Zaf menurunkan Shine di atas ranjang begitu juga dirinya, memberikan ciuman dan lumatan panjang sampai mereka terengah, membiarkan saja Shine membelit kakinya, menjambak rambutnya membabi buta. "Katakan—" Zaf mengangkat kepala. "Apa ini karena dia dulu pernah menjadi cinta masa lalumu?" Shine nampak ngos-ngosan, menatap Zaf yang mengelus permukaan bibirnya dengan tangan. "Sampai kau membalasnya?" "Kau dengar sendiri kalau aku sudah mengatakan kata terlambat untuknya tadi. Ciuman itu anggap saja rasa penasaranku setelah bertahun-tahun yang lalu hanya memendam cinta. Aku sudah mengatakan padanya aku memilihmu." "Jangan pernah melakukannya lagi," desis Zaf. "Kau dengar?" "Okeeeee," teriak Shine. Zaf menghela napas, mencium lagi Shine dengan lembut dan berguling ke samping. Shine berbalik menghadap Zaf seraya menyusuri bulu-bulu halus di wajah Zaf dengan tangan. "Aku sudah mengatakan padanya kalau lusa kita mau ke Bandung menemui Mama untuk mengatakan kita menjalin hubungan serius."
"Deal. Good for us." Zaf meletakkan bulpoint, menutup berkas kerja sama Mega proyek yang baru saja dia tandatangani dan dia sendiri yang akan turun tangan. Zaf duduk menyandar di sofa dengan dagu terangkat, melihat tatapan bersemangat Gayindra Akmasara, CEO utama Waster Group, salah satu perusahaan konstruksi besar yang mendapatkan proyek pembangunan gedung utama anak perusahaan asal Dubai di Jakarta. Proyek yang tidak tanggung-tanggung anggarannya. "Kita sudah sepakat dan kalian setuju dengan ketentuannya. Aku yakin kalau kalian berdua tidak akan mengecewakan. Perpaduan yang pas dan menguntungkan. Ini akan menjadi mega proyek kita bersama." "Saya tentu akan memberikan yang terbaik untuk proyek ini bersama partner saya ini," ucap Arsen. Zaf tersenyum miring, merapikan jasnya dan membalas tatapan Arsen yang duduk bersebrangan dengannya, nampak santai melihatnya. "Kita berdua bahkan langsung turun tangan mengurusnya. Saya yakin, kita akan menjadi pertner yang hebat," balas Zaf.
"Zaf—"Shine mengeryit, sejak sapaan pertamanya tadi, Zafier tidak lagi membalas semua omelannya tentang Minnie. Dijauhkannya sedikit ponselnya dari telinga dan melihat kalau teleponnya masih tersambung."ZAFIER GASTER!!" teriak Shine. "Kau masih mendengarkanku atau tidak?""Ehmmm—" Seseorang di sebrang sana berdeham, di susul suara berat yang sangat dikenalnya. "Selamat siang Nona Shine.""Rey?""Iya Nona. Tuan Zafier sedang berkendara, jadi sejak tadi dia menyerahkan ponselnya padaku—" Shine ternganga. "Oh, tapi tenang saja Non. Saya hapal dengan semua kalimat yang Nona katakan tentang Minn—""Sejak kapan kau berubah jadi bos dan Si bos songong itu yang berubah jadi supir?""Sejak Nona menelepon."Shine ternganga lagi, terdengar suara gemerisik di sana lalu sapaan merdu Zafier terdengar, "Halo Sunshine—""Brengsek!!!" Umpat Shine, menutup teleponnya begitu saja dan melemparnya ke samping, memeluk Minnie seraya menyandar di sofa dengan wajah kesal. "Zafier memang lelaki paling menyeb
"Apa hanya ini kesempatan satu-satunya kita untuk mendekati Arsen?" tanya Rey, berdiri di depan meja kerjanya. "Dengan kerja sama ini?" Zaf yang sedang serius dengan laptopnya menjawab tanpa mengalihkan tatapannya. "Arsen bukan sasaran utama kita tapi hanya melalui dia kita bisa menjebak orang ini. Meskipun kita punya bukti tapi aku tidak mau terburu-buru membuka kedoknya. Kita harus gunakan cara halus dan membuatnya tidak menyadari kalau dialah sasarannya." Zaf menyandar di kursi, menatap Rey serius. "Arsen hanya menginginkan Shine dan aku yakin Omnya pasti menyarankan dia untuk menggunakan cara licik." Zaf diam sesaat. "Membiarkan Shine bersamaku tentu tidak akan lama-lama dia lakukan setelah berani mengungkapkan isi hatinya. Aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu, tapi aku hanya bisa menebak-nebaknya sekarang." "Saya punya firasat tidak enak Pak. “ "Aku sedang merisaukan hal lain," Zaf menghela napas. "Apa itu?" Tok..Tok..Tok.. Mereka berdua sontak melihat ke arah pintu da
"Aku tidak percaya kita kehilangan iklan-iklan itu," decak Sasha di sampingnya saat mereka baru saja menghempaskan diri di sofa cafe Sasha. Setelah bertemu dengan beberapa vendor untuk mencoba meyakinkan mereka kalau skandal ini tidak akan mempengaruhi apapun tapi nyatanya mereka tetap kehilangan beberapa. "Dan kamu kebanyakan hanya diam saja." Shine duduk dengan tangan terlipat, antara mendengarkan sama sibuk dengan pikirannya sendiri. Kaget saat Sasha mencekal lengannya dan mendapati tatapan curiganya. "Kamu sedang memikirkan sesuatu?" "Tidak." Shine menggelengkan kepala. "Aku hanya lelah." "Lelah ngapain?" Shine nyengir, Sasha menghela napas dan duduk menyandar di sampingnya. "Aku tetap sahabatmu yang bisa kau ajak bicara Shine." "Aku tahu," desahnya. "Aku memikirkan beberapa hal sekaligus. Iklan-iklan yang hilang itu bukan perkara besar selama vendor-vendor pentingku yang menjadikan aku brand ambassadornya tidak ada masalah.Jadi aku pikir, biarkan sajalah." Sasha diam mendeng
Bandung, Panti Rehabilitasi Kasih Bunda"Kau kehilangan berapa banyak iklan?""Kau baru menanyakannya sekarang?"Zaf tersenyum miring, "Aku terlalu sibuk tadi malam hingga tidak sempat berpikir apa-apa lagi."Shine memutar bola mata. "Aku kehilangan empat kontrak. Kau senangkan?""Apa itu semua gara-gara aku?""Memangnya karena apa lagi," Shine berdecak. "Pamor playboymu itu yang membuat mereka enggan bekerja sama denganku. Mereka mungkin menganggap aku wanita murahan sekarang."Zaf tersenyum, tidak nampak bersalah sedikitpun. "Nanti mereka juga akan tahu kebenarannya jadi biarkan saja. Aku yang akan mengontrakmu untuk iklan pribadiku."Shine berhenti dan menatap Zaf, "Iklan apa?""Iklan pakaian dalam transparan."Shine menarik genggaman tangan Zaf dan mengigitnya kencang membuat Zaf mengumpat dan cepat-cepat menarik tangannya."Sial!!!" Zaf mengibaskan tangannya. "Dari siapa kau belajar gigit begitu? pasti kucingmu itu kan?""Iya!""Sudah aku duga. Kucingmu itu membawa pengaruh buruk
Suara itu membuat mereka menoleh dan mendapati Arsen yang muncul entah dari mana dengan senyuman di wajah, mendekat tanpa sekalipun melihat ke arah Zafier dan berdiri di samping Melvina. "Aku sudah menunggumu sejak tadi pagi.""Hah?" Shine jelas bingung."Arsen sudah sejak pagi berada di sini menemani Mama nungguin kamu datang." Shine memandangi Arsen yang tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi diantara mereka. "Dan juga Mama sudah menyetujui pemintaannya untuk melamar kamu."Shine melotot, Zaf mengepalkan tangannya dengan tatapan tajam ke arah Arsen, tidak menyangka kalau inilah yang dia rencanakan. Dia jelas luar biasa terkejut."Tapi Mam—" Shine jelas tidak bisa diam saja. "Shine dan Zafier—""Shine--" panggil Mamanya membuat Shine bungkam, membalas tatapan matanya yang lembut tapi jelas tidak mau dibantah. "Mama bisa tenang kalau kamu bersama dengan laki-laki yang baik seperti Arsen yang Mama percayai. Zafier pasti akan mengerti kan?"Melvina menoleh ke Zaf yang terdiam kaku
Mamanya juga Arsen tersentak kaget saat Shine melepaskan diri dari himpitan mereka sesaat setelah masuk ke dalam kamar, berdiri menghadang dengan tatapan sarat emosi."Apa kalian sama sekali tidak peduli dengan pilihanku?"Shine berusaha menahan sengatan emosinya, berbicara dengan suara rendah tapi terasa lebih bergetar dari pada seharusnya. Shine harus berhati-hati karena Mamanya sedang dalam masa pemulihan dan kondisinya masih rentan jika sedang tertekan. Tapi dia jelas tidak bisa terima ketika mereka memutuskan sesuatu seenaknya sendiri, terlebih jika hal itu menyangkut hidupnya."Apa kalian berdua tidak mau bertanya dulu bagaimana perasaanku?" "Shine—""Jangan mendekat!!" Shine melotot garang ke Arsen. "Aku ingin menonjok wajahmu itu sekarang juga. Kalau kamu mau tetap aman, diamlah di tempatmu, Arsen Marvello!!""Sayang—" Mamanya yang maju mendekat. "Jangan seperti itu sama Arsen."Shine mengalihkan tatapannya, mengabaikan kenyataan kalau Mamanya lebih membela Arsen."Gak apa- a