“Kau mau kemana?” tanya Hide, saat melihat Ayu mengikutinya keluar dengan pakaian rapi. Hide akan bekerja, dan biasanya Ayu di rumah.
“Mengantar ini ke Miura-san.” Ayu mengangkat macrame yang akhirnya selesai dibuatnya.
“Dia akan menggodamu lagi. Lihat saja nanti.” Hide tertawa pelan sambil duduk di kursi yang ada di samping pintu untuk memakai sepatunya.
Ayu langsung cemberut, karena memang benar. Miura tidak pernah bosan menggoda setiap kali bertemu dengannya. Upacara pernikahan itu telah lewat hampir tiga minggu yang lalu, tapi Miura masih terus membahas soal ciuman yang yang dilakukan Ayu di hadapan umum.
Banyak foto yang dan video yang diambil oleh tamu saat kejadian, jadi Miura dengan mudahnya bisa menunjukkan kenekatan Ayu saat itu.
“Kau seharusnya menghentikanku buka
“Tunggu! Itu mungkin bukan apa-apa. Sudah berhenti!” Ayu mencoba menghentikan Hide yang terus berlari kencang ke arah klinik yang ada di samping kantor kepala desa.Tapi Hide sudah tidak mendengar. Ia menghambur ke dalam klinik, mengejutkan perawat wanita yang duduk di meja pendaftaran. Klinik itu sudah sepi.“Hide–kun? Ada apa?” Ia bertanya dengan heran, memandang Ayu yang juga langsung beralih memandangnya seketika itu juga. Panggilan 'Hide-kun' itu menggelitik rasa tidak suka Ayu.Ayu memandang untuk mengukur berapa usia perawat itu. Kemungkinan sekitar tiga puluhan, lebih tua darinya, tapi jelas satu-satunya wanita muda yang pernah dilihat Ayu setelah sampai di desa ini.“Mimisan,” kata Hide, sambil menurunkan Ayu pada kursi tunggu. Napasnya terengah dan keringatnya tentu bercucura
Hide tertawa pelan saat melihat Ayu meletakkan mangkuk dengan suara keras di atas meja, begitu mereka sampai di rumah.“Jangan katakan kau masih marah,” kata Hide.“Hmm…” Ayu menjawab dengan dengusan.“Aku sama sekali tidak peduli padanya. Aku bahkan hanya tahu namanya Nishimura, entah apa nama depannya.” Hide memang tidak pernah bertanya karena merasa tidak perlu.Mata Ayu menyipit memandang Hide, tapi kemudian kembali berpaling ke arah wastafel. Membersihkan sayuran yang akan dipakainya untuk membuat sup.Hide juga menyipitkan mata. Menebak apa yang dipikirkan Ayu. “Sekarang kau marah karena apa?” tanya Hide.Hide tadi paham jika Ayu marah karena cemburu, tapi kemudian Ayu beralih, ia marah tentang hal lain. Dan hal lain ini yang Hide tidak tahu.Ayu mendesah. Ia biasanya takjub pada kenyataan dimana Hide bisa menebak jalan pikirannya, tapi kali ini sebal, karena merasa Hide men
“Maaf, Anda ingin bertemu siapa?”Tentu saja akan ada perawat yang menghentikan mereka saat berjalan menuju ke ruang praktek dokter Hayashi. Tidak mungkin mereka bisa melenggang ke sana tanpa ada yang bertanya, terutama karena jam prakteknya sudah berakhir.“Kami keponakan Hayashi sensei. Kami tadi punya janji, tapi Hayashi sensei sepertinya lupa. Kami terpaksa menyusul ke sini.” Hide mengerahkan seluruh kemampuannya untuk ramah semaximal mungkin. Ayu yang ada di sebelahnya berusaha menyajikan senyuman, sekaligus wajah menyesal.“Oh? Tapi Hayashi Sensei tidak mengatakan apapun soal janji.” Perawat itu tampak heran.“Ya itulah masalahnya. Ia lupa. Kalau tidak keberatan, bisakah Anda mengatakan pada Sensei tentang kami. Katakan saja Hideki, keponakannya dari Karuizawa datang.”
“Apa maksudmu belum bisa? Aku hanya meminta daftar apartemen yang saat ini sedang kosong atau dijual. Aku akan tetap memakai perantara darimu.” Kyoko tidak mengerti kenapa Kudo menolak permintaannya.“Maaf, tapi aku tidak bisa memberi informasi sembarangan pada ada orang di luar Shingi Fusaya sekarang. Ada peraturan baru yang sangat ketat tentang ini. Aku tidak bisa melanggar peraturan itu.” Kudo terdengar sangat menyesal.“Peraturan apa? Kau kemarin juga membantuku mendapat apartemen!”Kyoko jelas tidak percaya. Dirinya juga bukan lagi pegawai Shingi Fusaya saat Kudo membantunya beberapa minggu lalu. Kudo dengan mudah mendapatkan apartemen untuknya, tanpa menimbang peraturan apapun. Aneh jika sekarang ia merasa harus berhati-hati.“Sebenarnya memang sudah lama ada peraturan ini, tapi
“Apa kakakku ada di dalam?” tanya Ryu, begitu ia sampai di rumah.Ia hanya melihat Kyoko yang duduk dan menatapnya sambil melipat tangan didepan dada.“Tidak. Dia pergi sambil membawa shinai. Tidak tahu kemana,” kata Kyoko, ketus.“Ah… dia berlatih.” Ryu sama sekali tidak terpengaruh oleh keketusan Kyoko, menanggapi berita itu dengan lega. Ia sedang tidak ingin berdebat malam ini.“Yui Onee-chan kemungkinan besar pergi ke salah satu dojo milik Kuryugumi yang ada di dekat sini,” kata Ryu sambil melepaskan jas dan duduk.Gerakan yang biasa saja, tapi Kyoko mengalihkan matanya sebelum merasa menjadi semakin bodoh lagi. Ryu tidak sedang mencoba menjadi lebih tampan, tapi gerakannya saat melonggarkan dasi dan melipat lengan kemejanya terlalu menarik perhatian.
“Hmm… Mungkin aku perlu memperjelasnya. Sepertinya kau kesulitan mencerna.”Ryu berdiri, mendekati Kyoko yang juga sudah berdiri karena terhenyak terkejut. Mata Kyoko masih bergerak menatap Ryu yang kini tersenyum, tapi tubuhnya seakan membeku.Otaknya mendadak menjadi menyedihkan begitu Ryu mengucapkan perasaannya dengan keras. Ia tidak bisa membentuk balasan pedas, atau sekadar penolakan.Di sisi lain, Ryu sama sekali tidak memutuskan pandangan dari Kyoko, bahkan nyaris tidak berkedip. Ia ingin Kyoko mengerti jika tidak ada keraguan yang terucap dari bibirnya setelah ini.“Aku mencintaimu. Bagaimana? Apa sudah lebih jelas?” tanya Ryu, sambil meraih pipi Kyoko. Ingin mengelusnya sekilas saja, membuatnya bergerak bereaksi—agar tidak terus diam.Tapi reaksi yang datang tidak sesua
“Aku benci bekerja untuk orang lain.” Hide tiba-tiba bergumam sambil mengeratkan tangannya yang memeluk Ayu.“Bagaimana?” Ayu yang masih sayu karena mengantuk, tidak mendengar dengan benar. Ia berbalik dan menghadap Hide. Tak lupa menarik selimut karena dingin. Punggungnya terbuka, tidak menampakkan pakaian.“Aku benci bekerja untuk orang lain,” ulang Hide sambil membuka mata, dan mengelus pipi Ayu yang kini matanya juga sudah terbuka lebar.“Ada apa dengan pernyataan tiba-tiba ini?” Ayu mengernyit.“Karena aku sebenarnya ingin diam saja di rumah hari ini, tidak ingin melakukan apapun. Bersamamu.” Hide mengeluh.“Maksudmu kau ingin membolos bekerja tapi tidak bisa?” Ayu tertawa pelan saat mengerti dengan apa yang dimaksud Hide.&ldquo
Ayu terbangun karena kepalanya terbentur oleh sesuatu dan langsung membuka mata. Tapi matanya hanya menemukan tempat asing yang sempit. Deru suara mesin membuat Ayu sadar jika ia sedang berada di jok belakang mobil.Ayu langsung bangkit untuk duduk, tapi sedikit sulit karena ternyata tangannya terikat di depan tubuh. Ia masih sedikit leluasa karena kakinya bebas. Tapi keadaan yang ada itu saja sudah cukup untuk membuat Ayu panik.“Siapa kau? Kau akan membawaku kemana?!” Ayu bertanya saat pria yang mengemudi menoleh ke arahnya, menyadari Ayu terbangun.Pria itu memiliki rambut putih merata, mungkin berumur antara enam puluhan. Tapi matanya masih terlihat hidup, cara menyetirnya juga masih mantap. Tapi mulutnya seperti terkunci. Ia tidak menjawab, terus menjalankan mobilnya tanpa terganggu.“Kau ingin membawaku