“Alhamdulillah Wa Syukurilah! Le, susul istrimu itu.”Gito berlari menuju toilet. Pria ini mengetuk pintu mendengar suara rintih kesakitan sang istri.“Sayang, bukain pintu. Biarin Mas ikut masuk. Sayang?”Tak beberapa lama pintu pun terbuka dengan seraut wajah pucat pasi Dinda ada di baliknya. Tiba-tiba tubuh wanita muda ini mulai melemah dan Gito segera menangkapnya. Tampak noda darah segar membasahi bagian perut Dinda.Bau anyir dan busuk berbaur jadi satu membuat Gito mual. Bu Teti yang mengetahui hal tersebut segera berlari mengambil masker di kotak obat. Kemudian ia melangkah menghampiri Gito dan memasangkan masker tersebut.Saat wanita separuh umur ini tak heran lagi saat melihat noda darah di pakaian Dinda. Ia telah tahu bahwa darah tersebut bagian dari janin gaib yang meski keluar semua dari rahim sang menantu. Caranya keluarnya memang ‘nyleneh’ tak seperti janin manusia.“Kamu gotong Nduk ke kamar. Ibu siapin air hangat buat membersihkan darahnya.”Gito pun segera membopong
“Makasih, Bu,”ucap Dinda.“Sama-sama, Nduk. Barusan Ibu telah pesan jamu buat kamu di penjual jamu keliling.”“Wah, seger ini. Aku juga mau minum jamu.”“Sudah pasti, kamu juga, Le. Kita semua harus minum jamu, biar segar kembali. Terutama Genduk.”Mustafa yang kesakitan masih bertahan di sekitar rumah. Sosok Timur Tengah ini bertengger di atas atap rumah. Sosoknya yang tinggi besar seketika membentuk sebuah bayangan sehingga mampu membuat redup lingkungan sekitar. Para tetangga Bu Teti buru-buru memasukkan jemuran karena menyangka hujan deras akan segera datang.“Jamila, itu anak kita. Calon putra mahkota. Kau tak akan bisa punya anak dari laki-laki pembunuh. Mustafa menginginkanmu.” Suara Mustafa bergetar diikuti isakan berkamuflase sebagai hujan dan petir, tetapi dalam gendang telinga Dinda adalah sebuah raungan yang bergema. Sesaat setelah Mustafa menghujat, Gito mengajak sang istri dan ibunya masuk ke rumah.“Ujan petir tiba-tiba gini? Padahal dalam perkiraan cuaca, hari ini cer
“Bu, perlu kita adain pengajian di rumah ini dalam waktu dekat. Biar rumah bersih dari gangguan. Oh, ya. Kiai dan para santri, kita undang ke sini juga.”“Emang Kiai sudah sembuh, Le?”“Hanya lecet biasa, Bu. Kemarin itu pingsan karena kaget. Barusan kirim pesan, memberi saran untuk mengadakan pengajian.”“Alhamdulillah! Moga Kiai selalu sehat, Mas," sahut Dinda seraya tersenyum.“Aamiin. Udah gak takut lagi?”tanya Gito yang masih terlihat cemas akan keadaan sang istri. “Insyaallah gak takut. Cuma kaget aja. Dia muncul tiba-tiba di sebelahku. Sekarang pun ada di dekat kita.”“Bismillahirrahmanirrahim. Moga Allah selalu melindungi kita.”“Aamiin.”▪▪▪¤•°•¤▪▪▪Tepat tengah malam, Dinda terbangun merasakan kandung kemihnya penuh dan ingin pergi ke toilet. Sementara ia lihat sang suami sedang tidur pulas, jadi tak tega membangunkannya untuk minta antar. Akhirnya, wanita muda ini perlahan turun dari ranjang lalu beranjak keluar kamar.Dinda menghidupkan lampu ruang tengah seraya beranjak
“Bu, perlu kita adain pengajian di rumah ini dalam waktu dekat. Biar rumah bersih dari gangguan. Oh, ya. Kiai dan para santri, kita undang ke sini juga.”“Emang Kiai sudah sembuh, Le?”“Hanya lecet biasa, Bu. Kemarin itu pingsan karena kaget. Barusan kirim pesan, memberi saran untuk mengadakan pengajian.”“Alhamdulillah! Moga Kiai selalu sehat, Mas," sahut Dinda seraya tersenyum.“Aamiin. Udah gak takut lagi?”tanya Gito yang masih terlihat cemas akan keadaan sang istri. “Insyaallah gak takut. Cuma kaget aja. Dia muncul tiba-tiba di sebelahku. Sekarang pun ada di dekat kita.”“Bismillahirrahmanirrahim. Moga Allah selalu melindungi kita.”“Aamiin.”▪▪▪¤•°•¤▪▪▪Tepat tengah malam, Dinda terbangun merasakan kandung kemihnya penuh dan ingin pergi ke toilet. Sementara ia lihat sang suami sedang tidur pulas, jadi tak tega membangunkannya untuk minta antar. Akhirnya, wanita muda ini perlahan turun dari ranjang lalu beranjak keluar kamar.Dinda menghidupkan lampu ruang tengah seraya beranjak
“Kamu tak salat? Kuliat kamu semalam salat, kan?”“Iya, aku sudah selesai salat.”“Alhamdulillah! Aku salat dulu.”Dinda segera bangkit dari tempat tidur lalu beranjak menuju kamar mandi. Wanita ini mandi besar untuk menghilangkan hadas besar. Di bawah guyuran air, tangisan tak terbendung. Ia telah digauli bukan suaminya dan itu bukan bangsa manusia.Dinda merasa malu dan ngeri, apalagi kini di dalam perutnya bersemanyam benih dari perbuatan zina mereka. Dinda meratapi nasib dengan airmata berlinang.Beberapa menit kemudian, ia telah selesai mandi dan berwudu. Ia keluar dari toilet langsung menuju musala kecil. Dinda pun segera mengenakan mukena dan memulai Salat Zuhur.“Ya Allah, lindungilah aku! Betapa hina dina tubuhku ini. Beri aku petunjuk.”Dinda menangis sesenggukan dalam musala dan tangisannya terdengar oleh Gito.Sayang, Mas segera ke sana. Terus baca doa, ucap pria ini dalam hati.Ajaibnya, ucapan dalam hati sang suami didengar oleh Dinda dan wanita ini enggan beranjak dari
“Mari bawa ke depan, Mas. Kita hancurkan saja agar tak dipake sebagai sarang jin.”Gito dengan dibantu para santri segera mengangkat keranjang bambu tersebut ke halaman. Pak Kiai mengikuti mereka. Dinda yang keberadaannya hanya mampu dirasakan oleh Gito dan Pak Kiai ikut melangkah keluar rumah. Sementara Mustafa telah lebih dulu berdiri di atap rumah, hingga membuat bayangan besar di sekeliling rumah. Para santri seketika mendongak lalu dengan dipandu Pak Kiai melafazkan surat-surat penghalau jin.“Mas Gito tolong segera dibakar barang-barang di keranjang. Kita musnahkan pengaruh jahat makhluk tak tahu diri ini. Biar kembali ke dunianya.”“Baik, Kiai!”Gito menuangkan minyak tanah lalu mematik korek kayu dan dilemparkan ke dalam keranjang. Seketika api berkobar membakar barang-barang tersebut. Kiai memerintahkan para santri tetap melafazkan ayat-ayat suci.Pria berjenggot putih ini segera mendekati arah keranjang sebuah lembaran berisi tulisan arab dilemparkan ke tengah kobaran api.
“Kiai, Bu Teti kesurupan. Ia mengamuk, kami telah berusaha menenangkan. Tubuhnya mengeluarkan hawa panas membuat sarung tangan kami terbakar hingga kulit bagai terpanggang. Bagaimana, Kiai?”Terdengar suara salah satu santri dari ujung telepon. “Astaghfirullah hal adzim! Pasti Bu Teti ini punya amalan tertentu yang tak sesuai syariat agama Islam. Lanjutkan doa dan zikir. Saya akan segera ke sana," balas Pak Kiai sembari menggelengkan kepala.Pak Kiai segera menghampiri Gito yang masih duduk kecapekan sambil memangku Dinda.“Saya mau tanya. Setau Mas, maaf sebelumnya. Bu Teti punya mantra atau ritual tertentu?”“Saya gak tau soal mantra, tapi Ibu sering kasih sandingan buat leluhur tiap malam Jumat Legi dan kadang malam-malam tertentu," jelas Gito dengan ekspresi heran dan ia merasa yang sedang ditanyakan pria bersorban ini pasti ada hubungannya dengan kegiatan mereka sekarang. “Astaghfirullah hal adzim! Pantas aja," jawab Pak Kiai dengan nada suara kaget.“Ibu, kenapa, Kiai?”“Bu Te
“Anak durhaka! Mana Dinda? Suruh keluar!”teriak wanita separuh baya ini yang tampak semakin memerah raut wajahnya.Tiba-tiba dari mulutnya keluar bola api yang mengarah ke tempat Gito duduk. Bola api sebesar bola tenis ini semakin membesar saat mendekati tubuh pria berambut cepak ini.Namun, bola itu tak bisa menyentuh kulit Gito sedikit pun. Bulatan bara tersebut seketika musnah lalu menguap ditelan udara hampa. Wanita berwujud Bu Teti semakin geram dengan reaksi Gito yang tetap geming.“Kamu pasti gak akan diem lagi. Andai ibumu kubawa pergi.”Kata-kata berisi ancaman dari wanita separuh baya ini sukses memicu amarah Gito. Pria berambut cepak dan selalu sopan dalam bertutur kata, akhirnya berdiri dan mendekati sosok yang menyerupai sang ibu.“Hai, makhluk jejadian. Kembalilah ke alammu! Kami tak butuh dirimu,” ucap Gito penuh amarah yang tampak jelas dari sorot matanya merah dan kepalan tangan berurat. “Manusia tak tahu diri! Kamu tak ingat? Ibumu adalah pengikut setia bangsaku.”