“Bagaimana? Lancar pembukaan kedai ayam goreng kalian?” tanya Bu Nani pada kedua anaknya yang baru saja pulang bakda Isya.“Biasa saja sih, Bu. Padahal tadi Ida sama Laksmi sudah pakai TOA buat ngumumin pembukaan kedai kita, ditambah pakai naik meja segala biar dapat perhatian orang. Eh, malah kita disemprot beberapa pengguna jalan, katanya cara kita ini norak.” Ida menyahut dengan sebal, sedangkan Laksmi memilih mengemasi beberapa barang miliknya yang tadi dibawa ke kedai.“Terus, terus, si Aidah bagaimana? Dia tahu kalian buka kedai di sana apa enggak?” tanya Bu Nani lagi.“Tahu, Bu. Tahu.” Sekarang giliran Laksmi yang menyahut.“Dia tadi malah lihatin kita ya sama suaminya. Pasti dia kaget lihat kita juga buka kedai makanan. Dia pikir, cuma dia saja yang bisa punya restoran. Kita juga, kok! Untung Bang Lukman pinter cari tempat, jadi kita bisa jualan dekat si Aidah, biar saja dia bangkrut karena kalah saing sama kita,” ucap Ida percaya diri.Bu Nani hanya mengangguk-angguk. Wanita
Acara ulang tahun Uci berlangsung dengan meriah dan lancar. Walau Bu Nani masih merasa dongkol pada Alman karena hanya memberi uang seratus ribu. Padahal, tanpa sepengetahuannya semua itu adalah rencana Indri, sang menantu kesayangan."Laksmi, Alman atau Indri ngasih kado nggak sama Uci?" tanya Bu Nani saat mereka sibuk membersihkan dapur yang berserakan bekas mengolah makanan."Kayaknya enggak, Bu." Laksmi menyahut."Alman pelit ya sekarang. Kemarin aku pinjam uang buat bayar SPP Radit nggak ngasih dia. Padahal cuma tujuh puluh ribu." Nuri ikut bersuara."Iya, nggak kayak dulu. Kalau diminta bantuan selalu siap siaga. Sekarang kayak kebanyakan mikir." Ida menambahi."Kemarin aja dia cuma ngasih seratus ribu," kata Bu Nani membuat ketiga anak perempuannya menoleh."Seratus ribu? Maksudnya ngasih buat hajatan ulang tahun Uci, Bu?" tanya Laksmi dengan wajah keheranan."Iya, Mi. Padahal paling sedikit Alman ngasih lima ratus ribu. Eh, kemarin cuma segitu, dititipin sama Indri lagi." Keti
"Hah? Alman?" ucap Bu Heni kaget mendengar Aidah memberitahu tentang kepindahan tetangga baru."Nggak salah lihat kamu, Nak?" tanya Bu Heni lagi masih tak yakin."Iya, Bu. Arkan juga lihat." Arkan ikut bersuara sambil memindahkan sup ayam buatan istri yang belum dia sentuh selama ini."Kenapa bisa? Mereka sengaja?" tanya Bu Heni lagi, Aidah hanya menggeleng. Wanita itu sendiri tak tahu kenapa Alman sampai bisa pindah ke dekat tempat tinggalnya sekarang."Padahal rumahnya, maaf-maaf, sudah tua. Masih ada yang lebih bagus dan mahal, mereka 'kan kaya. Kenapa beli rumah begitu. Aneh." Sambil menyuapi Rizki Bu Heni berceloteh. Wanita paruh baya itu memang sangat mencintai cucu sambungnya."Mungkin mau mastiin, mantan istrinya bahagia atau tidak." Ucapan Arkan membuat kedua wanita di hadapannya menatap.Sadar akan tatapan aneh Ibunda dan sang istri, Arkan langsung membenarkan posisi duduknya."Ehm, nuggetnya enak kayaknya, Bu." Arkan mengalihkan topik pembicaraan dengan cara mencomot nugget
Bangun tidur, Aidah memegangi bibirnya. Ditatapnya Arkan yang masih tertidur di sofa. Tak biasanya lelaki itu masih memejamkan mata, padahal azan Subuh sudah berkumandang sejak sepuluh menit lalu.Mengingat hal yang terjadi semalam, Aidah tersenyum sendirian. Arkan berhasil membuatnya jatuh lebih dalam pada cinta, Arkan berhasil membuatnya bahagia. Walau sikapnya masih ambigu dan membuat ragu.“Mas, sudah Subuh.” Dua kali Aidah membangunkannya, Arkan mulai mengerjapkan mata. Kemudian bangkit dan duduk sebentar.“Kamu sudah salat?” tanyanya. Aidah menggeleng.“Mas nggak ke Masjid?” tanya Aidah sekarang.“Sudah terlambat,” sahutnya sambil melirik jam.“Kita salat berjamaah saja.” Aidah terdiam sejenak, namun dengan cepat menyadarkan diri sendiri karena teringat waktu salat yang sebentar lagi akan berakhir.“Iya, Mas. Kalau begitu, saya ke kamar mandi duluan, ya?” ucap Aidah, Arkan mengangguk singkat.Aidah pun balik badan, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di ruangan ters
Alman berjalan tergopoh-gopoh setelah menuruni motornya, bahkan sang istri, Indri, tak dia pedulikan saat memanggilnya untuk menunggu.“Alman ....” Ida menangis histeris saat adik bungsunya itu datang. Rasa kesal Alman selama ini berubah menjadi iba tatkala melihat keadaan kakak sulungnya itu.“Yang sabar, Mbak.” Alman mengelus punggung Ida yang lebar saat wanita itu memeluknya.“Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi, Man. Semua habis. Rumah, warung, kendaraan, nggak ada yang tersisa, Man ....” jelasnya sambil sesegukan.“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting Mbak dan Bang Lukman masih selamat,” kata Alman mencoba menenangi sang kakak.“Iya, Ida. Sudah. Yang penting kita masih diselamatkan oleh-Nya.” Lukman menambahi.Semua orang di sana nampak bersedih dengan musibah yang terjadi pada Ida. Apa lagi Bu Nani, dia juga tak berhenti menangis saat tahu si jago merah membakar habis seluruh harta benda si sulung.“Tetap saja, musibah ini benar-benar membuat Mbak bingung, Man. Bingung harus tingga
"Mbak Ida? Ada apa?" tanya Aidah heran setelah keluar dari kedai. Dari belakanv Arkan nampak mengekor, lelaki itu juga sama herannya kenapa si empunya kedai di seberang berteriak memanggil nama sang istri."Nggak usah sok polos! Ngaku kamu, Aidah! Kamu 'kan yang bikin customerku keracunan?" Aidah semakin tak mengerti dengan perkataan mantan kakak iparnya itu. Dia sampai mengerutkan kening saking bingungnya."Tunggu, Mbak. Keracunan? Di outlet Mbak ada yang keracunan?" tanya Aidah."Halah ... nggak usak sok lugu kamu, Aidah! Aku tahu, kamu nyuruh penjual ayam buat ngeracunin dagingnya, atau kamu suruh si penjualnya buat ngasih ayam tiren ke aku. Ngaku, Aidah!" desak Ida terus menerus."Astaghfirullah, Mbak Ida ini ngomong apa, toh? Jangan fitnah orang sembarangan, Mbak! Lagian saya nggak tahu, di mana Mbak pesan ayam buat menu jualan Mbak.""Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Jelas aku pesan ayam ke tempat yang sama dengan tempat pesananmu!" kata Ida sewot. Semua orang bahkan kini s
Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,
Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert