Arum sudah sangat keterlaluan. Bisanya hanya mengungkit kejadian yang telah lewat. Menghilangkan perjuanganku sebagai kepala keluarga selama menikah hanya karena aku tidak bekerja lagi. Awas saja akan kubuktikan padanya bahwa aku bisa membayar hutangku, tanpa bantuan darinya. Aku menaiki motorku menuju rumah Ibu. Ke mana lagi kalau bukan ke sana? Rumah ibulah yang selalu membuatku tenang dan merasa nyaman. Tak aku pikirkan bagaimana Arum nanti pergi kerja, mau jalan kaki atau menumpang pada orang lain, bukanlah urusanku. Biar ia rasakan sendiri akibat dari melawan suami.Ketika tiba di rumah Ibu, kulihat ada sebuah mobil berwarna merah terparkir di sana. Namun, seperti tidak asing bagiku, seolah aku pernah melihatnya.Aku masuk melalui pintu belakang, mengintip dari dapur siapa kiranya tamu yang sedang bertandang ke rumah Ibu. Tidak kelihatan, hanya suaranya saja yang terdengar mendayu-dayu."Hayo, ngapain kamu?" Suara Mbak Rima sangat mengagetkanku. Jantungju seperti hendak lompat d
POV Arum( Flashback setahun yang lalu ) Perkenalkan namaku Arum Nur Haziza, orang-orang biasa memanggilku Arum. Umurku baru menginjak dua puluh empat tahun ketika aku mengandung anak pertamaku. Buah cinta pernikahanku dengan Mas Akmal, pria yang telah menikahiku dua tahun yang lalu.Ibu mertua awalnya baik padaku. Namun, perlahan ia mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya seiring gesekan dari Mbak Rima yang semakin hari berusaha mendominasi Ibu.Sejak pertama Mas Akmal mengenalkan aku pada keluarganya, sudah bisa kutebak gelagat Mbak Rima yang sepertinya kurang menyukaiku. Kata Mas Akmal karena saat itu ia pun sedang menjodohkan adiknya itu dengan perempuan lain. Tapi, Mas Akmal menolak dan lebih memilihku, gadis kampung sederhana ini.Awalnya, aku merasa bahagia dinikahi oleh Mas Akmal yang keluarganya terkenal sebagai orang yang berada. Walau tidak mempunyai mobil, tapi rumah mereka sangat besar dan mereka dikenal sebagai keluarga yang punya banyak tanah. Walau sebenarnya, aku t
Esoknya kami ke sana dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan dua kamar yang memang dikontrakkan karena sang pemilik rumah sudah pindah ke kota. Empat juta untuk pertahunnya, dan kurasa itu tidak menguras kantong terlalu dalam.Malam itu, aku dan Mas Akmal bermaksud untuk menyampaikan keinginan kami untuk pindah ke kontrakan. Rencananya kami akan mulai pindah hari Minggu. Tentunya saat Mas Akmal libur kerja."Kenapa harus pindah, Mal? Rumah ini sudah cukup besar untuk kalian." Ibu terlihat tidak senang dengan keinginan kami."Kami pindah supaya Arum tidak terlalu capek karena bolak-balik melewati jalanan yang rusak, Bu," ucap Mas Akmal pelan, kusambut dengan anggukan penuh harap."Kalau kamu pergi Ibu sama siapa, dong?" Wajah Ibu hampir menangis. Ia tidak lagi peduli pada sinetron yang sedang ditontonnya."Kan ada Mbak Rima, ada Lila juga," bujuk Mas Akmal tersenyum manis ke arah Ibu. Meskipun bukan cucu kandungnya, tapi Lila sangat akrab dengan Ibu. Gadis itu sering menginap dan t
Pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi di antara kami. Terlebih kini Mas Akmal sudah menganggur lebih dari enam bulan. Pun meninggalkan hutang yang tidak sedikit. Pernah kutawarkan modal pada Mas Akmal agar ia membuka bengkel saja di rumah, daripada hanya menghabiskan waktu tak karuan dengan merokok dan bermain-main di rumah Ibunya. Tapi ia menolak, alasannya karena ia gengsi dengan gelar sarjananya dan lebih suka kerja di kantoran. Entahlah, kurasa ia terlalu pemilih atau memang sudah keenakan karena istrinya sudah memiliki penghasilan yang besar.Memang kini aku sudah punya penghasilan yang lumayan, berkat kegigihanku menulis di beberapa platform kepenulisan berbayar. Setiap bulan aku bisa mengantongi jutaan sampai puluhan juta. Dan tentu uang itu aku gunakan untuk mencicil hutang suamiku.Sebenarnya aku punya lebih banyak uang dari yang ia ketahui. Tapi aku tidak ingin mengatakan padanya, nanti Mas Akmal malah tambah keenakan. Ini saja sudah membuat Ibu dan Mbak Rima berkali-
"Rum, aku pinjam uangmu dulu tiga juta. Ibu sakit, itu untuk biaya beli obat!" pinta Mas Akmal saat kami baru saja selesai makan malam. Wajahnya begitu sedih dan kebingungan. Pantas saja ia makan sedikit sekali malam ini, bahkan makanannya masih bersisa di piring."Hah, Ibu sakit? Sakit apa, Mas?" Aku tercengang karena setahuku Ibu tidak punya riwayat penyakit apa pun. Paling hanya sering pusing dan sakit kepala, itu pun jika sudah masuk tempo pembayaran hutang."Ibu menderita diabetes. Dia harus rutin cek gula dan mengkonsumsi obat-obatan agar tidak semakin parah," keluhnya begitu khawatir. Mas Akmal sangat dekat dengan Ibunya, wajar jika ia begitu cemas, bahkan lebih cemas daripada melihat aku yang sakit.Aku memang sering mendengar orang-orang seusia Ibu menderita penyakit diabetes, bahkan beberapa penderita yang penyakitnya sudah parah maka penglihatannya akan terganggu. Biasanya mata mereka akan mengalami penurunan dan tubuh juga semakin kurus. Bahkan beberapa anggota tubuh yang
Sebelum azan subuh, aku sudah bangun untuk memasak dan merapikan rumah. Karena hanya sendirian di rumah, aku memasak nasi goreng untukku dan hanya untuk porsi sekali makan saja. Seperti biasa, aku hanya menanak nasi dan untuk makan siang aku akan membeli lauk saja di warung langgananku.Kupercepat kegiatanku memasak saat suara azan subuh berkumandang dari satu-satunya masjid di desa ini. Kusucikan anggota tubuh dengan air wudhu untuk segera menunaikan ibadah dua rakaat tersebut.Kuhamparkan sajadah ke arah kiblat lalu memulai shalatku dengan khusyu'. Kemudian melangitkan doa untuk orang tuaku dan kesembuhan bagi Ibu mertuaku. Berharap Sang Maha Kuasa mendengar doaku dan segera mengabulkannya. Di tangan-Nya lah bergantung setiap makhluk yang bernyawa, Ialah satu-satunya tempat yang diharapkan untuk mengangkat penyakit yang diderita Ibu mertuaku.Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk menyantap sarapan pagiku yang masih hangat, kunikmati sendirian bertemankan segelas susu hamil rasa va
"Rum, bangunlah Rum!" Samar kudengar seseorang memanggil namaku dan menepuk bahuku beberapa kali. Aroma minyak kayu putih menyengat ke hidung. Sepertinya seseorang telah mengoleskan begitu banyak ke area hidungku, sampai bibir atasku terasa panas.Ruangan ini sangat asing bagiku. Kucoba untuk memutar kembali ingatan kenapa aku berada di sini, aku melihat Mas Akmal sedang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang di acara peresmian showroomnya. Tapi, kenapa aku malah terbaring di sini? Apa aku bermimpi?"Arum, kamu udah sadar?" ucap suara yang sangat kukenal, ia adalah Mas Akmal, suamiku. Kukedipkan mata beberapa kali untuk menajamkan pandangan. Memperjelas kembali kejadian dalam mimpi yang terasa nyata."Mas, kita di mana?" tanyaku seraya memegangi kepala yang terasa berdenyut."Uhm, kamu kok bisa ke sini sih, Rum?"Bukannya menjawab. Ia malah balik bertanya.Aku kini berada di sebuah ruangan yang mirip kantor. Ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya terdapat sebuah laptop.
Entah di mana mereka letakkan akal sehatnya. Bisa-bisanya membohongiku seperti itu. Ingin tampil bergaya di hadapan calon istri Mas Akmal, tapi tidak punya modal dan malah mengandalakan uangku. Jelas-jelas aku korban di sini. Tapi masih juga dimanfaatkan. Dasar edan!"Arum, berikan uangnya!" tuntut Mbak Rima tak tahu malu. Ia terus saja mengejarku."Apa? Kenapa harus uangku, Mbak?""Karena kami sedang tidak punya uang.""Katakan saja pada pemilik salon untuk membayarnya bulan depan. Bukankah kalian sudah terbiasa berhutang?" balasku ketus. Uang ini milikku. Aku tidak sudi memberikannya lagi walau satu rupiah pun."Dasar pelit, untungnya Akmal akan segera menikah dengan Firda. Lihat saja nanti, kau akan menyesal. Jika Firda sudah menjadi menantu di rumah Ibu, semua hutang kami akan lunas, bahkan mulutmu itu akan kami beli nanti," cibirnya begitu jemawa. Memang manusia tidak punya malu, menyombongkan diri dengan harta orang lain. Dasar benalu.Tidak lagi kuperdulikan segala ocehan dan s