"Dia adalah anakku. Walaupun Zahra bekerja di mansionmu tapi dia adalah anakku. Aku masih memiliki hak penuh atas anakku. Dan kamu, tidak usah ikut campur.""Kami hanya menyuruh Zahra bekerja di mansion Tuan Tama untuk melunasi hutang kami. Ingat Nyonya! Hanya bekerja! Selebihnya Zahra masih menjadi milik orang tuanya. Dan sebagai orang tua sah nya, aku ingin Zahra terus mengirim kami uang setiap minggunya."Ucapan yang dilontarkan oleh Ibu Lita tadi siang nyatanya terus berputar di pikiran Ibu Naya. Hari sudah semakin larut akan tetapi dia masih terus saja memikirkan hal itu. Ibu Naya berpikir jika apa yang dikatakan oleh wanita kecut itu ada benarnya juga. Sebesar apapun dia menyayangi Zahra, gadis itu tetap saja bukan miliknya. Zahra masih milik kedua orang tuanya. Dan dirinya tidak memiliki hak apapun atas diri Zahra.Menyadari akan satu kenyataan tersebut membuat hati Ibu Naya sangat sakit. Selama ini dia selalu merasa nyaman jika sedang bersama dengan Zahra. Bersama gadis itu me
Pagi itu, Tama sudah bersiap duduk di kursi makannya. Menu sarapan sudah tersaji di piringnya dan Zahra tentu saja sudah berdiri tegak di sampingnya. Sudah lima menit berlalu akan tetapi laki-laki itu belum juga menyentuh makanannya sama sekali."Kenapa dia?" batin Zahra berbicara.Pandangan Tama terus tertuju pada layar ponsel di tangannya dan sesekali melihat ke arah kamar sang Ibu yang masih saja belum terbuka. Selang beberapa saat kemudian, Nufa keluar dari kamar Ibu Naya tapi hanya seorang diri. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati sang atasan dengan pandangan yang menunduk."Ada apa? Dimana Ibu?" tanya Tama. "Maaf Tuan. Nyonya bilang kalau beliau tidak mau sarapan. Saya sudah membujuknya tapi beliau bilang katanya Tuan sudah tahu," jelas Nufa masih menunduk. Dia tidak berani menatap wajah Tama yang sudah dipastikan akan sangat marah setelah membawa kabar yang dia bawa ini. Tama mengernyit. Dia sempat berpikir sejenak, apa maksud kalimat terakhir dari sang Ibu? Dengan cepat
Sepanjang hari dari sejak pagi, Tama terus saja marah-marah. Semua pegawai terkena bentak sekecil apapun kesalahan yang mereka buat. Bahkan mereka yang tidak melakukan kesalahan pun, tetap ada saja yang membuatnya terkena omelan sang CEO.Rey yang setiap saat selalu ada di samping Tama adalah orang yang paling banyak terkena semprotan emosi laki-laki itu. Semua karyawan saling bertanya apa yang sedang terjadi pada orang nomor satu di perusahaan Kalingga tersebut. Karena tidak biasanya Tama bersikap seperti itu. Selalu saja ada masalah yang datang akan tetapi tak ada satupun yang bisa membuat sang CEO menjadi tak bisa mengontrol emosi seperti ini."Ada apa Tuan," tanya Rey saat mereka sudah masuk jam istirahat makan siang akan tetapi Tama masih terus fokus pada layar laptopnya."Kenapa?" tanya Tama tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun."Maaf jika saya terlalu ikut campur tapi hari ini anda terlihat sangat berbeda. Apa ada sesuatu yang sedang anda pikirkan?" tanya Rey lagi."Tidak
Suasana yang sebelumnya tenang dan membosankan tiba-tiba saja berubah menjadi panik. Rey yang seketika diminta untuk menjalankan mobilnya secepat yang dia bisa oleh Tama, langsung menginjak pedal gas mobil tersebut dengan dalam. Untungnya kondisi jalanan saat itu cukup lenggang dan tidak sampai membuat mereka kecelakaan.Rey masih belum tahu apa yang terjadi. Selepas Tama menerima panggilan telepon tadi, laki-laki itu langsung saja panik. Dia tidak bisa mendengar pembicaraan orang dari balik telepon itu karena volume ponsel Tama kecil. Sehingga apapun obrolan yang terjadi via ponsel tersebut, tidak akan terdengar oleh orang lain. Dan Rey juga tidak sempat bertanya ada apa karena Tama yang tanpa basa-basi langsung memerintah dengan cepat.Setelah melewati beberapa menit perjalanan akhirnya mobil mereka pun telah sampai di mansion. Tama langsung keluar dari dalam mobil bahkan sebelum kendaraan itu berhenti dengan sempurna. Rey yang melihat hal itu hanya bisa mengernyit bingung."Ada apa
Zahra duduk di samping tempat tidur Ibu Naya. Tangannya menyuapkan sendok demi sendok makanan ke mulut wanita tua itu yang menyantapnya dengan sangat lahap. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir gadis itu. Pandangannya malah lebih sering menunduk. Hatinya juga tak karuan. Bagaimana tidak, di sana di dekat jendela kamar, Tama berdiri dengan angkuhnya.Laki-laki itu memang tidak melihat ke arah mereka. Tama berdiri tegak dengan posisi memandang keluar jendela. Sesekali Zahra mencuri pandang ke arah sang majikannya tersebut. Pakaian kaos berwarna hitam serta celana training berwarna selaras tidak menutupi kekar tubuhnya. Dilihat dari sisi manapun fisik yang dimiliki oleh Tama adalah fisik laki-laki idaman bagi setiap wanita. Jambang tipis, kulit putih, mata tajam, menjadi pelengkap wajahnya yang begitu tampan. Dan jangan lupakan juga hidupnya yang mapan bahkan bisa dikatakan bergelimang harta.Aksi curi pandang yang dilakukan oleh Zahra tak lepas dari pantauan Ibu Naya. Wanita
Tiga hari telah berlalu dari sejak Zahra menyetujui perjodohan dirinya dengan Tama. Iya, dengan alasan tidak tega jika harus membuat kecewa Ibu Naya akhirnya gadis itu pun memilih untuk menerimanya saja. Sebuah keputusan besar yang sangat berani dia ambil tentang masa depannya yang bahkan dirinya tidak memiliki bayangan sama sekali. Apakah keputusannya ini adalah tepat atau salah? Apakah ini akan membawanya pada sebuah kebahagiaan ataukah dia akan menjadi semakin menderita?Sore itu Zahra, Tama dan juga Ibu Naya sedang duduk di sebuah mobil berwarna hitam yang dikendarai oleh Rey. Tama sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya atas perintah sang Ibu. Laki-laki itu duduk di bangku depan disamping sang asisten. Wajahnya terlihat sangat kecut dan tidak enak dipandang. Sedangkan kedua wanita berbeda usia itu duduk di bangku belakang. Terlihat jelas raut bahagia di wajah Ibu Naya. Dan Zahra? Dia masih tampak tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi saat ini.Setelah memutuskan untuk
"Tidak semudah itu Nyonya Naya yang terhormat," ucap Ibu Lita dan kini mulai menunjukkan taringnya.Setelah mengetahui maksud dan tujuan keluarga Kalingga datang ke rumahnya adalah untuk melamar Zahra, membuat wanita paruh baya itu seperti berada di atas angin. Ibu Naya menatap tajam ke arah Ibu Lita."Sudah aku duga," ucap Ibu dari Tama itu dalam hati."Perkara untuk menikahkan Zahra dengan Tuan Tama yang terhormat memang bukan sebuah masalah yang besar. Tapi setelah kami kehilangan Zahra karena ikut dengan suaminya, itu artinya kami akan kehilangan satu-satunya anak kami yang menjadi sumber dari penghasilan kami," jelas Ibu Lita. Ibu Naya dan juga Tama mengernyit heran."Maksud saya, Zahra adalah tulang punggung bagi keluarga kami. Dia yang selama ini bekerja untuk membiayai kehidupan kami. Karena seperti yang anda semua tahu, ayah Zahra, suamiku, Daksa, sampai sekarang tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Jadi hanya Zahra lah yang bisa kami andalkan. Lalu apa jaminannya jika sampai
Malam itu setelah pulang dari menemui ayah dan juga ibunya, Zahra tidak bisa tidur. Jam di dinding kamar sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam akan tetapi gadis ini masih berdiri di dekat jendela menatap langit malam yang tampak semakin gelap saja. Bayangan adegan terakhir sebelum mereka kembali, masih terus berputar di dalam kepalanya."Baiklah kami setuju. Lagipula jika kami sudah memiliki rumah besar beserta isinya, apalagi ditambah dengan sebuah mobil, kami tidak membutuhkan Zahra lagi."Ucapan tegas nan angkuh dari Ibu Lita membuat gadis ini mengerti sejauh mana pentingnya dirinya di dalam keluarga itu. Selama bertahun-tahun dia bekerja membantu perekonomian keluarga hanya karena sang ayah yang tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya lebih senang mempertaruhkan apa yang dia punya di atas meja judi. Bahkan dia juga rela tinggal bersama seorang laki-laki yang sangat kejam hanya untuk membantu melunasi hutang ayah dan juga ibunya.Gadis itu berpikir jika semua pengorbanannya tersebu