Juwita membuka matanya. Kesadarannya belum sempurna kembali. Tadi siang, dia tertidur setelah menghubungi bawahannya di butik dan mengabarkan tentang keadaan kakinya. Untung saja para pekerjanya bisa diandalkan. Dia juga menyampaikan bahwa dia mungkin tidak bisa menemui klien mereka yang dari Singapura itu. Tentu saja dia juga menunjuk Erika untuk menggantikannya. Wanita itu menggeliat. Merenggangkan sendinya yang terasa mampat. Dia berusaha duduk dan bersandar. Tidak lupa dia mencoba untuk menggerakkan kakinya perlahan seperti kata dokter, untuk latihan. Ternyata masih sakit sekali. Juwita melihat ke seluruh penjuru kamarnya. Sepi sekali. Bahkan tidak ada suara apa pun dari luar. Ah, dia baru ingat kalau suaminya tadi berpamitan untuk mengambil beberapa barang yang diperlukan. Dia bingung akan melakukan apa. Lebih lagi dengan keadaan kaki yang seperti itu. Tangannya meraih gawainya yang ada di atas nakas. Dia menggulir layar di media sosial dan melihat-lihat postingan yang berhubu
Lima hari telah berlalu sedangkan Tuan serta Nyonya Anggari tidak ada di rumah mereka. Tuan Anggari memutuskan untuk mengajak istrinya sekalian jalan-jalan dan menginap di salah satu villa mereka yang berada di Malang. Salah satu trik juga agar istrinya tidak mengetahui tentang kaki anaknya. Otomatis, rumah utama Keluarga Anggari pun diambil alih oleh keluarga Juwita.Jamal dan Jevano juga mulai terbiasa hidup dan menggunakan fasilitas rumah besar itu. Juwita selalu berusaha membuat mereka nyaman dan meminta mereka untuk menganggap rumah tersebut seperti rumah sendiri. Dia menunjukkan letak ruangan dan barang-barang yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan kebosanan mereka.Terlebih Jevano. Anaknya itu tidak mempunyai kegiatan wajib apa pun. Ya, dia maklum karena Jevano masih dalam masa liburan. Namun yang mengherankan, selama tinggal di sini, anak itu tidak pernah keluar rumah sama sekali. Dia malah menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan milik papanya. Padahal isinya
"Ayah enggak ikut?" tanya Jevano saat melihat ayahnya duduk di ruang tengah dengan banyak kertas yang mengelilinginya. Ayahnya terlihat sangat sibuk dan serius membaca tulisan di kertas yang bertumpuk-tumpuk itu."Hmm?" Jamal tidak menoleh sedikit pun. Dia malah mengangkat tangannya dan menunjukkan telapaknya kepada Jevano. Suara kertas yang dibolak-balik memenuhi kesunyian untuk beberapa saat.Jevano masih berdiri di tempatnya, sabar menunggu jawaban dari sang ayah. Dia menyempatkan diri untuk melihat pakaian yang dia kenakan. Terasa nyaman dan pas di tubuhnya. Juga ... sangat keren. Bahkan dia tadi terus menatap refleksinya sendiri di cermin. Dia hampir tidak percaya bahwa yang dia tatap di cermin adalah dirinya sendiri. Meskipun dibelikan bundanya secara daring, ternyata hasilnya saat dia pakai tidak mengecewakan. Astaga, dia mungkin lupa kalau bundanya adalah seorang penyelam dunia fashion."Apa?" Jamal menoleh. Dia tersenyum melihat tampilan anaknya. Sangat tampan, sama seperti d
Juwita menghampiri Jevano yang berdiri di teras rumah. Dia mencolek pundak pemuda itu. "Maaf, ya, Bunda agak lama."Jevano hanya menoleh sejenak dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. "Hmm. Enggak papa, Tante." Tetap saja nada bicaranya datar seperti triplek. Satu lagi, sebutan itu belum juga berganti."Kamu tunggu di sini, ya. Bunda mau ambil mobil dulu." Juwita berpamitan. Dia meninggalkan belaian di rambut Jevano lalu pergi ke garasi.Tanpa sepengetahuan Juwita, pemuda itu tersenyum meskipun tipis. Dia pun tetap berdiri setia menunggu bundanya sambil memandang luas halaman depan rumah kakeknya ini. Sangat asri sekali. Dia sangat betah. Terlebih lagi semua orang yang ada di sini ramah. Bahkan tanpa keluar rumah pun kebutuhannya sudah tercukupi.Jevano menghela napas dalam. Ini akan menjadi perjalanan pertamanya untuk bepergian dengan wanita yang berkedudukan sebagai ibunya. Ya, meskipun bukan ibu kandung, tapi dia sangat bersemangat. Yang biasanya dia hanya pergi dengan aya
Di tengah perjalanan, tidak ada konversasi di antara Juwita dan Jevano. Mereka berdua sama-sama diam dan fokus dengan jalan depan. Terkadang, jika tertarik dengan pemandangan, Jevano akan mengikutkan arah pandangnya hingga menyamping.Sedari tadi, Juwita mencuri-curi pandang ke arah anaknya. Setelah Jevano menghindarinya tadi, dia jadi agak ragu untuk mengajak bicara pemuda itu. Dia pun memilih untuk menyalakan radio dan menyetel gelombang yang biasa dia dengarkan bersama Hellen ketika bersama. Sebenarnya Hellen yang sangat menyukai gelombang itu, karena biasanya para pembawa suaranya memutar lagu Kpop. Dia hanya ikut-ikutan. Sejujurnya, dia tiba-tiba teringat dengan wanita itu setelah merasa tertolak tadi. Rasanya ingin curhat saja.Terdengar satu lagu boy group yang baru diputar di radio itu. Nadanya seperti ketukan beraturan yang jarang lalu disusul dengan rap dari salah satu anggotanya."Boom?" Jevano berguman dalam keheningan.Juwita langsung menoleh. Dia membagi perhatian ke ana
Mata Jevano tidak bisa tenang melihat sekitar. Hawa di Pakuwon Mall sungguh berbeda dengan mall yang pernah dia kunjungi bersama ayahnya. Sangat jauh malahan. Entah ini karena dirinya yang sangat jarang pergi ke mall atau memang hanya jiwanya saja yang sedang meronta-ronta. Benar kata ayahnya, hidup mereka sudah berubah sekarang. Bahkan berubah seratus delapan puluh derajat. Sedari tadi juga dia hanya mengintil bundanya dan tetap menjaga jarak dekat dengan wanita itu. Bisa gawat kalau dia tersesat di mall sebesar ini."Kita beli apa dulu, nih?" tanya Juwita sambil terus berjalan. Dia memelankan langkahnya agar bisa berjalan beriringan dengan Jevano. Senyumannya selalu mengembang untuk anaknya itu."Terserah." Tubuh Jevano agak mepet dengan bundanya. Bahkan dia agak maju, mendahului sehingga bundanya ada di belakang tubuhnya. Dia melihat beberapa orang pria yang berpakaian rapi sedang berjalan di arah yang berlawanan. Beberapa dari mereka melihat ke arah bundanya dengan tatapan intens.
Jevano melihat-lihat beberapa gawai yang dipajang. Dia membaca satu-satu keterangan yang ada di sampingnya. Sang bunda mengikutinya dan memperhatikan cara anaknya memahami gawai-gawai tersebut."Ini yang keluaran baru, Kak. RAM dan juga penyimpanannya besar. Cocok buat anak muda yang suka main game. Kapasitas baterainya juga enggak main-main, bisa tahan lama." Salah satu sales yang berjaga di toko itu menghampiri mereka dan menunjuk ke salah satu produk di depan Jevano.Jevano mengangguk. Dia juga tertarik dengan yang ditawarkan oleh sales wanita itu. Tadi dia juga mencoba untuk melihat-lihat isi dan kinerjanya. Itu memang gawai yang sangat berkualitas. Namun, saat membalik kertas keterangan gawai tersebut, Jevano menahan napas. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Harganya tidak main-main."Kamu suka apa enggak, Jev, sama yang ini? Kalau iya, biar sekalian dibantu Mbak-nya." Juwita bisa melihat ketertarikan di mata anaknya.SEBELAS JUTA. Itu saja total jika diskon yang ada ditera
Mobil putih itu berhenti di garasi rumah. Mesinnya sudah mati total dan dengan otomatis kunci pintu terbuka. Hawa dingin dari air conditoner sudah tidak berhembus lagi. Menambah gerah lelaki yang masih terduduk di bangku penumpang depan itu."Enggak turun, Jev?" tanya Juwita, merasa ada yang aneh dengan anaknya.Jevano hanya melihat sejenak ke bundanya dan mengangguk. Tidak ada lagi wajah terkekeh ataupun senyuman yang bersahabat seperti tadi. Pemuda itu kembali dengan wajah lempengnya yang lebih mirip triplek ganteng. Harap jangan lupakan fakta bahwa dia adalah anak dari Jamal yang tampan.Ibu dan anak sambung itu turun dari kendaraan dan menuju ke bagasi. Sudah ada dua pelayan mereka yang menunggu. Awalnya Jevano heran, kenapa ada dua orang yang mendatangi mereka dan berdiri di belakang mobil. Pertanyaannya pun terjawab saat Juwita membuka pintu bagasi. Dua pelayan itu dengan segera mengambil barang-barang belanjaan mereka, akan membawakannya masuk ke rumah."Tolong taruh di ruang t