Share

Bab 6 : Kejutan Dimulai

“Ziva!”

Aku yang sedang merapikan hijab pun langsung memejamkan mata ketika teriakan Ibu mertuaku mulai terdengar. Kuhembuskan napas panjang, lalu bergegas keluar kamar sambil membawa tas yang selalu kugunakan saat bekerja dulu. Pakaianku juga sudah rapi, layaknya seorang CEO.

Ketika aku sampai di bawah, semua orang yang ada di meja makan terkejut melihat penampilanku. Mereka melongo sambil mengamati penampilanku dari atas hingga ke bawah, termasuk Mas Athar. Dia bahkan sampai berdiri dan mendekatiku.

Kemudian, dia bertanya, “Mau kemana kamu? Kok rapi banget.”

“Mau kerja,” jawabku santai.

“Apa? Kerja?” Rahma, si Ibu mertua menyebalkan itu tiba-tiba mendekatiku dan mendecih saat menatapku. “Mau kerja apa kamu, hah? Kamu itu cocoknya jadi babu. Nggak usah mimpi deh kerja kantoran. Pakai jas segala lagi,” cibirnya.

“Iya bener tuh, Ma. Paling cuma kerja jadi kasir, tapi sengaja pakai pakaian kayak gini. Biar kelihatan keren.” Rania menimpali.

Mas Athar langsung menyambar tas yang kupegang sambil berkata, “Udah deh, Ziva. Nggak usah banyak gaya kamu. Tugas kamu itu di rumah. Masak, nyapu, pel lantai, cuci baju, cuci piring. Nggak usah sok mau kerja kantoran.”

Astaga. Mereka semua benar-benar menyebalkan. Aku ingin sekali merobek mulut mereka satu per satu. Namun, itu tidak elegan menurutku. Membalas orang-orang seperti mereka harus dengan sikap tenang, tidak boleh terpancing emosi.

Tin! Bunyi klakson mobil dari arah luar rumah pun terdengar. Senyum seringai terbit di sudut bibirku. Kuraih tas yang masih dipegang Mas Athar secara paksa. Sempat kulirik ke arah meja makan yang masih kosong. Setelah itu, aku menatap sinis Mas Athar beserta ibu dan adiknya itu.

Aku berdeham pelan. “Silahkan kalian menghina aku sepuas-puasnya, sebelum kalian jatuh miskin. Aku diam bukan berarti nggak bisa balas perbuatan kalian. Aku cuma mau tahu, seberapa hebat kalian dibanding aku yang kalian anggap miskin ini.”

“Nggak usah belagu kamu! Buruan siapin sarapan! Aku mau berangkat ke kantor!” Mas Athar membentakku.

“Maaf, Mas. Aku juga sibuk dan harus berangkat ke kantor. Jadi, silahkan siapin sendiri. Assalamualaikum,” pamitku dan berlalu.

“Ziva! Durhaka kamu sama suami sendiri!”

Teriakan Ibu mertua tak lagi kudengarkan. Mereka mengejarku sampai ke depan, dan terkejut saat aku masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang memang dikirimkan Pak Cokro untukku, lengkap dengan seorang sopir.

Aku memperhatikan ekspresi mereka yang terus melongo saat menatap mobil tersebut, terutama Mas Athar. Aku mendecih sambil mengalihkan pandanganku ke depan.

“Ini belum seberapa, Mas Athar. Nanti kamu bakal lebih syok lagi, setelah sampai di kantor,” gumamku pelan.

***

Aku tiba di kantor tepat sebelum Mas Athar datang. Aku langsung menemui Pak Cokro yang ternyata sudah menungguku di lobi. Dia duduk di sofa sambil berbincang hangat dengan beberapa petinggi perusahaan yang bekerja sama dengan Pak Cokro.

“Selamat pagi, Pak.” Aku menyapa mereka dengan sangat ramah.

Pak Cokro berdiri dan menyambut kedatanganku dengan sangat baik. Dia berkata, “Selamat pagi, Ziva. Akhirnya kamu datang tepat waktu. Mari, saya kenalkan kamu sebagai CEO baru di perusahaan ini dengan rekan-rekan yang lain.”

“Baik, Pak.”

“Oh, jadi ini CEO baru kita, Pak Cokro?” Itu Pak Andi. Aku memang sudah mengenalnya sejak bekerja di perusahaan ini. Dia terkenal ramah dan dermawan, sama seperti Pak Cokro. Usia mereka pun tak beda jauh.

“Iya, Pak Andi. Dia CEO baru kita.” Pak Cokro menjawab. “Ayo, kita kenalkan Ziva ke karyawan lain.”

“Ayo, Pak.”

Aku, Pak Cokro, Pak Andi, dan beberapa petinggi lainnya bergegas menuju area tengah lobi. Pak Cokro meminta semua karyawan untuk berkumpul di sana. Aku sedikit deg-degan ketika berhadapan dengan seluruh karyawan Pak Cokro. Aku masih tidak menyangka diangkat sebagai seorang CEO di perusahaan bonafit ini.

Dan tanpa sengaja, aku melihat Mas Athar baru saja masuk ke lobi dengan tergesa-gesa dan langsung bergabung dengan karyawan yang lain. Aku segera melirik Pak Cokro yang ada di samping kananku. Ternyata dia juga melirikku dan tersenyum. Sepertinya, dia juga menyadari kehadiran Mas Athar yang berdiri di dekat Lusi.

“Dengarkan semuanya. Saya kumpulkan kalian di sini karena ingin memperkenalkan CEO baru di perusahaan kita. Sebagian dari kalian juga pasti udah kenal sama dia. CEO baru kita Zivanna Almaira,” ucap Pak Cokro dengan suara lantang.

Aku segera menatap Mas Athar dan Lusi secara bergantian. Tatapanku hanya fokus pada ekspresi mereka berdua. Jelas terlihat mereka syok berat setelah Pak Cokro mengumumkan berita menggemparkan ini. Wajah Mas Athar mendadak pucat, sama halnya dengan Lusi.

Senyum sinis pun kutujukan pada mereka ketika tatapan kami saling beradu. Aku juga mendengar beberapa karyawan yang saling berbisik karena mereka juga tidak menyangka aku akan kembali ke perusahaan dengan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Wah, nggak nyangka loh saya, Bu Ziva. Lama nggak ketemu, tiba-tiba udah jadi CEO aja,” ucap salah satu karyawan. “Selamat ya, Bu.”

Aku menatapnya dan berkata, “Makasih, Bella.”

Tak hanya Bella, karyawan yang lain juga turut memberi selamat padaku. Sampai tiba giliran Mas Athar dan Lusi yang mungkin terpaksa mengucapkan selamat padaku untuk menghilangkan rasa syok mereka.

Cibiran lain pun mulai terdengar saat aku menjabat tangan Mas Athar. Salah satu karyawan berkata, “Bangga deh sama Bu Ziva. Memang lebih bagus Bu Ziva yang memimpin. Biar nggak ada kecurangan lagi di sini.”

“Iya. Jabatan Pak Athar jomplang banget sama Bu Ziva,” sahut yang lain.

“Wajar dong. Bu Ziva itu lebih kompeten dibanding suaminya. Pak Cokro memang nggak pernah salah pilih. Harusnya Manajer Keuangan juga diganti ya kan.”

“Setuju.”

Aku tersenyum mendengar cibiran itu. Meskipun berbisik, aku masih bisa mendengar ucapan mereka karena jarak mereka tidak terlalu jauh denganku. Aku yakin, Mas Athar juga mendengar mereka. Bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang merah padam karena menahan emosi.

“Selamat ya, Ziva,” ucap Mas Athar dengan nada terpaksa.

“Iya, makasih ya, Pak Athar Darmansyah. Mudah-mudahan kita bisa saling kerjasama ya.” Aku berucap dengan santai, namun dia tampak tidak senang dengan ucapanku. Bahkan dia langsung menarik tangannya dengan kasar.

“Ziva, saya akan tunjukkan ruangan kamu. Ayo,” ajak Pak Cokro.

Aku hanya mengangguk dan mulai mengikuti langkahnya. Sedangkan Mas Athar mendecak kesal ketika aku melewatinya begitu saja tanpa permisi.

Hhh! Senang sekali rasanya membuat kesal suamiku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status