"Kamu tidak curiga, Al?" Rudy mengulangi pertanyaannya. Anak bungsunya hanya membisu. Rudy menjadi khawatir begitu juga dengan Rita.
"Khawatir atau tidak Alleya itu bukan sesuatu yang harus Papa dan Mama pikirkan. Kita juga tidak tahu, mungkin Aditya punya bisnis baru dengan teman-temannya atau mungkin ia dan temannya sedang merencanakan suatu proyek bersama atau apa. Setidaknya, kita tidak boleh berprasangka buruk dulu, kan Pa?"
Rudy tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap lurus putrinya. Abraham. Sebenarnya ada perjanjian apa antar kau dan putramu, gumam Rudy dalam hati. Ia yakin jika sejak awal, Aditya tidak begitu setuju dengan perjodohan ini.
"Sudah malam. Lebih baik kamu tidur, Sayang. Besok kita lanjutkan lagi pembicaraan ini." Rita mengajak suaminya untuk beristirahat karena jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
-0-
Bobby masih menunggu jawaban Alleya, tapi gadis itu justru sibuk dengan ponselnya. "Kamu sengaja mengacuhkan aku, Al?" Bobby akhirnya tidak tahan duduk dalam diam, menanti jawaban Alleya. Alleya menolehkan wajahnya, melihat temannya yang sekarang merajuk. Gadis itu terkekeh. "Dari kemarin bahas itu terus, nggak bosen kamu, Bob?" Bobby menggelengkan kepala. "Sayangnya, aku nggak bosen tuh, Al. Tambah penasaran malah." "Topik nggak menarik gitu, ngapain juga dibahas mulu. Ganti topik kenapa?" Alleya mengambil satu kerupuk. Bersamaan dengan itu, soto pesanan mereka datang. Mereka berdua menyantap soto masing-masing dalam diam. Alleya, meski ia tampak tidak memikirkan Aditya, dalam hati gadis itu merasa sedikit terhina. Ia semakin ingin menyudahi perjodohannya dengan Aditya. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Aditya. &
"Siapa kau?" Aditya tidak mengenal suara itu. Suara itu bukan suara Papa atau calon mertuanya. Suara yang baru kali ini ia dengar. "Untuk apa kau tahu siapa aku? Jawab saja pertanyaanku!" Suara dingin itu mengintimidasi Aditya. Aditya bergeming. Otaknya berputar mencari ingatan terkait suara yang sedang ia dengar saat ini. "Aku tidak mengenalmu dan tidak pula memiliki urusan denganmu. Sebaiknya urus urusanmu sendiri, jangan mencoba mencampuri urusan orang lain!" Aditya mengakhiri panggilan itu dan memblokir nomor yang baru saja menghubunginya. Tak sampai sepuluh menit, ponselnya kembali berdering. Aditya segera menekan tombol hijau dan menjawab panggilan itu. "Apakah kau sudah bosan hidup? Mengapa tidak kau jawab saja pertanyaanku tadi?" Suara dingin yang sama, kembali terdengar di telinga Aditya. "Aku tidak punya urusan den
Abraham membanting berkas yang ada di tangannya. Ia sudah menaruh curiga pada Aditya sejak kedatangan Alleya ke kediamannya, hanya untuk menyerahkan berkas yang seharusnya dibawa Aditya kembali ke hadapannya. Berkas-berkas itu adalah hasil jepretan intel swasta yang ia sewa, untuk membuntuti Aditya. Pria yang sudah tampak lelah itu, duduk terhenyak setelah melihat foto-foto itu. Wanita yang sama. Aditya kembali berhubungan dengan wanita yang dulu telah menghasut Aditya, hingga hubungan Abraham dengan putra tunggalnya itu, tidak pernah harmonis selama bertahun-tahun. Haruskah wanita itu ia culik agar tidak lagi mengganggu kehidupan putranya, mengganggu hubungan bapak-anak yang sudah mulai membaik karena bantuan Alleya, calon menantunya? Masih ada satu amplop yang masih terbungkus rapi, yang sama sekali belum ia buka. Abraham menyobek paksa amplop itu, dan mengeluarkan s
Abraham melangkah cepat meninggalkan Rudy yang berusaha mengejarnya di belakang. Tekadnya sudah bulat. Ia akan menyeret putranya ke kediaman Rudy. Anak itu harus diberi palajaran. Seenak perutnya sendiri meninggalkan Alleya tanpa memikirkan masalah yang akan timbul di belakang. Mobil Abraham melaju meninggalkan halaman kediaman calon besannya, menuju kediaman pribadinya. Ia akan meminta bantuan Lisa untuk menghubungi Aditya. Sampai kapan wanita rubah itu mengganggu kehidupan putranya. Ia harus mencari tahu latar belakang Nara. Jika kedua orang tuanya bergerak di usaha yang sama dengan dirinya, maka Abraham tidak akan segan membuat perhitungan dengan mereka. Ada banyak pria tampan d muka bumi ini, tapi mengapa justru anaknya yang dipilih untuk dijadikan boneka si Rubah Culas itu. Abraham berulang kali memukul stir kemudinya. Mobil hybrid Abraham perlahan memasuki pelataran luas kediamannya. Tampak&
Aditya segera turun dari dari mobilnya, dan melangkah cepat begitu melihat gerbang tinggi kediaman orang tua Alleya terbuka dan sebuah motor matic berjalan ke luar. Aditya langsung menghadang motor itu. Ia menduga pengendara motor itu pasti Alleya, dan tebakannya tidak meleset. "Untuk apa kau kemari?" suara Alleya terdengar begitu sinis di telinganya. "Ikut aku sebentar. Aku ingin berbicara padamu. Sebentar saja." Aditya memaksa Alleya turun dari motornya dan meminggirkan motornya. "Tidak mau. Aku sudah tidak punya urusan lagi denganmu. Aku sudah mengabulkan permintaanmu, jadi tolong jangan lagi menggangguku." Alleya mengatakan penolakannya tanpa sedikiti pun melihat ke arah Aditya. "Al... Kakak mohon, bantu Kakak kali ini saja. Bantu Kakak menjelaskan keputusan Kakak ini kepada orang tua Kakak." Aditya terus memohon pada Alleya. Aditya meminta agar Alleya mem
Rudy hanya menggelengkan kepalanya. "Papa juga tidak tahu. Maksud Papa, Aditya itu tipikal orang yang tidak gampang mempercayai suatu kejadian atau perkataan orang kecuali dia melihat sendiri kejadian itu atau menemukan bukti valid, yang mendukung cerita atau kabar yang dia dengar." "Maklumlah, Ma. Pengacara. Selain insting, mereka juga sangat mendasarkan segala sesuatu pada bukti yang valid." "Mama jadi penasaran, seperti apa wanita yang sudah membangunkan macan tidur Abraham?" "Ya, yang jelas dia pasti cantiklah, Ma. Papa juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Aditya. Anakmu itu saja yang terlalu nyeleneh. Yang wajahnya jelek dan pas-pas an saja rela mengeluarkan uang sekian puluh juta biar bisa keliatan cantik, atau paling tidak lebih putih dari aslinya. Nah, anakmu itu..malah pilih jadi gadis buruk rupa. Ya jelas kalahlah sama yang begitu itu."
Surat pengunduran diri? Aditya tercenung mendengar kabar dari sekretarisnya. *Pak, segera datang ke kantor. Banyak klien yang menanyakan kapan mereka dapat memulai konsultasi mereka. "Aku ke kantor sekarang." Aditya menutup telpon dan beranjak berdiri. "Kau pulang sendiri. Aku harus segera kembali ke kantor sekarang." Aditya melangkah cepat meninggalkan Nara sendiri, yang masih belum sadar apa yang baru saja dikatakan oleh Aditya. Mesin mobil Aditya menderu, dan melaju meninggalkan parkiran mall yang hampir setengah hari dijelajahi Aditya dan Nara. William. Senior musuh bebuyutan Aditya. Pria berkepala hampir plontos itu sudah begitu menaruh rasa dengki sejak kedatangan Aditya di kantor advokasi itu. Akhirnya, pria berbadan besar itu, menemukan celah yang bisa digunakan untuk menjegal dan mengusir Aditya dari kantor advok
Sudah hampir satu minggu Aditya dan Erlin lembur menyelesaikan satu per satu pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya. Kasus demi kasus ia selesaikan secara bertahap. Apabila dimungkinkan penyelesaian secara kekeluargaan lebih Aditya utamakan daripada jalur hukum, karena jika sudah masuk ranah hukum maka proses yang harus di lalui akan sangat panjang dan cukup melelahkan. Tentunya, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Kebetulan hari ini, hari sabtu. Aditya datang ke kantornya hanya untuk mengambil beberapa berkas, yang akan ia perlukan untuk berdiskusi dengan kliennya. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, sedangkan meeting dengan sang klien baru akan dilakukan dua jam lagi. Sisa waktu yang masih dua jam, digunakan Aditya untuk berjalan-jalan sebentar mengitari toko buku yang tidak jauh dari tempat meetingnya nanti. Aditya sedang membolak-balik sebuah buku yang menarik minatnya. Tiba-tiba, pund