Istriku TuaBab 24 : Keputusan FaniTiga hari sudah aku demam, walaupun kondisi yang sekarang sudah agak baikan. Ini perdananya aku demam tanpa dibelai dan dimanja si Fani. Sebenarnya aku gak berharap sembuh secepat ini, maunya sampai sekarat dan melihat Fani menangis menyesali perbuatannya yang sudah tidak mengurusku. Tapi, karena dia selalu rutin memberiku obat dan selalu mengancam akan memasukan ke rumah sakit kalau aku menolak, akhirnya aku berangsur sembuh juga. Hanya 'si otong' saja yang kadang masih suka nyeri dan sakit.Pagi ini, tepatnya hari jum'at pagi. Fani sudah tidak terlihat di rumah. Katanya urusan rumah sudah selesai, uang juga sudah di transfer pembeli ke rekeningnya. Barang-barang juga sudah dikemas, cuma aku belum tahu akan ke mana setelah ini. Sebab Fani makin sok sibuk. Diajak ngobrol sebentar saja, susahnya minta ampun. Busyet dah, makin belagu dia sekarang. Untung saja aku cinta sama dia, kalau nggak ... sudah kubikin perkedel dia. Ckckck ....Tak lama kemudian
Istriku TuaBab 25 : PulkamBingung dan tak tahu arah, itulah aku. Pikiran menjadi buntu dengan hati yang kecewa. Fani, sungguh tega ia mencampakkanku seperti ini. Apa yang akan kulakukan sekarang? Pulang ke kampung atau tetap di sini? Kepala menjadi sakit memikirkan semuanya. Lama sekali aku berdiri mematung di depan rumah kami yang sudah terjual itu, memandang bangunan penuh kenangan antara aku dengan Fani. Sambil menyapu pipi yang basah karena lagi-lagi keringat keluar lewat mata. Di sinilah cinta pertamaku tumbuh."Maaf, Mas. Jadi atau tidak mau diantar ke Bandaranya? Sudah satu jam saya menunggu, kalau tidak jadi ... saya mau pergi saja," ucap supir taxi yang mengagetkan lamunanku.Aku tertegun sejenak, masih bingung dan shock dengan kejadian miris yang menimpaku sekarang. Tapi, selebat bayangan mengerikan sosok Hanum dan kedua temannya membuatku segera berlari masuk ke dalam taxi.Sudah kuputuskan, aku akan pulang ke kampung halaman untuk menenangkan pikiran dan juga demi keaman
Istriku TuaBab 26 : Patah HatiTiga hari sudah aku mengurung diri di kamar, meratapi nasib setelah ditinggal Fani. Hampa, nelangsa, nestafa, rapuh, hancur, putus asa dan hampir mengakhiri hidup. Tanpanya, duniaku seakan berakhir. Aku tidak ada semangat melakukan apapun juga. Inikah rasanya patah hati? Sungguh tega, Fani mematahkan hati seorang suami semuda dan setampan aku."Fahmi, Ibu masuk ya?" Suara Ibu terdengar di depan pintu."Iya, Bu. Masuk saja! Pintunya tidak di kunci."Ibu membuka pintu kamar dan melangkah menghampiriku yang sedang duduk di atas tempat tidur dengan tangan memeluk lutut."Fahmi, coba ceritakan semuanya pada Ibu! Apa yang terjadi antara kamu sama Fani? Kemaren Ibu telpon dia, tapi nomornya malah gak aktif." Ibu duduk di sampingku.Aku menarik napas, seketika terasa sesak. Sepertinya saluran pernapasan tersumbat angin, hiks. Keringat pun mulai keluar lewat mata. Aku tidak menangis, hanya terasa sakit saja dada ini jika mengingat dia, istriku tersayang."Bu, Fa
Istriku TuaBab 27 : DigerebekKeesokan harinya, aku gak mau lagi ikut Bapak ke Sawah. Kejadian kemarin bikin trauma saja. Hari ini rencananya akan ke pasar untuk membeli ponsel. Hidup tanpa ponsel membuatku gak update berita-berita di dunia dan menjadi kurang keren. Biarpun tinggal di kampung, tapi gak boleh ketinggalan jaman.Sesampainya di Pasar, kupilih ponsel yang harganya dua jutaan saja. Aku harus berhemat, uang dua puluh juta dari Fani ini harus bisa kugunakan semaksimal mungkin. Beli yang benar-benar penting saja, dan gak boleh boros. Sebab mencari uang itu susah, apalagi mencari kerja. Maka dengan itu, aku harus bisa kembali rujuk dengan Fani. Tapi, syaratnya aku harus bisa berubah jadi dewasa dan memiliki pekerjaan. Aduh, aku harus kerja apa? Oke, sebaiknya mencari kerjaan di medsos saja. Semoga ada lowongan buat jadi Direktur.Hem, ponselku sudah bisa digunakan. Hal pertama yang kulakukan adalah mengambil nomor Fani dari ponsel Ibu dan mencoba menelponnya."Nomor yang anda
Istriku TuaBab 28 : Pernikahan KeduaAku masih mengantuk ketika Bapak dan Ibu masuk ke kamar. Ada apa mereka ke sini? Aku menyipitkan mata dan menarik tubuh, tapi masih dengan posisi berbaring."Bangun dulu, Fahmi! Bapak mau bicara," ujar Bapak seraya duduk di sampingku."Woahhh, ada apa sih, Pak?" Aku menutup mulut sambil menguap dan kemudian duduk."Ibu dan Bapak baru saja pulang dari rumah Pak Saiful, mertuamu.""Astaga, jadi ini bukan mimpi? Kejadian penggerebekan itu nyata?" Aku mengusap wajah dan menampar pipi."Awww, sakit!" Aku meringis."Iya, Fahmi. Ini bukan mimpi, sekarang ini kamu suaminya Dinny, putri tunggal Pak Saiful," jawab Ibu sambil menepuk pundakku.Aku tertunduk lemas, "Jadi, Bapak sama Ibu mau bicara apa?"Mendadak semangat hidupku semakin menurun saja, ingin mati namun masih berharap bisa rujuk dengan Fani."Pak Saiful mau meresmikan pernikahan kamu dan Dinny, acaranya satu minggu lagi." Bapak terlihat menarik napas."Ah, buat apa juga?" Aku kembali menarik sel
Istriku TuaBab 29 : KDRTMalam berikutnya, lagi-lagi Dinny menuntut hak sebagai istri. Berbagai alasan sudah kulontarkan, tapi ia masih ngotot mengajak berhubungan."Gak nyangka aku, Bang. Ganteng-ganteng kok, malah impoten!" ucapan itu keluar juga dari bibir tipis Dinny. Ia menatapku tajam, tatapan merendahkan.Tanganku langsung terangkat mendengar ucapannya, pukulan mendarat di wajah mulusnya. Hatiku murka."Aaaagghh," jeritnya histeris sambil memegangi wajah."Jaga ucapan, Dinny! Aku ini suamimu, aku pria normal. Hanya saja sekarang aku sedang sakit, kuharap kamu bisa bersabar." Tanganku terkepal dengan masih menahan amarah yang membuat tubuh ini gemetar."Sakit apa, Bang? Sakit Himpoten, kan? Aku menyesal menikah dengan pria sepertimu, aku jijik! Cih!" Dinny meludahi wajahku lalu keluar dari kamar.Setan! Awas saja kamu! Kukejar Dinny hingga ke depan pintu tapi ia sudah keburu keluar. Ah, aku gak mungkin menghajarnya di rumah ini, ini rumah orang tuanya.Seminggu sudah pernikahan
Istriku TuaBab 30 : BebasHari ini aku sudah bebas dari penjara, tekatku sudah bulat. Setelah ini akan mencari Fani. Dua bulan sudah kami berpisah, waktuku untuk bisa rujuk dengannya hanya tinggal sebulan lebih.Pakaian sudah kumasukkan ke dalam koper, tapi kemudian. Aku terpikir sisa uang, ternyata bukan tiga juta lagi, hanya dua juta lebih saja. Sebab sudah kupakai buat berobat juga tempo hari. Sebaiknya sebelum menemui Fani, aku konsul ke doktet lagi. 'Si otong' harus sembuh, dia adalah mahkota keperkasaanku. Kusimpan kembali koper dan bersiap untuk ke rumah sakit. Demi Fani, sekarang aku sudah tidak takut lagi ke Dokter. Demi dia, aku harus sembuh dan bisa memberinya anak agar hubungan kami tak terpisahkan lagi."Bagaimana, Dokter? Kira-kita kapan saya bisa sembuh?" tanyaku pada Dokter ketika ia sudah selesai memeriksa senjata pamungkas."Hem, gak bisa langsung sembuh, Pak. Penyembuhannya bertahap, saya resepkan obat lagi saya, ya!" jawab sang Dokter sambil menuliskan sebuah rese
Istriku TuaBab 31 : MerantauSesampainya di penginapan, segera kubersihkan tubuh. Tampang dekil ini harus kembali berubah rupawan. Kupandang pantulan diri di depan cermin, wajahku sudah kembali mulus. Bekas pukulan waktu di penjara juga sudah menghilang.***Pagi ini aku terduduk bingung dengan apa yang pertama akan kulakukan. Mencari keberadaan Fani atau mencari perkerjaan dulu? Ah, tingkat kecerdasanku memang minim, hanya tingkat kegantengan saja yang tinggi. Begini saja aku bingung, kan ... hanya bermodalkan wajah ganteng tanpa memiliki kecerdasan itu serasa menjadi perhiasan imitasi. Hanya indah tampilan, tapi tak ada gunanya. Sebab gak laku kalau di jual kembali. Aku memukul kepala dan kemudian bangkit menuju pintu.Kudekap beberapa map yang sudah berisi surat lamaran kerja, walau hanya bermodal ijazah SMA. Aku berbohong pada Fani kalau ijazah sudah di makan rayap, sebenarnya ada di simpan sama Ibu. Waktu itu aku sudah merasa enak bersamanya, sebab semua terpenuhi tanpa harus ke