Para tamu undangan berangsur pulang. Ruangan acara digelar pun mulai lenggang. Hanya tertinggal para panitia penanggung jawab acara dan karyawan perusahaan ANG Group sendiri. Tentu saja keluarga Anggari masih lengkap di sini.
Arjuna menepuk pundak Jamal dan memeluk kakaknya itu dari belakang. "Kakak," sapanya masih penuh dengan tenaga meskipun malam sudah mulai larut.
Jamal menahan berat badan Arjuna dan menoleh sedikit ke belakang. Dia berdehem.
"Kakak mau ikutan sama yang lain enggak?" tanya Arjuna. Dia menunjuk ke karyawan yang sudah berjajar di salah satu sudut ruangan. Mereka melambai ke Jamal.
Jamal tersenyum simpul. Dia menepuk tangan Arjuna dan menggeleng. "Kalian aja berangkat. Aku harus pulang bersam
Seperti yang telah direncanakan kemarin, Jamal dan keluarganya akan mendatangi rumah utama keluarga Anggari. Maka dari itu, dia sudah berencana mengajak istri dan anaknya untuk berbelanja hari ini untuk membuat oleh-oleh. Masalahnya, tubuh mereka yang kelewat capek kemarin membuat mata mereka tidak bisa terbuka di pagi seperti biasanya. Bahkan Jevano yang biasanya bangun paling rajin pun masih tenang dalam tidurnya. Dia memeluk sang ayah dan mendapatkan posisi nyaman di badan kekar itu. Sang bunda memeluknya dari belakang.Kalau bukan karena mimpi dikejar kucing, mungkin Jevano tidak akan terbangun. Napasnya sedikit memburu. Keringat dingin keluar dari pelipisnya. Dia melihat sang ayah yang masih terlelap. Dia malah mendusel lagi dan ingin meneruskan tidurnya yang terputus karena mimpi aneh dikejar kucing oren itu. Dia memejamkan matanya lagi.
Makan malam telah selesai. Keluarga Anggari juga sudah berbincang banyak hal dan menghabiskan waktu bersama. Jevano banyak bercerita tentang teman-temannya di sekolah. Tuan dan Nyonya Anggari mendengarkannya dengan senang hati. Ternyata seru juga mempunyai cucu. Sudah lama mereka tidak momong anak. Mereka jadi teringat dengan Juwita di masa remaja. Anak mereka itu juga suka bercerita tentang teman-temannya. Bahkan mereka sampai hafal dan mengenal teman-teman Juwita. Keuntungannya, mereka bisa membangun relasi dengan keluarga teman-teman Juwita tersebut."Padahal Jevano bukan anak kamu, Juwita, tapi kenapa dia mirip banget sama kamu waktu masih muda dulu." Nyonya Anggari mengenang. Dia mengelus kepala Jevano dengan rasa sayang yang penuh, seperti cucu sendiri.Juwita hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Jamal meliha
Jamal membiarkan Juwita dan keterdiamannya selama perjalanan menuju butik wanita itu. Dia hanya sesekali melirik dan mencuri pandang, memastikan bahwa wanitanya ini tidak menangis."Kamu nanti naik apa pulang?" tanya Jamal yang tidak betah ternyata dengan kesunyian yang tercipta di antara mereka.Juwita masih diam dalam beberapa hitungan waktu. Dia menghela napas dalam. "Entah, mungkin aku nebeng Erika atau siapa gitu.""Kalau misalnya aku jemput? Kita jemput Jevano bareng, gimana?""Enggak usah. Nanti malah mengganggu jadwal kamu. Orang kantor pasti kasih kamu banyak ucapan dan bakalan ada banyak perayaan kecil buat kamu. Kamu nikmatin aja. Biar aku yang urus Jevano."
Jevano hanya diam di tempat duduknya saat makan. Sudah tiga hari ini tidak ada percakapan yang keluar saat dia dan orang tuanya bersama di ruang makan. Biasanya mereka akan membahas banyak hal bahkan sampai sesuatu yang paling konyol sekali pun. Tak jarang pula mereka membahas sesuatu yang tidak penting sama sekali.Akan tetapi, kali ini berbeda rasanya. Ya, tentu saja sangat berbeda. Semenjak pulang dari rumah kakek nenek, Jevano merasa ada sesuatu yang menghalangi antara ayah dan bundanya. Dia tidak tahu apa itu. Dia juga terlalu takut untuk angkat bicara kalau suasananya seperti ini."Jevano, selesaikam makanan kamu dan ayo berangkat. Bunda ada acara dan jadwal meeting pagi ini." Juwita memberikan titah. Dia sendiri sudah selesai makan dan membawa piringnya di dapur. "Bunda mau menyiapkan tas Bunda dulu. Kamu tunggu di mob
Syahid sedang membaca buku pelajaran tambahan yang diberikan oleh orang tuanya saat Jevano masuk ke ruangan mereka. Baru mereka berdua yang datang."Yang lain mana?" tanya Jevano santai dan melepas tasnya. Dia duduk di sofa yang panjang.Syahid mengangkat pandangannya. Dia mengedikkan bahu. "Enggak tahu. Aku juga enggak ditelepon sama Rani kalau mau telat.""Emang ini udah telat?""Biasanya kami yang datang terakhir, Jevano. Inget."Jevano tersenyum. Benae juga kata Syahid. Dia menilik jam tangannya dan masih ada kelebihan jam yang lebih banyak dari pada biasanya. Kalau dipikir-pikir, kali ini dia memang berangkat lebih awal. "Bunda ada janji sama orang, jadi n
Hari ini adalah janji temu Juwita yang telah diatur oleh Hari untuk pergi ke dokter. Tentu saja dia memilih rumah sakit tempat Hellen bekerja. Sekalian dia ingin bertemu dengan sahabatnya yang sudah lama tidak dia kunjungi itu. Dia sengaja pergi pagi agar bisa mercoki Hellen yang pasti masih siap-siap di ruangannya.Juwita mengetuk pintu ruangan Hellen. Dia masuk setelah diberi izin oleh wanita itu."Kak Juwi?" Hellen membolakan matanya dan langsung berdiri. Dia melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat. "Bundanya Jevano, apa kabar?" tanyanya dengan menggoyangkan pelukan mereka ke kanan dan ke kiri."Baik. Lo gimana? Sesibuk itu sampai enggak baca chat dari gue?" Juwita melepaskan pelukan temannya."Loh
Makan malam kali ini terasa sedikit sepi. Sebenarnya, Jevano sangat senang saat mengetahui bahwa Jamal pulang terlebih dahulu dan menyiapkan mereka makan malam. Akan tetapi kejumudan yang masih melanda di ruang makan ini membuat Jevano masih merasa berat. Apalagi saat dia melihat mata bundanya yang sedikit membengkak. Dia juga bisa melihat semburat merah di hidung sang Bunda.Jamal memandang anaknya. Dia tahu bahwasanya Jevano hendak mengatakan sesuatu."Kamu mau ngomong apa, Jev?" tanya Jamal saat melihat Jevano yang menunduk kembali setelah mengangkat pandangannya, melihat Juwita.Jevano menggeleng pelan. Dia melihat ke arah bundanya lagi dengan agak ragu. "Bunda, apa aku boleh bilang ke Ayah?"Juwita mengangkat k
Jamal membuka matanya. Napasnya masih tenang. Dia menghirup banyak oksigen untuk mengembalikan seluruh kesadarannya. Di sebelahnya, ada Juwita yang duduk dengan menggunakan bathrobe. Wanita itu sudah wangi dan segar."Akhirnya bangun juga kamu, Jae. Mandi, gih, kita sarapan habis ini." Juwita menyentuh pipi Jamal dan mengelusnya pelan. "Kamu butuh cukuran. Udah mulai ada bulunya."Jamal menarik tangan Juwita hingga wanita itu terjatuh di atas dadanya. Dia tersenyum nakal sambil menatap wajah sang istri penuh arti. "Cium aku dulu, baru aku mau beranjak dari sini."Tanpa omongan dua kali, Juwita mencium bibir Jamal dan melumatnya. Dia merasakan tangan Jamal yang masuk ke dalam bathrobe-nya tanpa izin. Dia hendak menghentikan ciuman mereka dan protes malah tidak bisa karena