Laila terus berbincang dengan Naheswari. Mereka membicarakan banyak hal. Tak hanya tentang Pramoedya, tapi juga mengenai sesuatu yang dirasa menarik untuk dibahas antar sesama wanita.
Tanpa terasa, senja menjelang. Naheswari dan Wilhelm berpamitan dari sana, dengan diantar oleh Laila dan Widura.
Sepeninggal ayah dan ibu mertuanya, Laila langsung masuk kamar. Dia begitu lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Laila justru termenung, sambil menatap langit-langit kamar.
Sunyi. Laila merasakan kesendirian yang memuakan. Sebenarnya, dia tidak menyukai situasi seperti saat ini. Entah mengapa, kisah hidup justru kembali membawa cerita tak menyenangkan untuknya. Tanpa terasa, kantuk datang menyergap. Laila mulai mem
Pramoedya membalikkan badan. Dia bermaksud menuju mobilnya. Namun, baru dua langkah, pria tampan itu langsung tertegun. Pramoedya segera menoleh, saat mendengar seseorang memanggilnya. Antara bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Raut wajah Pramoedya menyiratkan perasaan serba salah. Pria tampan itu jadi terlihat kikuk, saat orang yang memanggilnya berjalan menghampiri. “Sayang?” Panggilan yang dalam beberapa waktu terakhir dia berikan kepada Laila, sang istri tercinta. “Kenapa tidak bilang dulu kalau kamu mau kemari?” tanya Pramoedya. Sesuatu yang dia sesali dan ingin diralat olehnya. Ya. Pertanyaan tadi, hanya akan membuat citra Pramoedya makin buruk di mata Laila. “Memangnya kenapa? Jika Mas merasa terganggu, aku bisa langsung pulang. Lagi pula, aku hanya kebetulan lewat dan tidak sengaja melihatmu tadi.” Nada bicara serta sorot mata Laila benar-benar tidak bersahabat. Itu menandakan, bahwa wanita cantik tersebut tidak berniat melakukan perdamaian dengan sang suami. “Apa
“Apa maksudmu, Mas!” sentak Laila. Hatinya semakin panas, ketika Pramoedya melontarkan kata-kata yang sangat melukai harga diri. Itu merupakan penghinaan besar baginya dan mendiang sang ayah. “Teganya kamu menuduh ayahku sebagai penipu!” sentak Laila lagi. Terlebh, Pramoedya tak menanggapi bantahannya. Pria rupawan itu hanya menatap tajam, dengan wajah memerah menahan amarah yang teramat besar. “Apa salahku?” Nada bicara Laila makin meninggi. Wanita itu tak kuasa mengendalikan diri. Dia seakan tak peduli, bahwa di sana ada beberapa petugas WO yang tengah menyelesaikan menghias tempat itu dengan bunga. Mereka sempat menoleh kepada Laila dan Pramoedya, meski akhirnya meneruskan pekerjaan masing-masing. Sadar bahwa pertengkaranya dengan Laila menjadi pusat perhatian, Pramoedya segera mendekat. “Itu kenyataannya. Kakekku salah dalam memberikan kepercayaan pada ayahmu! Beliau mengajari Pak Reswara berbisnis mulai dari nol. Namun, sayangnya ayahmu justru mengkhianati kakekku!” balas Pramoe
Dara mengeluarkan isi dalam laci tadi, yang berupa obat-obatan. Sebagian ada yang sudah terpakai. Namun, ada pula yang masih utuh. “Obat apa itu?” tanya Laila, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Dara. “Entahlah, Bu. Mungkin, ini obat-obatan bekas Pak Reswara,” pikir Dara. Pendapat yang masuk akal, berhubung obat-obatan tadi didapat di kamar sang pemilik bangunan megah yang kini telah tiada. “Coba kulihat.” Laila ikut menurunkan tubuh, kemudian mengambil obat-obatan tersebut. Dia mengamati nama yang tertera pada bungkusnya. “Obat apa ini?” tanyanya, seperti pada diri sendiri. “Saya juga tidak tahu, tapi ….” Dara teringat akan sesuatu. “Ya, Tuhan. Apakah ini yang Non Marinka maksud?” pikirnya. Laila menoleh. Dia menatap heran bercampur penasaran pada sang asisten. “Maksudmu?” “Um … Anda masih ingat dengan kejadian waktu ….” Dara menceritakan apa yang dia dengar, antara Marinka dengan Lena secara detail. “Saya lupa membe
“Dara?” Laila menatap tak percaya pada sang asisten pribadi, yang tengah bicara di telepon bersama seseorang. “Jadi, kamulah yang bernama Rastanty?” Laila berjalan mendekat ke hadapan gadis, dengan baju tidur motif salah satu tokoh kartun terkenal tadi.Dara berdiri mematung, dengan telepon genggam yang masih berada di dekat telinga. “Bu Laila?” ucapnya tak percaya. Dia menelan ludah dalam-dalam. “Kamu ….” Laila menatap tajam. Kembali tebayang dalam benak wanita dua puluh lima tahun tersebut, suara canda diiringi tawa manja di koridor dekat kamarnya. “Apa kamu juga yang suka bertemu diam-diam dengan Mas Pram?” Nada bicara Laila penuh penekanan, terdengar tak bersahabat sama sekali. “Bu Laila, saya ….” Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Dara, sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Laila terlihat begitu kecewa, atas kenyataan yang dirinya dapatkan saat ini. Dia terlalu percaya pada gadis itu. “Dasar pengkhianat!” bentak Laila penuh amarah. “Kamu memberikan informasi dar
“Kenapa?” bisik Pramoedya. Hangat napasnya menyapu paras cantik Laila, yang langsung memejamkan mata. Wanita itu seperti tengah meresapi, sentuhan lembut bibir berhiaskan janggut tipis Pramoedya di pipinya.Pramoedya sepertinya tak memerlukan jawaban. Karena, dia tak membiarkan Laila mengucapkan sepatah kata pun. Bibir ranum yang terlihat menggiurkan itu hanya terbuka, saat merasakan lidah Pramoedya menelusup masuk, lalu bermain di dalamnya.Laila tak kuasa menolak. Lagi pula, dia tak bisa memalingkan wajah. Kedua tangan Pramoedya menahan kepalanya agar tak bergerak. Mau tak mau, wanita cantik tadi harus mengimbangi permainan sang suami.Hangat dan dalam. Manis, tetapi sangat menggairahkan. Pertautan kedua insan tadi berlangsung selama beberapa saat.“Ah ….” Helaan napas pelan meluncur dari bibir Laila, saat Pramoedya membiarkannya mengambil napas secara leluasa. Namun, itu tak berlangsung lama. Pramoedya k
Laila tak puas jika hanya berkirim pesan. Dia memilih bicara langsung dengan Dokter Hasan. “Jika bukan Anda yang memberikan resep, lalu siapa?” tanya Laila, sesaat setelah dokter kepercayaan Keluarga Hadyan itu menerima panggilan telepon darinya. Istri Pramoedya tersebut memijat pelipis, sambil menunggu jawaban sang dokter. Dia tak habis pikir, karena masalah datang silih berganti dalam hidupnya.“Bisa saja, itu bukan obat milik Pak Reswara,” sahut Dokter Hasan, mencoba berpikir positif.“Jika memang bukan, kenapa bisa ada di kamar ayah saya?” tanya Laila lagi. Nada bicaranya terdengar gamang. Dia teringat akan laporan Dara, yang mengatakan bahwa Marinka sempat mencari obat-obatan tertentu beberapa hari lalu.“Mungkinkah ….” Laila mengamati beberapa jenis obat yang dibungkus dalam empat kantong plastik berbeda. Dia menggenggam erat obat-obatan itu. “Baiklah, Dok. Nanti saya hubungi lagi,”
Laila berdiri mematung, mendapati kenyataan yang dirinya dengar dari Marinka. Dia meremas kencang bungkus plastik obat-obatan yang berada dalam genggaman. Laila tak tahu harus berkata apa, dalam menanggapi pengakuan mengejutkan putri semata wayang Adnan dan Mayang tadi.“Kamu dan Om Reswara sama-sama bodoh, Laila,” ejek Marinka, diiringi senyum penuh cibiran. Wanita muda berambut golden brown itu bangkit, lalu berdiri angkuh di hadapan Laila. Kali ini, Marinka merasa lebih unggul dari kakak sepupunya tersebut. “Aku hanya bisa tertawa dalam hati, saat melihatmu mencurahkan segala kepercayaan terhadap si tua Widura. Kenyataannya, pria itu tak jauh berbeda dengan papa dan mama-ku,” ucap Marinka lagi penuh percaya diri.“Apa saja yang kamu ketahui tentang Pak Widura?” tanya Laila penuh selidik. Dia tak ingin rasa terkejut, membuat dirinya makin terlihat bodoh. Laila tetap menyisakan taring, meski hanya sebelah.
“Apa?” desis Pramoedya seraya bangkit dari duduknya. Dia tak pernah menyangka, bahwa Widura adalah sosok yang licik. “Coba jelaskan lebih detail lagi,” pintanya pada Marinka, dengan nada bicara tak selembut seperti terhadap Laila.Marinka menatap Pramoedya dan Laila secara bergantian, sebelum terkunci sepenuhnya pada sang mantan kekasih. “Tua bangka itu mengancam aku dan papa. Widura mengatakan, bahwa dia bisa membunuh mama sewaktu-waktu bila kami tidak menuruti permintaannya. Itulah kenapa, papa sampai berbuat nekat,” papar Marinka.“Oh, ya?” Pramoedya memicingkan mata. Kali ini, ekspresinya tidak terlalu berlebihan. Pramoedya justru terlihat jauh lebih tenang.“Aku tidak bisa memercayai omong kosong ini." Laila menggeleng kencang.“Kalau tidak percaya, kamu bisa menyelidikinya sendiri,” tantang Marinka. “Dengar, Laila. Aku sudah memberikan informasi penting yang bisa menyelama