Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)
Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepala, meski belum sebanding dengan keluarga Ayara.Kami berdiri di ruang utama yang luas, dengan tangga melingkar yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas. Relling tangganya berukir indah. Aku menelan ludah saat mencoba menghitung nilai rumah ini.Bagaimana bisa Ayara yang anak seorang konglomerat, mau bersabar, ikut bekerja keras dan bahkan berhemat bersamaku?"Ayah dan Ibu, lebih menghargai usaha daripada hasil. Ayah bisa saja memberi kita rumah yang bagus dan besar, tapi tak akan ada kebanggaan bagi kita karena tak ada usaha kita untuk mendapatkannya."Saat itu, aku setuju saja. Saat itu, aku dan dia sedang dimabuk cinta. Meski hanya bertahan dua bulan lamanya sebelum aku mulai bertualang.Suara langkah kaki bersepatu terdengar. Aku menoleh, dan mendapati Ayah dan Ibu mertuaku masuk dengan wajah tanpa ekspresi.Di hadapan keduanya, tiba-tiba saja aku merasa kecil."Ayah, Ibu…"Aku maju dan mengulurkan tangan. Tapi Ayah mengangkat tangannya menyuruhku berhenti. Sementara Ibu menatapku dengan raut wajah geram. Aku tertunduk, sadar bahwa aku berdiri di hadapan orang tua yang terluka karena anaknya kusakiti. Bodoh sekali aku, kenapa waktu itu meminta Aya datang ke hotel? Kupikir, dia akan langsung pulang, menuruti perintahku untuk tak masuk ke dalam."Sudah lebih dari sebulan kalian berpisah, dan kamu baru datang hari ini, Ivan. Bagus sekali."Aku menelan ludah."Maaf, Ayah. Saya… sibuk mencari Aya dan Cia.""Sibuk mencari anakku, atau sibuk dengan perempuan murahan ini?"Suara Ibu getas. Kurasakan Gita bergerak maju, tak terima dikatakan murahan. Segera kutahan tangannya."Ayah, Ibu, Aya pasti telah menceritakan apa yang terjadi. Saya datang untuk mencarinya karena dia membawa kabur putri saya. Aya sangat lancang membawa putri saya serta padahal dia bukan Ibunya."Ibu tertawa,"Bagus sekali ucapanmu, Ivan. Bukankah dulu kau mengemis agar Aya menerima dan mengakui Cia sebagai anaknya sendiri?""Tapi, Cia memang bukan anaknya, Bu. Aya harus mengembalikan dia pada saya. Mereka ada disini, kan?""Rasanya, aku tak sabar untuk menampar mulutmu itu," gumam Ibu, yang segera di tenangkan oleh Ayah. Diam-diam, aku melirik Ibu, dan tahu darimana sifat temperamen dan nekad Aya diwariskan."Ivan, dengar ini baik-baik. Urusan rumah tangga kalian, saya tidak ikut campur. Aya sudah dewasa, dan dia punya teman-teman, yang kebetulan sekali, pengacara hebat, yang membantu menyelesaikannya. Jadi, urusanmu dengan Aya, selesaikan melalui pengacaranya. Aya tak ada disini. Bahkan meskipun ada, dia tak akan mau kau temui.""Jangan bohong! Putri anda mencuri semua harta milik calon suami saya!"Aku terkejut mendengar suara Gita. Kudorong dia ke belakang"Jangan ikut campur," bisikku."Bagus! Jadi ini perempuan yang membuat kalian berpisah? Sampah, memang cocoknya dengan sampah!""Mas, dia menghina kita!""Diam Gita."Aku panik. Kedatanganku kesini dengan membawa Gita adalah sebuah kesalahan besar. Harusnya, aku datang sendiri, berusaha meluluhkan hati kedua orangtuanya. Aku yakin, hanya mereka yang kata-katanya didengar oleh Aya."Ayah, Ibu, tolong suruh Aya keluar. Saya harus mengambil Cia. Cia tidak ada hubungan dengan kalian!"Aku terpaku saat Ayah melangkah maju, dan berdiri dua langkah di hadapanku."Dengar Ivan. Meski kau ayah biologisnya, secara hukum, kau bukan siapa-siapa bagi Cia. Bahkan, untuk menjadi wali nikahnya saja, kau tak bisa. Selama ini, Aya merawat Cia sendiri sementara kau sibuk bertualang. Coba tanya Cia, siapa yang dia sayangi, kau atau Mamanya? Jadi saranku, tinggalkan rumah ini, sebelum kami hilang kesabaran mendengar kata-katamu yang terus menyakiti Aya."Ucapannya itu menamparku. Selama ini, aku memang abai dengan anakku sendiri. Aya telah merawat dan menghujaninya dengan cinta, sementara aku sibuk hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Aku mengangkat kepala, memandang lantai atas dari sela sela teralis pembatas. Adakah Aya dan Cia di atas? Apa yang harus kulakukan?"Cia! Cia! Ini Papa!"Nekad, aku berlari menaiki tangga. Namun, beberapa orang lelaki keluar entah dari mana, memiting tangan dan kembali menyeretku hingga aku kembali berhadapan dengan Ayah mertuaku."Ayah! Kembalikan Cia!""Jadi, sekarang kau sudah merasa bahwa anak itu berharga? Atau kau menginginkannya hanya untuk menekan Aya?""Ayah…""Bawa mereka keluar dari rumah ini, dan jangan pernah biarkan datang lagi."***"Si-alan!!!"Aku berteriak histeris, memukul-mukul stir mobil seperti orang kes-etanan. Gerbang pagar itu langsung tertutup begitu memuntahkan tubuh kami berdua.Duduk di sebelahku, Gita, diam sambil menatap rumah Ayara dengan pandangan yang sulit ku terjemahkan. Bodohnya aku, harusnya, dia tak kutunjukkan dulu pada dunia. Semua orang akan setuju bahwa akulah yang salah.Setelah melarikan mobil cukup jauh, aku berhenti, turun dan berjalan memutar. Kubuka pintu penumpang dan kami saling menatap."Turun!"Gita melotot."Kau menurunkanku di tengah jalan?!""Ya. Aku salah selama ini. Kau tidak akan bisa menggantikan Ayara. Kita putus!"Gita tertawa, tapi tetap tak mau turun."Kau kira aku masih mau denganmu setelah semua hartamu habis, Mas? Jangan mimpi.""Bagus. Jadi, tidak ada lagi yang menahan kita. Turunlah, dan mulai saat ini kita tak punya hubungan lagi.""Aku akan turun, tapi tidak disini. Antar aku ke rumah."Aku mrnggeleng."Tidak. Turun disini atau aku akan menyeretmu.'Entah mengapa, semua cinta yang kemarin masih menggebu-gebu padanya, lenyap seketika. Kehilangan Ayara, Lucia berikut semua harta benda yang susah payah kukumpulkan, perlahan membuatku hancur, termasuk, cinta pada wanita ini.Cinta, ataukah hanya naf-su sesaat?Aku menarik tangan Gita, memaksanya turun, tak peduli banyak orang melihat kami. Gita menjerit-jerit histeris, menyumpahiku dengan segala kata-kata kotor. Aku tak peduli, berjalan memutar dan naik lagi ke mobil."Si-lan kau Ivan! Dasar miskin! Mobil dapat rental aja sok! Awas, tunggu pembalasanku!"***Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (8)"Saya Banyu, Banyu Biru."Aku mengulurkan tangan, menjabatnya sekilas. Jabatan tangannya mantap dan terasa hangat di telapak tanganku yang dingin oleh air laut. Masih dengan Cia dalam dekapan, aku berdiri."Saya berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak. Semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan."Aku mundur, berbalik dan setengah berlari menuju rumah. Mungkin aku kurang sopan karena tidak mempersilahkan dia ikut ke rumah sebagai ucapan terima kasih. Tapi, di rumah, kami hanya bertiga, perempuan semua, dan dengan statusku yang belum jelas seperti ini, rasanya tak enak bertemu dengan lelaki lain."Ya Allah, ini kenapa, Non?!"Mbak Atik terkejut melihat aku berlari pulang sambil menggendong Cia dalam keadaan basah kuyup dan kusut masai. Aku terdiam sesaat, berusaha menentramkan jantung yang terasa meledak akibat berlari sambil menggendong. Sementara Cia, memeluk leherku erat. Dia tahu bagaimana cemasnya aku tadi."Ayo sama Mbak, kita mandi. Biar Ma
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (9)Banyu Biru, dia seperti alien, yang dengan massif, menelusup masuk dan mendekat langsung ke sasaran. Cia, yang selama ini kehilangan sosok Ayah yang hobi bertualang, seperti mendapatkan penawar atas dahaganya. Usianya memang baru lima tahun. Biasanya di usia itu, gadis kecil sepertinya mencari figur lelaki idola dari Sang Papa."Om Banyu bawa apa?"Aku berdiri di balik gorden, menatap keluar, membiarkan pintu rumah terbuka hingga suaranya menelusup masuk. Di teras, Mbak Atik sedang menyapu. Disini kami harus rajin membersihkan lantai. Angin laut amat suka menerbangkan pasir-pasir halus hingga ke dalam rumah kalau kau membuka pintu. Tapi kali ini, kubiarkan pintu terbuka, ingin mendengar percakapan mereka."Ayo kita lihat!"Mbak Atik sibuk melirik-lirik ke dalam rumah, dan ketika mata kami bertemu, aku menyilangkan telunjuk di bibir, menyuruhnya diam."Wow!"Teriakan takjub Cia terdengar. Dari sini, aku dapat melihat Banyu menggelar tikar dari pandan, d
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (10)Dulu, saat aku menerima Cia dalam hidupku, Ibu menentang habis-habisan. Cia yang lahir diluar nikah, dari benih Mas Ivan dan selingkuhannya yang entah siapa itu, membuat Ibu marah besar. "Pokoknya Ibu nggak setuju, Aya. Kenapa harus ambil anak orang yang tak jelas asal usulnya?""Tapi dia anak Mas Ivan, Ma.""Lalu siapa Ibunya? Bagaimana kalau Ibunya ternyata seorang PSK?""Anak itu nggak bersalah. Dia nggak boleh menanggung dosa orang tuanya.""Kalau dia punya penyakit bawaan atau turunan dari Ibunya?""Artinya, aku harus punya hati seluas samudra untuk merawatnya. Dan semoga karena hal itu, Allah mau memberiku keturunan dari rahimku sendiri."Ibu menggeleng-gelengkan kepala."Dasar keras kepala!"Aku bersimpuh, meletakkan kepala di atas pangkuan Ibu. Sementara Ayah hanya tersenyum menatap kami. Sejak dulu, keputusan Ibu akan menjadi keputusan Ayah, tapi bukan berarti Ayah kalah dari Ibu. Bagi Ayah, seperti itulah caranya menghormati istri yang dia
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (11)Kami saling tatap, matanya yang dulu pernah kukagumi karena berwarna coklat gelap, indah dan tajam itu, kini menatap dengan sorot marah. Aku berbalik, melanjutkan langkah memasuki gedung pengadilan. Setengah jam lagi, sidang akan dimulai, dan ketiga sahabatku belum juga muncul. Tapi, aku tak perlu gelisah. Aku mengenal mereka, nyaris seperti aku mengenal diriku sendiri."Jadi, kamu benar-benar akan cerai dengan Ivan?"Mama menahanku di depan pintu. Dapat kulihat bagaimana dia berusaha menahan diri untuk tidak mengamuk melihat perseteruan aku dan putranya.Aku mengangguk, mengambil tangan Mama dan menciumnya sekilas. Biarlah kutunjukkan adab yang baik padanya untuk terakhir kali. Meski nyatanya, aku tahu, di belakangku, Mama kerap menghina karena aku tak juga hamil."Iya, Ma. Maafkan aku selama ini kalau ada salah."Mama mendesah, sementara aku sama sekali tak mau menoleh pada Diska, yang menatap dengan pandangan sinis. Adik bungsu Mas Ivan ini mungkin
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (12)Aku keluar dari ruangan itu masih sambil bergidik, membayangkan tangannya mengelus dadaku. Ternyata, wanita itu selama ini mengincarku. Dia menunggu sampai aku menjadi duda. Astaga.Aku masuk ke ruanganku sendiri dan mengunci pintunya, tiba-tiba merasa takut Bu Ristie akan datang dan mencoba memperko… Aaarggg, gila! Gila! Gila!Apa yang harus aku lakukan? Menerima tawarannya demi mendapat uang besar dalam waktu singkat? "Kita nggak perlu menikah, Ivan, anak-anakku tak akan setuju. Mereka semua sudah besar. Bahkan sebaiknya, tak perlu ada orang tahu. Kau hanya perlu selalu ada setiap kali kubutuhkan.""Kudengar, kau berseteru dengan mantan istrimu. Dia mengambil semua hartamu, benar? Bagaimana kalau, untuk langkah awal, kau pindah dulu ke apartemen milikku yang kosong."Sepanjang dia bicara, aku tak sanggup berkata-kata. Panas dingin, gemetar, geli dan jijik. Dia mungkin sebaya Mama dan mertuaku. God, aku bahkan tak mampu membayangkan bercin-ta dengann
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (13)"Aya, kamu benar-benar harus pulang kesana sekarang? Ibu masih kangen sama Cia."Ibu memasukkan kotak-kotak berisi makanan kesukaan Cia ke dalam paper bag. Semalam, kami mengadakan acara makan bersama di rumah Ayah. Ayah, Ibu, Cia dan para ART termasuk Mbak Atik, ditambah tiga sahabatku plus suami Elena yang pendiam. Meski begitu, ternyata dia cocok berbaur dan ngobrol dengan Ayah. Aku bersyukur, suami Elena tidak melarang istrinya tetap bersahabat dengan kami, meski ada Angga sebagai satu-satunya lelaki. "Iya, Bu. Aya masih betah disana, Cia juga.""Hemm … apa bukan karena ada seseorang yang membuat kamu betah?"Aku menoleh, mengeruhkan alis sambil menatap Ibu."Siapa?""Ya nggak tahu, seseorang mungkin."Ibu masih berteka-teki, dan entah kenapa aku justru teringat pada Banyu. Aku teringat pada tawanya yang renyah, pada sorot matanya yang teduh tapi tegas, bahkan pada lengannya yang kokoh menggendong Cia waktu itu."Ibu pengen kamu cepat move on. Lel
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (14)Aku tak bisa mencegah Cia dekat dengan Banyu. Karena statusku yang masih dalam masa iddah, langkahku terbatas. Kubujuk hatiku untuk meyakini, bahwa lelaki itu adalah orang yang baik. Sebagai ganti diriku, Mbak Atik mengawal Cia setiap hari, belajar berenang. Matahari baru saja naik ketika anakku sudah menginjakkan kakinya yang mungil di atas pasir, ceria menyambut hari. Mbak Atik nyaris kewalahan mengejar Cia yang melesat secepat anak panah yang lepas dari busurnya. Di halaman, Banyu menyambut dan mereka berlari ke pantai dengan riang gembira. Sungguh, melihatnya ceria dan puncak kebahagiaanku.Aku kembali membuka laptop, meneruskan kisah yang baru saja kutulis. Kisah tentang seorang wanita yang menikah dengan lelaki yang ternyata seorang psikopat. Delapan Hari Saja Menjadi Istrimu, kisah yang baru kutulis bab enam belasnya, telah berhasil masuk best seller di platform online tempatku bernaung selama ini. Sesaat kemudian, aku telah tenggelam, bertrans