Jamal membiarkan Juwita dan keterdiamannya selama perjalanan menuju butik wanita itu. Dia hanya sesekali melirik dan mencuri pandang, memastikan bahwa wanitanya ini tidak menangis.
"Kamu nanti naik apa pulang?" tanya Jamal yang tidak betah ternyata dengan kesunyian yang tercipta di antara mereka.
Juwita masih diam dalam beberapa hitungan waktu. Dia menghela napas dalam. "Entah, mungkin aku nebeng Erika atau siapa gitu."
"Kalau misalnya aku jemput? Kita jemput Jevano bareng, gimana?"
"Enggak usah. Nanti malah mengganggu jadwal kamu. Orang kantor pasti kasih kamu banyak ucapan dan bakalan ada banyak perayaan kecil buat kamu. Kamu nikmatin aja. Biar aku yang urus Jevano."
Jevano hanya diam di tempat duduknya saat makan. Sudah tiga hari ini tidak ada percakapan yang keluar saat dia dan orang tuanya bersama di ruang makan. Biasanya mereka akan membahas banyak hal bahkan sampai sesuatu yang paling konyol sekali pun. Tak jarang pula mereka membahas sesuatu yang tidak penting sama sekali.Akan tetapi, kali ini berbeda rasanya. Ya, tentu saja sangat berbeda. Semenjak pulang dari rumah kakek nenek, Jevano merasa ada sesuatu yang menghalangi antara ayah dan bundanya. Dia tidak tahu apa itu. Dia juga terlalu takut untuk angkat bicara kalau suasananya seperti ini."Jevano, selesaikam makanan kamu dan ayo berangkat. Bunda ada acara dan jadwal meeting pagi ini." Juwita memberikan titah. Dia sendiri sudah selesai makan dan membawa piringnya di dapur. "Bunda mau menyiapkan tas Bunda dulu. Kamu tunggu di mob
Syahid sedang membaca buku pelajaran tambahan yang diberikan oleh orang tuanya saat Jevano masuk ke ruangan mereka. Baru mereka berdua yang datang."Yang lain mana?" tanya Jevano santai dan melepas tasnya. Dia duduk di sofa yang panjang.Syahid mengangkat pandangannya. Dia mengedikkan bahu. "Enggak tahu. Aku juga enggak ditelepon sama Rani kalau mau telat.""Emang ini udah telat?""Biasanya kami yang datang terakhir, Jevano. Inget."Jevano tersenyum. Benae juga kata Syahid. Dia menilik jam tangannya dan masih ada kelebihan jam yang lebih banyak dari pada biasanya. Kalau dipikir-pikir, kali ini dia memang berangkat lebih awal. "Bunda ada janji sama orang, jadi n
Hari ini adalah janji temu Juwita yang telah diatur oleh Hari untuk pergi ke dokter. Tentu saja dia memilih rumah sakit tempat Hellen bekerja. Sekalian dia ingin bertemu dengan sahabatnya yang sudah lama tidak dia kunjungi itu. Dia sengaja pergi pagi agar bisa mercoki Hellen yang pasti masih siap-siap di ruangannya.Juwita mengetuk pintu ruangan Hellen. Dia masuk setelah diberi izin oleh wanita itu."Kak Juwi?" Hellen membolakan matanya dan langsung berdiri. Dia melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat. "Bundanya Jevano, apa kabar?" tanyanya dengan menggoyangkan pelukan mereka ke kanan dan ke kiri."Baik. Lo gimana? Sesibuk itu sampai enggak baca chat dari gue?" Juwita melepaskan pelukan temannya."Loh
Makan malam kali ini terasa sedikit sepi. Sebenarnya, Jevano sangat senang saat mengetahui bahwa Jamal pulang terlebih dahulu dan menyiapkan mereka makan malam. Akan tetapi kejumudan yang masih melanda di ruang makan ini membuat Jevano masih merasa berat. Apalagi saat dia melihat mata bundanya yang sedikit membengkak. Dia juga bisa melihat semburat merah di hidung sang Bunda.Jamal memandang anaknya. Dia tahu bahwasanya Jevano hendak mengatakan sesuatu."Kamu mau ngomong apa, Jev?" tanya Jamal saat melihat Jevano yang menunduk kembali setelah mengangkat pandangannya, melihat Juwita.Jevano menggeleng pelan. Dia melihat ke arah bundanya lagi dengan agak ragu. "Bunda, apa aku boleh bilang ke Ayah?"Juwita mengangkat k
Jamal membuka matanya. Napasnya masih tenang. Dia menghirup banyak oksigen untuk mengembalikan seluruh kesadarannya. Di sebelahnya, ada Juwita yang duduk dengan menggunakan bathrobe. Wanita itu sudah wangi dan segar."Akhirnya bangun juga kamu, Jae. Mandi, gih, kita sarapan habis ini." Juwita menyentuh pipi Jamal dan mengelusnya pelan. "Kamu butuh cukuran. Udah mulai ada bulunya."Jamal menarik tangan Juwita hingga wanita itu terjatuh di atas dadanya. Dia tersenyum nakal sambil menatap wajah sang istri penuh arti. "Cium aku dulu, baru aku mau beranjak dari sini."Tanpa omongan dua kali, Juwita mencium bibir Jamal dan melumatnya. Dia merasakan tangan Jamal yang masuk ke dalam bathrobe-nya tanpa izin. Dia hendak menghentikan ciuman mereka dan protes malah tidak bisa karena
"Jevano, kamu ke mana aja, sih? Dicariin malah telat." Rani mengomel saat Jevano baru saja memasuki ruangan mereka. Dia mendatangi pemuda itu dan menariknya agar berjalan lebih cepat. Dia mendudukkan Jevano di sofa sebelah Arina.Jevano yang baru datang pun sedikit plonga plongo, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia melihat ke tiga orang yang duduk di sana dan hanya diam."Ada apa?" Dia bertanya ke Rani."Arina tadi dicegat sama Alvaro," kabar Rani. Dia duduk di sebelah Haikal."Terus?"Rani melihat ke arah Arina. Temannya itu masih diam dan menunduk dalam. Tangan Arina saling meremas satu sama lain."A
"Bunda! Jaket coklat biru Jeje ada di mana?"Sudah sedari sore Jevano sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa ke Batu untuk menginap di sana. Rencana dia dan teman-temannya berangkat jam delapan menggunakan mobil Syahid. Mereka harus menyelesaikan urusan mereka di rumah terlebih dahulu sebelum berangkat. Masalahnya sekarang adalah Jevano tidak ingin pergi tanpa jaket kesayangannya dari kecil itu. Jarang-jarang dia menggunakan jaket kesayangannya itu. Akan sayang sekali kalau di momen seperti ini dia tidak bisa memakainya. Meskipun sudah lama, tapi jaket itu terlihat bagus serta mahal. Dia juga tidak ingin jaket pemberian spesial dari ayahnya itu absen di momen penting seperti ini. Apalagi ini kali pertamanya dia keluar jauh sendiri, tanpa sang ayah, untuk berlibur. Paling tidak harus ada kesannya, lah."Apa, sih, sayang
Jevano dan teman-temannya terlihat masih segar, tidak ada yang mengantuk. Mata mereka masih lebar dan masih saja terdengar ocehan dari mulut mereka. Yah, memang dasar para anggota geng yang tidak mau diam, ada saja yang dibahas. Bahkan topik pembahasan yang mereka ambil pun terdengar sangat tidak mutu. Sopir Syahid pun sampai menggeleng-geleng mendengarkan ocehan mereka. Dalam batin pria itu pasti mereka ini jelmaan dari bayi burung atau ayam yang baru lahir, berisik."Lo tebak, nih, gue punya pertanyaan yang bagus," ucap Haikal di sela percakapan dan candaan mereka."Apa coba?" Rani menantang. Gadis itu duduk di tengah bersama Haikal. Arina dan Jevano ada di belakang. Sedangkan Syahid, dia memilih aman saja dengan duduk di depan. Kalau tidak, dia tidak akan bisa mengisi energi kalau kehabisan.