“Oh, sudah berubah.” Ayu kaget saat mereka sampai di rumah Hide.
Ada beberapa perubahan yang karena keadaan Hide, terutama di kamarnya. Kamar Hide memiliki ranjang besar. Mode modern dengan bed cover warna tanah dan bantal hitam.
Sedikit tidak cocok dengan suasana, tapi estetika tidak akan begitu penting dibanding kenyamanan Hide. Tubuhnya akan menerima tekanan lebih jika harus bangun dari lantai setiap kalinya.
“Ya. Dan untung saja.”
Hide melangkah dengan tongkat, dan perlahan—dengan gerakan sangat pelan berbaring di ranjang itu. Jika tidak ingat lukanya, Hide akan menghempaskan diri ke atas ranjang itu. Ia membuang tongkat yang ada di tangannya dan menghembuskan napas lega.
Hide mulai mengerti apa alasan dokter melarangnya pulang. Tubuhnya sudah merasa amat sangat letih padahal hanya
Hide memandang Ayu yang sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Hide tidak menyukai pemandangan itu, karena Ayu memakai seragam Shingi Fusaya“Kau akan berangkat?”Pada saat yang sama Hide memaki dalam hati. Sepertinya Ryu akan kehilangan satu nyawanya lagi karena tidak bisa mencegah Ayu berangkat kerja, padahal sudah jelas dia pemilik kekuasaan tertinggi dari Shingi Fusaya saat ini. Seharusnya hal itu dengan mudah bisa dilakukan.“Ya, tentu saja. Aku sudah mengatakan kemarin jika aku harus bekerja bukan? Aku sudah menyiapkan makan siang juga,” kata Ayu, sambil menunjuk kulkas. Dia menyimpan makan siang di situ.Hide tidak menyahut dan melangkah menuju kursi.“Aku tadinya ingin membawa sarapan ke kamar, tidak perlu ke sini,” kata Ayu, dia sudah meletakkan sarapan Hide di nampan.Ayu tidak ingin Hide banyak bergerak. Luka itu membuatnya cepat lelah. Hide juga masih memakai tongkat, dan berjalan lambat unt
Masih dengan gelisah, Ayu membawa tas perlengkapan—obat dan perban, lalu menggeser pintu kamar Hide sampai terbuka. Pemandangan yang ada di depannya, membuat Ayu ingin berbalik dan lari. Tapi kakinya tetap diam pada akhirnya. Hide sedang duduk diatas ranjang, dan melepaskan kancingnya satu persatu, berurutan.Ayu berharap Hide sudah melakukan hal itu sejak tadi, jadi ia hanya perlu mengganti perban saja, tidak perlu melihat proses bagaimana Hide membuka kemeja. Hasilnya mungkin sama—Ayu akan melihat tubuh Hide—tapi proses sangat mempengaruhi. Fatal.Melihat bagaimana tubuh Hide terbuka sedikit demi sedikit, terasa lebih buruk—atau mungkin lebih baik, Ayu tidak bisa memutuskan—daripada saat melihatnya secara langsung terbuka lebar.Ayu menghela nafas, memalingkan kepalanya setelah beberapa detik—setelah
“Bukankah seharusnya kau sedang sibuk? Kenapa menggangguku?” Kyoko menjawab telepon dari Ayu dengan sedikit ketus.Ayu bisa membayangkan apa yang menyebabkan hal itu. Pasti sekarang Kyoko sedang menonton atau membaca manga, dan jengkel karena Ayu mengganggunya. Sikapnya saat bekerja maupun sedang membaca manga biasanya sama. Sangat tidak suka saat ada yang mengganggu.“Ya, aku sibuk tadi. Sudah selesai tapi. Aku sudah memasak dan lain-lain,” kata Ayu, sambil duduk di rumput, yang ada di tepi kolam ikan, di taman tengah.“Lalu sekarang kau bosan dan menghubungiku? Akhirnya ingat padaku?” Selain ketus, Ayu bisa mendengar Kyoko yang sedang jengkel. Dan Ayu juga tahu apa sebabnya.“Aku bukannya tidak ingin berpamitan denganmu, tapi keputusan itu benar-benar mendadak. Kau tidak boleh marah padaku, Kyoko-chan,” kata Ayu, setengah merayu.Kyoko sedikit marah saat Ayu tiba-tiba meninggalkan apartemen tanpa be
“Aku coba dulu.” Hide melepaskan tongkatnya, dan mencoba berdiri.Ayu yang ada di belakangnya, tampak mengulurkan tangan mencoba untuk menangkap apabila Hide akan jatuh.Pikiran konyol sebenarnya. Karena tentu saja Ayu tidak akan mungkin bisa menangkap tubuh Hide yang beratnya dua kali lipat dirinya, bahkan mungkin lebih.“Bisa…” Hide bergumam, melangkah dan menahan napas saat merasakan sedikit tarikan nyeri pada dadanya.Tapi tidak seburuk dugaan. Sakit tapi masih bisa tertahan. Maka Hide menegakkan punggung dan melangkah dengan lebih cepat.Hide puas. Percobaan itu berhasil. Maka Hide mengangkat ke dua tangan ke atas, sikap saat mengangkat katana. Tapi itu berlebihan. Nyeri yang datang membuat Hide kembali menurunkan tangan. Masih perlu waktu untuk memulihkan gerakan tangannya seperti dulu.“Itu sudah kemajuan. Maksudku, kau bisa berjalan tanpa tongkat.” Ayu mengatakan itu untuk menghibur, karena
“Bentuk kantor yang baru bagus sekali. Aku lebih menyukai yang ini,” katanya Ayu. kepada Kyoko, yang mendahuluinya menuruni tangga stasiun Ueno.Ruangan divisi pengolahan data menjadi lebih bagus, karena memiliki jendela lebar yang baru. Membuat suasana menjadi lebih lega dan segar. Mereka tadi baru saja mengunjungi Shingi Fusaya, dan sedikit melihat bagaimana ruangan mereka yang diperbaiki. Mereka boleh mengunjungi kantor, tapi tentu tidak untuk waktu lama.Ayu tadi menemani Kyoko yang ingin mengambil data dari komputernya yang belum sempat disimpan secara online. Hanya sebentar saja, dan kini sudah kembali berjalan pulang.Ayu tidak punya urusan untuk ke kantor, tapi akan menerima ajakan untuk keluar dari rumah ini dengan senang hati, agar pikirannya tidak menjadi terlalu liar. Khayalannya menjadi semakin mengkhawatirkan.
TING TONG!Hide tersentak. Ia sudah lupa jika rumahnya memiliki bel yang masih berfungsi, karena memang seharusnya tidak ada orang yang datang ke rumah ini. Hide menurunkan laptop dari pangkuan dan bangkit. Sepanjang perjalanan ke depan, dilaluinya dengan keheranan yang semakin bertambah.Saat sampai di gerbang, Hide mendengar percakapan di luar pintu gerbang. Percakapan dengan nada marah. Hide menarik pintu gerbang sampai membuka, bersiap untuk mengusir siapa saja yang ada di sana, tapi malah mendapat kejutan.“Hai! Untunglah kau masih dirumah. Ini, aku membawa kedua orang tuaku. Mereka ingin bertemu denganmu.”Sakura mengawali dengan kebohongan, karena ia tahu persis Hide ada di rumah. Belum lama tadi, Hide membalas pesan dari Sakura yang bertanya tentang keberadaan dirinya. Hide menjawab seadanya karena tidak tahu tujuan Sakura bertanya. Dan saat Hide bertanya apa tujuannya, Sakura juga tidak menjawab. Kini tujuannya jelas, hanya alasannya
Ayu merasa sangat bodoh.Bahkan dengan otaknya—yang saat ini jelas sedang menuju ke arah tidak waras, Ayu dengan mudah mengakui jika Hide adalah seorang pria yang tidak bisa dengan mudah diabaikan. Seseorang yang tentu saja akan menarik perhatian, dan tidak mungkin akan melajang dalam waktu lama.Akan ada waktu di mana Hide akan menikah—memiliki keluarga dan punya anak seperti normal pada umumnya. Pernikahannya dengan Karin gagal, tapi bukan berarti kehidupan percintaan Hide akan berhenti sampai di situ.Ayu tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri, karena secara tidak sadar telah menganggap Hide akan bersikap seperti dirinya.Dirinya mungkin tidak menginginkan lagi keberadaan pria karena sakit hati—dan sekarang kebingungan, tapi tentu saja Hide tidak sama.Sangat mungkin bagi Hide untuk menginginkan wanita lain setelah bercerai dari Karin. Ayu tidak pernah memikirkan sejauh itu, dan kini merasa sangat naif, karena membayangkan
Ayu tersadar dari lamunan saat ada dingin menetes membasahi punggung tangannya. Ayu mengangkat tangan, menengadah dan air yang lain mengikuti turun. Rintik hujan musim semi telah turun.“He… sempurna sekali.” Ayu tersenyum dan menutup mata. Bersandar dan mendongak, membiarkan air itu membasahi wajahnya. Remaja yang tadi bermain basket, berlarian pulang untuk berteduh, tapi Ayu tetap duduk.Hujan itu hanya rintik, tapi cukup untuk mendinginkan wajahnya, dan tentu bisa menyamarkan keadaannya terlihat porak-poranda.Keinginan Ayu untuk menahan tangis dan bersikap normal tentu hanyalah harapan, karena pada akhirnya butuh waktu lama sebelum bisa menahan air mataWajah Ayu saat ini sembab dan memerah. Air hujan akan bisa menyamarkan keadaan itu. Meski mungkin nanti harus menjelaskan kenapa memilih untuk basah oleh hujan dari pada berteduh.“YUMI!”Ayu tersentak dan membuka mata, tampak Hide berlari menuruni tangga, menyusul untuk menghampirinya. Ayu tidak heran. Hide tentu saja tahu tentang