Share

Bab 5 : Suami dan Ipar yang Tak Tahu Diri

Menjelang maghrib, aku baru tiba di rumah karena aku memilih menyendiri di taman untuk waktu yang cukup lama, setelah pertemuanku dengan Pak Cokro tadi. Hal itu pula yang menyebabkan aku pulang terlambat. Aku tahu, suamiku dan keluarganya pasti kesal atas keterlambatanku ini. Bisa dilihat berapa banyak panggilan masuk dan pesan singkat di ponselku.

Aku mendecih saat memeriksa ponsel di perjalanan tadi. Tanpa adanya aku di rumah, mereka semua akan kelaparan. Rumah pasti sudah sangat berantakan. Rania dan Ibu mertuaku tidak tahu bersih-bersih sama sekali. Padahal sebelumnya mereka bukan dari keluarga kaya.

“ZIVA, DARI MANA AJA KAMU?!”

Hhh! Sungguh, teriakan Mas Athar sangat memekakan telinga. Aku mendengus pelan sambil menatapnya dengan datar. Kuperhatikan penampilannya kali ini yang tampak acak-acakan. Tidak terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya juga kelihatan stres dan tertekan. Mungkinkah Pak Cokro sempat menegurnya tadi?

“KALAU SUAMI NANYA ITU DIJAWAB!”

Aku mendecak kesal. “Aku habis keluar, ada urusan. Nggak usah pakai teriak-teriak. Aku nggak tuli, Mas.”

“Lancang kamu ya sekarang! Udah berani keluar tanpa izin suami! Kamu itu harusnya di rumah aja, beresin rumah sama siapin makanan! Bukan malah keluyuran nggak jelas!” teriaknya lagi sampai membuatku kesal sendiri. “Kamu jangan coba-coba nyuruh Mama sama Rania beresin rumah ya! Mereka bukan pembantu!”

“CUKUP, MAS!”

Aku menjeda kalimatku untuk beberapa saat. Berusaha menetralkan gemuruh yang ada di hatiku. “Kamu bisa bilang Mama sama Rania bukan pembantu. Tapi, kamu perlakuin istri kamu sendiri layaknya pembantu, Mas. Harusnya kamu sadar itu!” ucapku.

“Kamu itu istriku! Wajar kalau kamu berbakti sama aku dan keluargaku! Itu cara yang pantas untuk balas budi ke suami!”

Aku mendecih. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Memang benar, istri harus berbakti pada suami. Tetapi, bukan berarti aku harus melayani mereka layaknya pembantu. Semua pekerjaan rumah dibebankan padaku. Bahkan Ibu mertuaku sendiri saja menyebutku sebagai pembantu di depan para tetanggaku.

Saat masih sibuk dengan pikiranku, kurasakan kepalaku seperti ditoyor oleh seseorang. Aku menoleh ke arah samping kiri, dan ternyata yang melakukan itu adalah suami dari adik iparku, Rania. Sialan!

“Heh, Mbak! Kamu itu harus nurut sama Mas Athar. Dia udah kerja keras supaya kamu bisa makan. Masa disuruh beresin rumah sama masak aja perhitungan. Jadi istri itu harus cekatan. Jangan menye-menye,” ucap Nino, suaminya Rania.

“Dengerin tuh kata-kata Nino,” sahut Mas Athar. “Jadi istri kok menye-menye. Nggak usah berharap dijadikan ratu di rumah ini. Kamu itu cuma gembel. Bentar lagi posisi kamu bakal diganti sama Lusi.”

Aku menatap dua pria itu dengan sinis. “Kita lihat aja nanti, siapa yang bakal jadi gembel beneran. Aku kasih saran nih buat kalian berdua, jangan terlalu percaya diri jadi manusia. Karena kalau udah jatuh, sakitnya bukan main. Permisi.”

“Ziva!”

Aku mengabaikan panggilan Mas Athar. Aku terus melenggang pergi menuju kamar. Dan sesampainya di kamar, aku mengunci pintu dan mulai duduk di lantai dekat nakas. Aku menangis untuk kesekian kalinya.

“Jahat banget kamu, Mas. Dasar suami berengsek!” Aku berteriak sendiri untuk melampiaskan kekesalanku pada Mas Athar dan keluarganya. “Punya adik ipar juga nggak tahu diri!”

Drrtt! Saat masih sibuk menangis, ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari Pak Cokro. Aku langsung menghapus air mataku dan mengatur suaraku agar terdengar normal. Kuterima panggilan tersebut dengan hati-hati.

“Halo, assalamualaikum, Pak,” ucapku.

‘Waalaikumsalam. Kamu udah di rumah?’ Itu pertanyaan yang sering diajukan Pak Cokro, sejak aku kerja dengannya.

“Alhamdulillah udah, Pak,” jawabku.

‘Alhamdulillah. Udah punya keputusan belum soal tawaran saya tadi?’

Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Mungkin memang benar yang dikatakan Pak Cokro. Ini adalah kesempatan emas. Tidak boleh kusia-siakan. Aku harus bergerak cepat jika ingin membalaskan dendamku pada Mas Athar dan keluarganya.

Dengan mengucap bismillah, aku pun berkata, “Bismillah. Saya mau terima tawaran Bapak. Bapak benar, saya nggak boleh lewatkan kesempatan ini.”

‘Syukurlah. Kalau gitu, besok pagi kamu harus udah tiba di kantor. Jangan sampai terlambat karena akan ada perkenalan lagi nantinya. Saya juga mau lihat gimana reaksi suami kamu itu.’

“Baik, Pak. Saya pastikan besok nggak akan telat,” ucapku penuh semangat. Aku benar-benar bersemangat sekali sekarang. Aku harus menghilangkan rasa sedihku dan fokus untuk mengejar karir yang sempat tertunda.

‘Oke. Saya akan kirim sopir pribadi dan mobil untuk kamu. Harus diterima dan jangan pernah sungkan terima bantuan dari saya.’

“Masya Allah, makasih banyak ya, Pak,” ucapku takjub.

‘Iya, Ziva. Ya udah, kamu istirahat. Besok pagi, mobil sama sopir pribadi udah stay di depan rumah kamu. Saya tutup dulu ya. Assalamualaikum.’

“Baik, Pak. Waalaikumsalam.”

Bip! Panggilan pun berakhir. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan salat maghrib.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status