“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Feli beranjak dari tepian ranjang saat seorang pria berkemeja putih memasuki kamar mewah nan luas ini. Bibir Feli mengulas senyuman lebar. Menyambut pria itu yang sudah berganti status menjadi suaminya sejak siang tadi. Dia Archer Space Ivander. Pria tampan berwajah campuran Indonesia-Rusia. Tingginya yang hampir mencapai 190 cm membuat siapapun yang ada di dekatnya seketika menciut. Archer disukai banyak orang karena sifatnya yang baik dan hangat. Hal itu jugalah yang membuat rasa cinta di hati Feli untuk pria ini mengakar kuat di hatinya sejak beberapa tahun yang lalu. “Archer, aku udah nyiapin air hangat buat kamu. Mau mandi sekarang?” tawar Feli. Ia mendekati suaminya. Mengulurkan kedua tangan, berinisiatif untuk melepas kancing kemeja Archer. Feli ingin menjadi istri yang baik untuk suaminya ini. Namun, saat jemari Feli baru membuka kancing teratas kemeja putih itu, tangannya tiba-tiba ditahan oleh Archer. “Kamu pikir, aku menikahi kamu karena mencintaimu?” Feli tersentak.
Empat tahun kemudian.“Papi…? Halo? Papi kapan pulang?”Feli menghela napas berat saat menyaksikan Kimberly—anaknya dan Archer yang baru berusia tiga tahun, tengah berbicara sendiri dengan pelafalan yang masih cadel pada telepon mainan, yang Kimberly tempelkan di telinga kanannya.Feli merasa iba melihat Kimberly yang begitu merindukan ayahnya, yang selama satu bulan ini tidak pulang ke rumah.“Papi…,” rengek Kimberly lagi dengan mata berkaca-kaca.Feli menghentikan kegiatannya yang tengah membuat sketsa gambar gaun pengantin salah satu kliennya. Ia menaruh buku gambar dan pensil ke atas meja. Kemudian meraih Kimberly yang duduk di sampingnya, ke atas pangkuannya.“Kimmy kangen sama Papi, hm?”“Iya, Mi. Aku mau Papi.”Feli tersenyum lembut seraya mengusap puncak kepala putrinya dengan sayang. “Papi lagi kerja dulu, Sayang. Sebentar lagi Papi pulang, kok. Kimmy mau bersabar sebentar lagi?”Kimberly cemberut. Matanya semakin berkaca-kaca, lalu mulai menangis. Mungkin Kimberly kesal, kar
“Feli, apa karena aku nggak ada di rumah, kamu jadi sesuka hati berkencan dengan selingkuhanmu?!”Feli mengerutkan kening. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa Archer bisa menuduhnya berselingkuh. Bukankah di antara mereka Archer-lah yang berselingkuh? “Selingkuhanku apa maksudmu, Archer?” “Jangan pura-pura nggak mengerti,” timpal Archer seraya mengetatkan rahangnya. “Bagaimanapun juga kamu tetap istriku, Feli. Kamu harus menjaga nama baik suamimu di depan orang lain!” Feli tersenyum kecut. Archer ingin dihargai sebagai suami, tetapi dia sendiri tidak pernah menghargainya sebagai seorang istri.Sejujurnya Feli mengakui, Archer tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai suami dalam memberi nafkah lahir. Archer juga menyayangi Kimberly dan menjadi sosok ayah yang baik. Hanya saja, Feli tidak mendapatkan hak batinnya. Hingga Feli merasa menjadi wanita yang tidak dicintai dan tidak diinginkan kehadirannya. Karena yang ada di hati Archer adalah wanita lain. “Masih belum mengerti di man