Aku duduk di kursi kerjaku, setelah lelah berkeliling kantor bersama Pak Cokro. Aku memandangi meja kerja yang sudah terisi peralatan kerja. Mulai dari laptop, sampai beberapa peralatan kerja lainnya. Tak hanya itu saja fasilitas yang kudapat. Di sisi kiri ruangan, ada sebuah toilet khusus agar aku tidak perlu lagi ke toilet bawah untuk buang air. Ruanganku juga terbilang besar dan lebar. Ada beberapa sofa dan meja di sudut kanan untuk menerima tamu yang datang.
Selain itu, aku juga diberi kartu akses untuk masuk ke dalam beberapa ruangan penting—yang memang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan saja.Aku sungguh menikmati semua ini. Bahkan senyumku tak pudar sedikitpun sejak tadi. Tuhan memang sangat baik padaku. Aku bersyukur karena bisa bangkit kembali setelah hampir lima tahun terkurung bersama orang-orang licik itu.Brak! Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, namun masih bisa mengendalikan diri. Apalagi yang masuk ke dalam ruanganku adalah Mas Athar. Senyum seringai pun terbit di sudut bibirku. Dialah orang yang memang menjadi target utamaku mulai detik ini.“Ngapain kamu jadi CEO di sini, hah?! Sengaja mau bikin aku malu, iya?!” Dia berteriak seolah akulah orang yang paling bersalah.Aku berdiri dengan gerakan santai sambil melipat kedua tangan di dada. Aku berkata, “Ini kantor, bukan tempat dugem. Nggak perlu teriak-teriak kalau mau bicara sama saya. Saya ini atasan kamu. Kamu bisa saya pecat atas sikap kamu hari ini. Paham?”“Oh, sementang udah jadi bos, terus kamu semena-mena sama suami. Dimana otak kamu, hah?! Harusnya yang jadi bos itu aku, bukan kamu! Kamu lebih cocok jadi babu!”“Satu kesalahan udah saya catat. Saya masih kasih dua kesempatan lagi sama kamu. Lebih baik kamu diam dan kembali bekerja, sebelum surat pemecatan untuk kamu benar-benar keluar,” ucapku sambil mencatat satu kesalahannya di sebuah note kecil.Suasana mendadak hening, dan aku pun kembali menatap Mas Athar. Wajahnya tampak marah, namun terselip juga rasa takut di dirinya karena ancamanku tadi. Ya, mungkin saja seperti itu. Aku hanya menebak. Tidak tahu pasti apa yang dia takutkan.“Masih mau membuat kesalahan lagi?” tanyaku karena dia tak kunjung pergi dari hadapanku. “Kalau masih mau, saya persilahkan.”“Oke, aku bakal keluar. Tapi, jangan sampai kamu sentuh Lusi. Aku nggak akan segan nyakitin kamu kalau sampai Lusi kenapa-napa,” ancamnya lalu pergi dari ruanganku.Aku tersenyum tipis. Miris sekali hidupku. Tidak dihargai oleh suami sendiri. Sementara wanita lain mendapatkan tempat spesial di hati Mas Athar. Aku yang berjuang dan berkorban demi dia, tapi wanita lain yang menikmati hasilnya.Sejujurnya, hatiku sakit saat mendengar ucapan Mas Athar yang memang jelas-jelas melindungi Lusi. Hal itu tak kudapatkan selama menikah dengannya. Bahkan Mas Athar cenderung membantu keluarganya untuk terus menyakitiku.Apa yang salah denganku? Aku sudah bersikap baik pada mereka. Aku sudah banyak membantu mereka. Tapi, kenapa mereka jahat padaku?Air mataku menetes ke pipi. Aku pun terduduk di kursi sambil menangis dan memegangi dadaku yang terasa sesak.“Kenapa harus nangis, Bu?”Aku tersentak dan langsung menghapus air mataku. Yang barusan berbicara adalah asisten pribadiku, namanya Zahya. Dia termasuk orang lama di perusahaan ini dan aku sangat mengenalnya dengan baik.“Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi, saya tadi nggak sengaja dengar percakapan Ibu sama Pak Athar. Sejujurnya, saya juga tahu tentang perselingkuhan Pak Athar dan Lusi,” ucapnya sambil menyodorkan segelas air putih untukku. “Ibu harus kuat. Ibu nggak boleh nangis karena Pak Athar. Saya dukung Ibu.”Aku menerima pemberiannya dan meneguknya sedikit. Setelah itu, aku berkata, “Makasih ya, Zahya. Oh iya, udah berapa lama mereka saling berhubungan?”“Sekitar dua tahunan, Bu. Tapi, itu berdasarkan informasi dari anak-anak lainnya. Saya juga sempat menasehati Lusi untuk berhenti, tapi dia justru marah dan dia laporkan semuanya sama Pak Athar. Saya sampai ditampar Pak Athar,” jawabnya.“Kamu ditampar?”“Iya, Bu. Saya ditampar di ruang keuangan. Di depan para staf keuangan. Mereka saksinya, Bu. Tapi, nggak ada yang berani laporan karena diancam sama Pak Athar. Mereka nggak berani ngelawan Pak Athar, Bu.”“Kenapa kalian nggak berani sama dia? Memangnya dia ngancam apa?” tanyaku geram.“Karena dia ancam bakal pecat kami kalau sampai lapor ke Pak Cokro. Udah ada satu orang yang dipecat karena ketahuan nulis surat buat dikasih ke Pak Cokro,” jawabnya sambil menunduk.Kedua tanganku terkepal sempurna di atas meja. Ternyata Mas Athar sudah bertindak keterlaluan dengan karyawannya sendiri. Dia manfaatkan jabatannya untuk mengancam karyawannya. Keterlaluan.“Kalian tenang aja. Mulai sekarang, saya yang akan handle semuanya. Kalau dia bertingkah macam-macam, langsung lapor ke saya. Saya yang berkuasa di sini sekarang. Kalian ada dalam lindungan saya,” ucapku tegas.“Baik, Bu.”“Kumpulkan para karyawan dan staf di ruang rapat. Nanti saya sendiri yang akan tegaskan ke mereka mengenai hal ini,” perintahku pada Zahya.“Baik, Bu. Saya akan kumpulkan mereka sekarang. Permisi.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan Zahya pergi. Sungguh, aku kesal sekali mendengar pengakuan Zahya tentang Mas Athar. Selama aku menjabat sebagai Manajer Keuangan, aku tidak pernah sekalipun bersikap buruk pada karyawan dan staf yang lain. Tapi, dia justru bersikap sebaliknya.“Dasar manusia yang nggak bersyukur kamu, Mas. Mulai sekarang, aku bakal kasih kamu pelajaran supaya berhenti jadi orang yang angkuh,” gumamku kesal.Pukul 12.00 siang aku makan di kantin bersama Pak Cokro dan Pak Andi. Kami bertiga sedang membahas masalah pengiriman barang tekstil ke konsumen. Beberapa waktu yang lalu, pengiriman barang sengaja ditunda oleh Pak Cokro karena adanya kecurangan. Belakangan diketahui, pendapatan perusahaan mendadak turun, dan Pak Cokro menduga, pihak konsumen yang melakukan kecurangan. Namun, aku memberi saran padanya agar tidak menuduh satu pihak saja.Pak Cokro sempat kesal saat aku berkata demikian. Dia mengira aku menuduh orang dalam perusahaan ikut terlibat. Tapi, aku langsung menegaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi. Dalam dunia bisnis, sudah pasti ada yang jujur, ada juga yang licik. Tidak menutup kemungkinan, ada orang dalam yang melakukan kecurangan itu.“Pihak-pihak terkait di perusahaan ini harus diperiksa, Pak. Kita jangan menyalahkan satu pihak. Mungkin aja pihak konsumen udah kasih pembayaran yang jelas dan tepat. Selama saya menjabat sebagai manajer keuangan, masalah kayak gini nggak
Menjelang Maghrib, aku dikejutkan oleh kehadiran Mas Athar di dalam kamar. Dia sengaja membuka pintu dengan kasar. Aku menatapnya dengan tajam. Kudekati dia tanpa rasa takut sedikitpun.Namun, baru saja aku berhenti tepat di depannya, satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sial! Aku tidak bisa menghindari tamparannya. Alhasil, pipiku memerah dan terasa perih.“Dasar istri nggak tahu diri kamu!” teriaknya. “Sementang kamu jadi CEO di perusahaan Pak Cokro, terus kamu bisa seenaknya aja sama aku! Kamu sengaja mau bikin malu aku, hah?!”“Iya. Aku emang sengaja mau bikin kamu malu. Terus, mau kamu apa, hah?!” Aku membalas perkataannya dengan lantang. Aku sudah tidak takut lagi pada suami yang tidak pernah menghargaiku. “Itu masih belum parah, Mas. Aku bisa aja bikin kamu lebih malu lagi,” lanjutku.Kulihat tangannya terkepal di samping kanan dan kiri. Dia menatapku dengan garang. Wajahnya merah padam karena amarah. Akan tetapi, itu tak membuatku takut. Justru aku membalas tatapannya dan b
Tiga hari telah berlalu. Aku mulai disibukkan dengan pekerjaanku. Sedangkan Mas Athar sudah di proses oleh pihak kepolisian. Lalu mertuaku? Dia terus menangis dan memohon agar aku membebaskan Mas Athar dari tuntutan. Jelas saja aku menunda pencabutan tuntutan. Hal itu sengaja kulakukan untuk memberi efek jera pada suami kurang ajar seperti Mas Athar.Sudah diberi jabatan yang layak, malah merendahkanku, menduakanku, dan sekarang dia juga sudah berani melakukan kekerasan padaku. Inilah akibat yang harus dia tanggung.“Ziva, tolong cabut laporan kamu. Mama mohon.”Aku menatap ibu mertuaku dengan sinis. “Maaf, Ma. Laporan nggak bisa aku cabut. Silahkan nikmati aja prosesnya. Toh ini juga kesalahan dari anak Mama sendiri.”“Ziva, jangan egois. Dia suamimu. Nggak pantas kamu laporkan dia. Dia ngelakuin itu juga ada sebabnya. Pasti kamu yang cari masalah duluan.”“Siapa yang egois?” tanyaku sinis.“Ya kamulah!”Aku tertawa sambil tetap menatapnya sinis. Masih pagi, tapi aku sudah mendengark
Athar POV“Mas, kok bisa sih kamu cekik dia? Kan jadi berabe urusannya. Gara-gara belain kamu, aku jadi dapat SP2. Kesel banget aku.”Lusi datang ke kantor polisi untuk menjengukku. Tapi, bukannya menghibur, dia justru membawa kabar buruk. Hal itu jelas membuatku semakin stres. Kekesalanku semakin bertambah sekarang.Brak! Aku menggebrak meja dan menatap Lusi dengan kesal. “Kamu tuh ya, datang ke sini bukannya kasih solusi malah ngasih kabar buruk! Harusnya kamu mikirin gimana caranya aku keluar dari penjara! Bukan ngadu soal SP2 kamu itu!”“Loh, kok kamu jadi marah sama aku, Mas?! Yang salah itu istri kamu! Masa aku lagi yang mikirin solusinya!”“Ah, kamu tuh emang cuma mau enaknya aja! Nggak pernah bisa kasih solusi!” gerutuku kesal. Dia memang tidak pernah bisa diandalkan dalam situasi genting.“Eh, Mas! Kamu tuh harusnya bilang makasih ke aku karena aku udah belain kamu di depan Ziva! Gara-gara belain kamu, aku jadi kena SP2!” balasnya tidak terima.“Aku nggak butuh pembelaan kamu
Baru saja aku tiba di anak tangga terakhir, aku dikejutkan dengan penampakan Mas Athar. Wajahnya kusut dan rambutnya berantakan. Tatapan matanya terlihat tajam dan merah. Seperti orang yang sedang marah.Aku membalas tatapannya. Tak ada rasa takut lagi dalam diriku ketika melihat Mas Athar. Aku bersedekah lalu bertanya, “Kamu kok bisa di sini? Harusnya kamu belum bebas.”Dia menyeringai. Kemudian dia menjawab, “Kamu pikir, mudah penjarain aku? Aku punya channel dimana-mana. Mereka bisa bantu aku. Jadi, jangan berbangga diri dulu kamu, Ziva. Penyiksaan aku bakal terus berlanjut setelah ini. Kamu nggak akan pernah bisa berada di atasku. Kamu harus tetap di bawahku.”“Oh, itu nggak akan bisa lagi, Mas. Aku bukan Ziva yang dulu. Ziva yang sekarang jauh lebih pintar dibanding kamu,” ucapku dengan santai.“Jangan sombong kamu!”Daguku terangkat ke atas sambil berkata, “Aku sombong karena ulah kamu, Mas. Dulu, kamu yang sombong setelah ambil alih posisiku di perusahaan. Sekarang, aku ada di
Zahya menghampiriku ketika aku hendak masuk ke dalam ruangan. Dia tampak tersenyum penuh arti sambil memegang iPad berwarna silver di tangannya. Bahkan dia memintaku untuk segera masuk ke ruangan untuk menunjukkan sesuatu. Mungkin saja, dia akan menunjukkan hasil rekaman cctv itu.Aku segera masuk ke ruangan, diikuti oleh Zahya. Kami duduk bersebelahan di sofa, lalu Zahya mulai memutar rekaman cctv. Terlihat di rekaman itu, Lusi sedang membuang berkas di tempat sampah. Berkas itu adalah berkas yang ditemukan oleh office boy tadi.“Udah fiks, Bu. Pasti Pak Athar sama Lusi yang terlibat. Mereka udah korupsi dana perusahaan. Ibu harus ambil tindakan tegas, sebelum mereka kabur,” ucap Zahya.“Iya, itu pasti. Staf keuangan juga udah bersaksi di depan Pak Cokro soal kasus ini. Tapi, biarin mereka nikmati udara segar dulu hari ini. Besok pagi, mereka bakal kita seret ke kantor polisi.”“Tapi, Bu, bukannya lebih cepat lebih baik?”Aku tersenyum menatap Zahya. Kemudian, aku berkata, “Memang iy
“Geledah semuanya!”Pak Cokro langsung memerintah anggotanya untuk menggeledah seluruh ruangan Mas Athar. Aku dan Zahya menyaksikan penggeledahan itu. Sedangkan Mas Athar masih belum tiba di kantor, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi.Tadi, sebelum aku berangkat bekerja, dia sudah siap-siap untuk berangkat. Akan tetapi, dia bilang ingin singgah sebentar ke rumah temannya. Aku tidak terlalu menggubris ucapannya. Jika memang dia berniat kabur karena sudah mendapatkan info penggeledahan ini, itu tidak jadi masalah bagiku. Anggota Pak Cokro ada dimana-mana. Mereka bisa dengan mudah melacak keberadaan Mas Athar.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya anggota Pak Cokro berhasil menemukan nota pembelian palsu yang dibuat oleh Mas Athar dan Lusi. Mereka memberikannya pada Pak Cokro.“Sialan mereka! Ternyata udah lama mereka berbuat curang kayak gini! Kecolongan saya!” geram Pak Cokro.“Memangnya, selama ini nggak ada pengecekan, Pak?” tanyaku.“Nggak ada, Ziva. Saya selalu mem
Satu minggu telah berlalu, sejak penangkapan Mas Athar dan Lusi. Kini, kehidupanku jauh lebih tenang dari sebelumnya. Para benalu yang sempat menetap di rumahku, kini sudah pergi dan tak akan pernah bisa kembali lagi. Meskipun keluarganya Mas Athar masih terus mendatangiku sambil memohon untuk membebaskan Mas Athar dan memberikan mereka tempat tinggal. Sayang sekali, permohonan itu jelas ku tolak karena aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Sudah cukup mereka membuatku menderita. Kini, biar mereka tanggung sendiri akibatnya.“Ziva, bagaimana proses perceraianmu dengan Athar? Udah diurus?” tanya Pak Cokro padaku, saat kami sedang makan siang bersama di kantin perusahaan.Akupun dengan cepat mengangguk. “Udah, Pak. Semuanya udah diurus. Tinggal tunggu prosesnya aja. Semoga aja bisa cepat selesai.”“Amin. Saya berharap, urusanmu sama Athar bisa selesai secepatnya. Kamu berhak bebas dari manusia nggak tahu diri kayak dia. Kamu pantas dapatkan yang lebih baik lagi,” ujarnya.Aku ters