Rudy hanya menggelengkan kepalanya. "Papa juga tidak tahu. Maksud Papa, Aditya itu tipikal orang yang tidak gampang mempercayai suatu kejadian atau perkataan orang kecuali dia melihat sendiri kejadian itu atau menemukan bukti valid, yang mendukung cerita atau kabar yang dia dengar."
"Maklumlah, Ma. Pengacara. Selain insting, mereka juga sangat mendasarkan segala sesuatu pada bukti yang valid."
"Mama jadi penasaran, seperti apa wanita yang sudah membangunkan macan tidur Abraham?"
"Ya, yang jelas dia pasti cantiklah, Ma. Papa juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Aditya. Anakmu itu saja yang terlalu nyeleneh. Yang wajahnya jelek dan pas-pas an saja rela mengeluarkan uang sekian puluh juta biar bisa keliatan cantik, atau paling tidak lebih putih dari aslinya. Nah, anakmu itu..malah pilih jadi gadis buruk rupa. Ya jelas kalahlah sama yang begitu itu."
Surat pengunduran diri? Aditya tercenung mendengar kabar dari sekretarisnya. *Pak, segera datang ke kantor. Banyak klien yang menanyakan kapan mereka dapat memulai konsultasi mereka. "Aku ke kantor sekarang." Aditya menutup telpon dan beranjak berdiri. "Kau pulang sendiri. Aku harus segera kembali ke kantor sekarang." Aditya melangkah cepat meninggalkan Nara sendiri, yang masih belum sadar apa yang baru saja dikatakan oleh Aditya. Mesin mobil Aditya menderu, dan melaju meninggalkan parkiran mall yang hampir setengah hari dijelajahi Aditya dan Nara. William. Senior musuh bebuyutan Aditya. Pria berkepala hampir plontos itu sudah begitu menaruh rasa dengki sejak kedatangan Aditya di kantor advokasi itu. Akhirnya, pria berbadan besar itu, menemukan celah yang bisa digunakan untuk menjegal dan mengusir Aditya dari kantor advok
Sudah hampir satu minggu Aditya dan Erlin lembur menyelesaikan satu per satu pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya. Kasus demi kasus ia selesaikan secara bertahap. Apabila dimungkinkan penyelesaian secara kekeluargaan lebih Aditya utamakan daripada jalur hukum, karena jika sudah masuk ranah hukum maka proses yang harus di lalui akan sangat panjang dan cukup melelahkan. Tentunya, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Kebetulan hari ini, hari sabtu. Aditya datang ke kantornya hanya untuk mengambil beberapa berkas, yang akan ia perlukan untuk berdiskusi dengan kliennya. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, sedangkan meeting dengan sang klien baru akan dilakukan dua jam lagi. Sisa waktu yang masih dua jam, digunakan Aditya untuk berjalan-jalan sebentar mengitari toko buku yang tidak jauh dari tempat meetingnya nanti. Aditya sedang membolak-balik sebuah buku yang menarik minatnya. Tiba-tiba, pund
Nara terus berusaha mengejar Aditya. Akhirnya ia berhasil meraih tangan Aditya. Ia berusaha agar hari ini, Aditya bisa menghabiskan waktu bersamanya. Aditya terpaksa menghentikan langkahnya. "Nara! Aku ada urusan bisnis sekarang. Pekerjaanku masih banyak yang belum aku selesaikan. Jangan menambah runyam pikiranku." Aditya akhirnya meluapkan kekesalannya selama ini. Kekesalan yang sudah lama menumpuk dan berusaha ia pendam. "Aku tidak sedang bersenang-senang. Aku sedang meeting bersama klienku." Aditya menatap tajam Nara yang belum juga melepaskan cekalan tangannya pada telapak tangan Aditya. Ia benar-benar tidak habis pikir, mengapa Nara selalu saja mengganggu waktu kerjanya. Bukannya tambah pengertian tetapi gadis itu semakin menjadi-jadi, menghabiskan waktu produktif Aditya, hanya untuk sekedar jalan-jalan. "Ma-aaf, tapi aku kangen." Nara akhirnya melepaskan c
Bima mengalihkan pandangannya, mengikuti kedua orang yang baru saja selesai memesan martabak. Pasangan itu duduk tidak jauh dari tempat Bima dan Alleya duduk menikmati martabak mereka, tepat dua deret sebelah kanan di depan mereka. Bima diam, memilih untuk tidak memberi tahu adiknya tentang kehadiran pria yang sedang mereka bicarakan. Lewat sudut matanya, Bima terus saja mengikuti gerak-gerik kedua orang itu. Bima memusatkan perhatiannya pada si gaids. Rambut yang diikat ala ekor kuda, mengekspos leher putih yang jenjang, dihiasi seuntai kalung emas yang berselang seling dengan mutiara berwarna putih. Rok sepanjang mata kaki dengan atasan sebuah hoodie berwarna kuning kunyit, membungkus tubuh tinggi semampai khas seorang foto model. Bima terus saja mengamati pasangan itu. Kini perhatiannya beralih ke sosok pria yang duduk tepat di samping gadis itu. Sebagai sesama pria, Bima juga mengagumi sosok Aditya ya
Ryan menarik sebuah kursi di samping Bima. " Pria brengsek? Apa aku sudah melewatkan sesuatu?" Pria berpotongan seperti Tom Cruise itu, menyeruput teh hangat yang baru saja diminum Bima. "Bang, Teh panas satu lagi ya?!" Ryan memesan lagi satu teh panas kepada pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan ke meja di samping kanan mereka. Setelah pelayan itu mengangguk menerima pesanan Ryan dan meninggalkan mereka, Ryan menatap kakak dan adiknya secara bergantian. "Apa dia bikin ulah lagi?" Ryan menatap lekat Alleya. Yang ditanya malah mendesah panjang. "Ulah? Ulah yang mana? Kak Bima aja yang nggak bisa menahan emosi." Alleya menyeruput teh panasnya yang kini sudah berangsur hangat. "Sudahlah, Al. Laki-laki seperti tidak usah kamu lindungi. Percuma, nggak ada untungnya sama sekali." Bima tidak percaya jika adiknya justru memihak pria brengsek itu.
"Sayaaanggg?!!! Seru Rita kembali karena tidak ada satu pun yang bersuara, menjawab pertanyaannya. Netranya menatap satu per satu putranya, sedangkan Alleya memilih menundukkan matanya. Dengan berat hati sembari menghela nafas kasar, Bima akhirnya mengatakan yang sebenarnya jika ia telah memberi Aditya sedikit shock therapy.Rita ternganga demi mendengar pengakuan jujur putra sulungnya. "Bima... Apa yang membuatmu melakukan itu? Kamu sudah dewasa, harusnya bisa lebih bijaksana. Bukan malah membiarkan setan menguasai dirimu lalu melampiaskan emosi sesaatmu." Rita menatap Bima dengan tatapan gemas. Mengapa anaknya bisa bersikap kekanak-kanakan seperti itu? "Ma! Jangan Mama menyalahkan Kak Bima. Wajar kakak membela adiknya. Kalau saja Ryan juga ada di sana, mungkin saja si brengsek itu sudah tidak bisa berjalan lagi." Ryan tidak terima jika kakaknya d
Abraham dan Rudy terlibat pembicaraan serius di ruang tengah kediaman Abraham, sedangkan Rita dan Lisa hanya menyimak. Kenyataan bahwa Aditya tidak lagi tinggal bersama kedua orang tuanya, membuat Rudy dan Rita terkejut. "Apa maksudmu?" tanya Rudy, menatap dalam Abraham. Pria berwajah kalem itu tidak menyangka, jika sahabatnya benar-benar membuktikan kata-katanya bukan hanya sekedar ancaman. "Maksudku, bahwa anak itu tidak boleh lagi menginjakkan kaki di rumah ini dan tidak aku akui lagi sebagai ahli warisku sebelum ia meminta maaf pada Alleya." "Aku tidak menyangka jika kau benar-benar membuktikan ancamanmu,dan aku rasa kau terlalu berlebihan," ujar Rudy, memberi penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan sahabatnya Lisa menghela napas panjang. "Karena dia sudah melakukan kesalahan yang sudah tidak bisa kami tolerir.
Bocah laki-laki kecil itu memeluk erat kedua kaki Nara sambil menangis kencang. Nara bergeming. Ia tidak memeluk bocah laki-laki itu, tapi justru berdiam diri. Pria bule itu lalu menggendong bocah itu dan berusaha menenangkannya. Ia kembali berbicara kepada Nara, namun Nara hanya bergeming sambil menundukkan kepalanya. Bocah itu terus meronta-ronta, memohon Nara agar menggendongnya. Nara tidak juga tergerak hatinya mendengar suara tangisan bocah yang bagi Aditya sendiri sangat memilukan. Aditya terus memperhatikan drama keluarga di depannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Nara? Apa yang tidak aku ketahui darimu? Apa yang sudah kau sembunyikan dariku? Siapa pria bule itu? Dan itu, itu anak siapa? Batin Aditya terus saja bertanya-tanya sendiri. Nara kembali terlibat adu mulut dengan pria bule itu, dengan iringan tangis dari bocah laki-laki yang berada dala