lho! Sedangkan dia? Dia mandul! Kamu harusnya bersyukur sama aku kamu bisa dapat keturunan Mas!""Sstt, cukup Vivi! Kamu selalu menjelek-jelekkan Nisa!" ucap Mas Adrian. Entah apa yang terjadi pada Mas Adrian dia terus saja membelaku padahal Vivi sedang marah sekarang ini."Jadi kamu sekarang belain dia? Oke, aku pergi dari sini, jangan harap kamu bisa melihat anak kamu selamanya Mas!" ancam Vivi. Membuat Mas Adrian terdiam, air mukanya berubah."Vivi, tunggu, jangan pergi dari sini, oke, Oke, Mas minta maaf, mungkin Mas juga lagi capek, jadi begini, kamu jangan pergi, aku ingin melihat anakku tumbuh bersama kita di rumah ini." Vivi yang sudah balik badan pun tersenyum puas."Please, jangan pergi. Maafkan Mas ya." Mas Adrian memeluk pinggang Vivi, pelan mengelus lembut perutnya."Oke, aku nggak suka kamu banding-bandingin aku sama Mbak Nisa lagi, ingat itu Mas!"