Oh, ya, ya. Itu Mbok Wo. Udah lama keluarga kita kenal dan dia biasa ngobatin orang sakit,” ucap Bu Teti sembari tersenyum merasa senang akhirnya teka-teki pemilik tusuk konde terjawab.“Bu! Sadar gak? Itu sama dengan jadiin istriku tumbal. Mbok Wo itu dukun. Buat obatin Dinda? Dia gak sakit.”“Tapi, Le. Mbok Wo bilang, istrimu harus dipagari karena ada jin di rumah kosong.”“Dan hasilnya ...? Jin itu makin tergila-gila dengan Dinda! Itu yang Ibu bilang mageri? Barusan ... mau apa lagi ke sini?” tanya Gito setengah teriak karena kesal dan segera berlalu ke kamar mandi ambil wudu diikuti sang istri.“Ibu minta maaf, Le!” pinta Bu Teti setengah berlari mengejar langkah Gito.“Sekarang kita salat dulu. Mohon ampun sama Allah,” ucap Gito segera mengambil air wudu.Seusai Gito, kini secara bergantian Bu Teti dan Dinda melakukan wudu. Setelah itu ketiganya bersiap berjamaah salat Subuh. Beberapa saat ketiganya doa dan zikir bersama, Gito mendengar sesuatu.Pria ini segera beranjak dari musa
“Suaranya seperti Ibu kenal,” ucap Bu Teti sambil agak mendekat untuk mengamati ular tersebut.Pak Kiai hanya tersenyum lalu membawa ular ini masuk toilet dan kemudian menenggelamkan binatang melata ini ke dalam bak kamar mandi. Sekali lagi terdengar suara lengkingan menyayat hati, saat Pak Kiai meneteskan suatu cairan dari botolkecil. Asap putih kekuningan memenuhi permukaan air di bak.“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”Pak Kiai terus meneteskan cairan tersebut sampai habis. Suara lengkingan yang semakin melemah dan hilang. Asap di permukaan air perlahan mulai menipis dan tinggal berwarna putih susu.“Maaf, Kiai! Ular siluman?” tanya Gito masih di ambang pintu toilet.Pak Kiai hanya tersenyum penuh arti lalu keluar dari toilet. Mereka yang di luar heran sekaligus penasaran dengan ular yang dimasukan bak toilet barusan.“Kita tunggu barang tiga puluh menit, biar kulit ularnya mengelupas dulu,” ucap Pak Kiai menjawab rasa penasaran yang lain.Akhirnya mereka berkumpul di ruan
Jasad tersebut memakai pakaian yang telah menjadi ciri khasnya semasa hidup. Dinda dan Bu Teti yang telah bermasker terpaksa menutup dengan telapak tangan karena saking busuk aroma di dalam toilet. Kedua wanita ini gegas keluar lalu berlari ke arah WC yang berada di belakang rumah. “I-itu ... baju Pak Wo. Kok bisa? Semua akik yang di jari, punya dia,” ucap Bu Teti sesaat setelah duduk bersama di ruang tengah masih dengan napas ngos-ngosan.Tak lama kemudian, Dinda datang dengan muka pucat pasi. Wanita muda ini tak mengenal Pak Wo, tapi ia jadi syok melihat jasad yang mengerikan barusan. Ia merasakan aroma mistis menyelimuti sang jasad.Gito segera menuju ruang tamu dan kembali dengan nampan berisi gelas minuman mereka. Ia meletakkan gelas ke depan masing-masing pemilik.“Silakan diminum, Kiai”“Terima kasih, Mas Gito.”Pria berambut cepak ini menyodorkan minuman kepada sang istri. Dinda segera menerima lalu meneguk isinya sampai tandas. Kemudian wanita muda ini menarik napas panjang
Dinda melihat penampakan sosok gagah yang sangat familiar di antara rombongan tersebut. Sosok tersebut berpakaian koko dan bersarung serta memakai kopiah. Mata Dinda semakin terbelalak, saat sosok ini maju ke depan memimpin rombongan untuk berzikir dan berselawat. “Aku tak salah liat?” tanya Dinda mirip bergumam sambil mengucek-ngucek mata dengan kedua tangan.“Apa kamu bilang, Nduk?” tanya Bu Teti heran.“Bu, tolong perhatikan yang mimpin zikir dan selawat.”Bu Teti segera mengamati sosok yang dimaksud, tapi tak ada yang aneh di matanya.“Itu Ustaz Hamdan putra dari Pak Kiai. Oh ya? Kamu pasti belum kenal. Mungkin dia pas liburan pulang ke sini.”“Emang selama ini di mana, Bu?”“Dia jadi guru di Turki.”Dinda mendengar penjelasan sang mertua sambil matanya mengikuti gerak-gerik Ustaz Hamdan. Hati kecilnya ingin memanggil Mustafa, hanya ingin memastikan bahwa yang dilihat benar-benar putra Pak Kiai. Namun, wanita ini sadar betul jika memanggil sosok Timur Tengah sama dengan mendatan
“Assalammu'alaikum,” ucap salam Dinda sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.Ustaz Hamdan menoleh dan seketika keduanya yang sama-sama belum pernah bertemu sebelumnya jadi syok.“Kamu Jamila?”tanya Ustad Hamdan yang tampak terperanjat begitu melihat sosok istri sang sahabat.“Mustafa?”Dinda pun tak kalah terkejutnya saat melihat Ustad Hamdan.Gito otomatis jadi bengong melihat keduanya saling menyapa dengan nama yang tak terdengar asing baginya.“Subhanallah! Ternyata kamu ada di dunia nyata,” ucap Ustaz Hamdan seketika mengusap wajah dengan telapak tangan.“Mas! Ini Mustafa jin!” teriak Dinda sembari berlari ke dalam. Wanita muda ini tampak syok, wajahnya seketika pucat pasi dan tubuh gemetar ketakutan. Ia pun langsung terisak-isak berlari masuk kamar lalu mengunci pintu. Hatinya benar-benar bingung dan takut. Bu Teti segera mengejar sang menantu. Sedangkan Gito masih perlu minta penjelasan kepada Ustaz Hamdan.“Ustaz, udah pernah bertemu istriku? Namanya Dinda bu
Akhirnya, semua bisa teratasi dengan baik dan masih meninggalkan sisa pertanyaan bagi Gito sekeluarga. Apa yang terjadi antara Ustaz dan Dinda dalam mimpi dan hal tersebut datang hingga berkali-kali? Namun, Pak Kiai dan Ustaz Hamdan tak mau berterus terang sampai Allah yang punya kuasa memberikan kenyataan.“Ngger! Perbanyak istighfar. Moga jalan Allah yang kau tempuh,” ucap Pak Kiai lirih di telinga sang putra saat ia mengetahui Ustaz Hamdan sempat mencuri pandang ke arah Dinda.Akhirnya bapak dan anak menikmati perbincangan hangat bersama keluarga Gito. Semua hal dibahas mereka, termasuk dengan perisitiwa kematian Mbok Wo di dalam rumah kosong.“Ngapain Mbok Wo ada di sana?”tanya Ustaz Hamdan yang semakin penasaran dengan kisah rumah kosong.“Dia penganut aliran sesat,” jawab Pak Kiai.Bu Teti yang merasa pernah jadi pengikut ritual lalu menceritakan apa saja yang harus ia lakukan setiap malam-malam tertentu.Meski ia tak pernah mengikuti ritual di rumah kosong, tapi ia tahu pasti
"Maksud Abah? Jawaban mimpiku? Benarkah?”Pak Kiai mengangguk bersamaan dengan suara dering ponsel di dalam saku.“Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap salam pria bersorban ini kapada seseorang di seberang telepon.Beberapa saat Pak Kiai mendengarkan secara seksama lalu menetes guliran bening dari kedua sudut mata.“Innalillaihi wa innalillaihirajiun. Tunggu di sana! Kami akan menyusul.”Ustaz Hamdan memandang heran kepada sang abah dan hanya dibalas gelengan. Pria bersorban yang selalu dengan tatapan teduh ini menunduk. Tampak jelas pikirannya sedang kacau. Ia telah tahu dari awal, tapi tak menyangka akan seperti ini hal tersebut bisa terjadi.“Astagfirullah hal adzim ... astaghfirullahhal adzim ... astaghfirullah hal adzim!”Pria berjenggot putih ini meraih tisu lalu mengusap lelehan bening dari kedua sudut mata. Ia tak biasa sesendu ini, kali ini rasa kehilangan sangat membuat rapuh hatinya. Ia masih belum mampu berkata-kata, meski sang putra datang lalu jongkok di
Dalam pandangan mata hanya tampak bayangan Dinda. Hal tersebut ia alami sejak bermimpi dua bulan lalu dan sampai hari ini.“Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, ampuni hamba,” ucap Ustaz Hamdan sembari mengusap wajah.Motor yang ia kendarai telah sampai di halaman ponpes. Pria berwajah bersinar ini segera turun dari motor lalu melangkah menuju ruangan pengasuh ponpes khusus asrama putri.Ia ucapkan salam, begitu dibalas salam langsung masuk ruangan.Dalam ruangan terdapat beberapa wanita pengasuh ponpes, Ustaz Hamdan segera menyampaikan pesan dari abahnya. Setelah itu, ia segera pamit kepada semua yang ada di ruangan.Lega sudah hatinya, pesan telah dilaksanakan. Ia ingin segera taziah sekaligus menemui ‘Jamila’ untuk memberi semangat wanita yang dikabarkan sangat syok dengan kematian suaminya.Ustaz muda ini memberi pengarahan untuk para santri yang sedang mempersiapkan acara penyambutan jenazah dari rumah sakit. Mereka akan merawat jenazah dari memandikan sampai dengan prosesi pemak