Share

Bab 2

Gara-gara tragedi beli pentol bakso ala sultan, rumah kami mendadak jadi lapak jualan dadakan. Sepulang salah tarawih, Fitriana membawa anak muridnya di TPA untuk menghabiskan semua makanan itu setelah kami ambil beberapa mangkuk untuk kami konsumsi sendiri.

Suasana tambah rame saat Fitriana benar-benar memvidiokan hal itu ala-ala konten kreator dan yang yang menjadi kameramennya adalah Dek Alya.

"Mbak tolong kamu yang take video pakai handphone kamu ya. Handphone mbak Alya sudah canggih pasti lebih bagus hasilnya," pinta Fitriana pada kakak iparnya tadi saat mereka melakukan semuanya.

"Kamu ini, Ana. Sudahlah pinjam handphonenya, orang yang punya pun kau suruh-suruh. Nggak sopan," ucapku pada adik bungsuku tersebut.

"Nggak apa-apa Mbak, aku suka kok, seru. Kapan lagi kayak gini, di sana aku pun juga terbiasa dengan anak-anak," sahut Alya.

Wanita muda itu tampak antusias dengan kegiatannya tadi.

Di kota Jakarta, Alya memang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah. Mungkin karena itulah dia mengatakan jika sudah terbiasa dengan anak-anak. Aku rasa karena itu jugalah kepribadian Alya begitu lembut dan sabar. Beruntung adikku Harun, mendapatkan wanita sesabar dia, di mana Harun sendiri orang yang grasak-grusuk dan kurang sabar.

"Kalau di upload di media sosial terus viral seru nih Mbak, biasanya hal-hal yang seru begini bakalan viral di media sosial. Kasih judul apa ya, yang menjual. Efek orang kota jajan di desa gitu kali ya." Fitriana berceloteh dengan sangat bersemangat.

"Memangnya kamu punya akun media sosial apa?" tanya Dek Alya.

"Apa aja aku punya Mbak. Siapa tahu dengan video ini bisa menjadi jalan buatku terkenal, terus punya banyak endosan, bisa-bisa aku kaya mendadak." Fitriana masih terus terbuai dengan khayalannya.

"Jangan banyakan berkhayal, mana ada orang kaya hanya dengan bikin heboh dunia maya." Aku berkata sambil menoyor kepalanya pelan.

"Bisa saja sih Mbak, di dunia yang serba digital begini bisa menghasilkan uang dari dunia maya." Alya, si adik ipar yang baik hati itu membela Fitriana.

"Apa kubilang! Mbak Mayang aja yang gaptek, kuper, gak update," ejek Fitriana. Merasa ada yang bela, dia jadi berani mengejekku.

"Wooo, sembarang bocah kalau ngomong. Mbak ini pinter, makanya Mas Hamid mau nikah sama aku." Aku menyebut nama suamiku untuk membanggakan diri.

"Kayaknya Mas Hamid rabun, padahal di kampusnya pasti banyak Mahasiswi yang cantik-cantik."

Fitriana masih saja meledekku.

"Tambah kurang asem nih bocah, sini aku ketekin!"

Aku mengejarnya yang sudah lebih dulu berlarian keluar rumah dengan tawa bergema.

"Mbak, aku balik ke masjid dulu mau tadarus sebentar. Nanti jam sepuluh aku pulang," pekik Fitriana dari kejauhan.

Tubuh mungilnya sudah hilang di tikungan jalanan. Fitriana berusia delapan belas tahun, baru saja lulus Madrasah Aliyah, sebuah jenjang pendidikan setara dengan SMA tapi lebih banyak pendidikan agama yang diajarkan dibanding dengan Sekolah Menengah Atas biasa.

Aku kembali ke masuk kedalam rumah, kembali ke tempat adik iparku yang masih tak berpindah dari tempatnya, di kursi ruang tamu. Wanita itu sedang memainkan ponselnya yang tadi sempat dijadikan alat untuk merekam video. Emak dan bapak masih di masjid ikut tadarusan, begitu juga dengan Harun. Saat ini, hanya ada aku dan Alya di rumah karena Mas Hamid juga tidak berada di rumah. Beberapa waktu lalu, saat tempatnya mengajar sudah libur, Mas Hamid pulang ke rumah orang tuanya.

Senyum Alya mengembang saat matanya menatap layar datar itu tanpa berkedip. Penasaran aku ikut melihat apa yang dia lihat. Ternyata dia menonton hasil rekamannya tadi.

"Besok lagi yaa, Mbak Alya. Gak apa-apa sering salah beli, jangan lupa undang kami lagi," ujar Fathan, anak dengan tubuh gempal sambil melambaikan tangan ke kamera.

"Mau direkomendasikan jenis makanan apa Mbak," timpal Agung, anak bertubuh mungil tapi doyan makan.

Aku ikut tersenyum melihat keceriaan mereka. Tadi yang datang ada anak laki-laki dan perempuan, tapi yang lebih berani nonggol di kamera adalah anak laki-laki. Anak-anak perempuan rata-rata pemalu.

"Anak-anak lucu yaa Mbak, aku suka sama anak-anak mungkin karena setiap hari bertemu dengan mereka. Kapan aku punya anak-anak yang lucu ya, Mbak," ucap Alya pelan.

"Walah, baru juga nikah tiga bulan. Aku saja yang udah dua tahun belum punya juga nih. Jangan menyalipku ya," selorohku.

Tawa kecil terdengar dari mulut wanita berkulit putih ini.

"Oh iya aku lupa, besok aku mau minta anterin Harun ke dokter kandungan. Udah telat satu minggu tapi pas dicek masih gak jelas. Siapa tahu kali ini hamil, aku pinjam suamimu besok ya."

"Iya Mbak, bawa saja gak usah dipinjam," seloroh Alya.

"Kamu mau ikut?"

"Lihat besok, Mbak. Tapi kayaknya aku di rumah aja deh."

***

Pagi pukul sembilan, aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke dokter kandungan bersama Harun. Bapak pergi mencari rumput, emak pun turut serta. Katanya hendak menengok tanaman cabe dan kacang panjang yang di tanam di kebun.

Fitriana ngotot pengen ikut bersamaku, katanya pengen ngerasain naik mobil. Harun dan Dek Alya memang pulang kampung mengendarai mobil. Adikku itu termasuk laki-laki yang sukses bekerja di kota. Sudah memiliki mobil dan rumah mungil di kota sana saat menikah dengan Dek Alya.

"Kamu kayak gak pernah naik mobil aja, Ana," ujarku saat gadis itu memaksa ikut.

"Beda ini, Mbak. Kalau mobilnya Mbak Mayang dan Mas Hamid gak pernah dinyalain ACnya kalau cuma ke tempat-tempat dekat. Tiap naik pakainya Angin Cepo-cepoi. Dari body mobil juga udah kelihatan punya siapa yang bagus," sahut Fitriana ceplas-ceplos.

Tega sekali dia ngatain mobil kami lebih jelek, walaupun kenyataannya memang lebih bagus mobilnya Harun. Hikss

"Awas kau ya kalau besok-besok numpang mobilku." Pura-pura aku mengancamnya.

"Mobilmu? Mobil Mas Hamid kali," sahut Fitriana.

"Udah-udah, ayo mau jalan gak?" Sela Harun, melerai perdebatan kami.

"Aduh, mati aku," ucapku sambil menepuk keningku.

Tadi emak bilang, air matang habis dan aku diingatkan untuk memasak air. Di tempat kami, air minum memang masih di rebus, bukan seperti di kota-kota yang menggunakan air mineral atau isi ulang.

"Kenapa Mbak?" Tanya Fitriana.

"Bentar, aku masuk dulu."

Dengan langkah panjang, aku berjalan masuk ke dalam rumah dan mencari Dek Alya. Ternyata adik iparku itu sedang berada di kamar mandi, mencuci baju.

"Dek, aku minta tolong, ya. Masak air, gak ada air matang soalnya," pintaku pada wanita yang sibuk mengeringkan baju dengan mesin pengering itu.

"Siap Mbak."

"Maaf ya, ngrepotin."

Ucapanku dijawab dengan acungan dua jempol, maksudnya gak apa-apa gitu kali ya.

Nanti sore Mas Hamid datang, dia paling suka minum air putih. Jika tidak ada air matang, kadang-kadang bisa saja dia meminum air dari keran langsung.

***

Sehabis periksa dari dokter kandungan, aku langsung mengajak Harun pulang. Pikiranku sudah kemana-mana memikirkan adik iparku, pasalnya aku ingat jika gas yang berada di tabung imut berwarna hijau itu habis. Makanya aku tidak segera memasak air tadi pagi begitu emak memintaku.

Apa yang akan dilakukan Dek Alya dengan situasi itu, membeli tabung gas dan memasang sendiri, mana bisa? Atau hal absurd apa yang akan dia lakukan. Aku tidak peduli jika Fitriana kecewa karena aku langsung mengajak pulang, gadis itu diam dalam kekecewaan dan menurut padaku.

Begitu mobil Harun berhenti sempurna di halaman rumah, aku langsung kabur ke dalam rumah mencari Dek Alya. Wanita muda itu aku temukan di dekat tungku dapur dengan wajah yang tidak bisa aku bayangkan.

"Ya Allah ya Robbi, Ngapain kamu Dek?" Tanyaku dengan panik.

"Masak air," jawabnya dengan santai.

Aku menghela nafas panjang, merasa sangat bersalah. Wajahnya yang putih bak porselen sudah berubah cemong-cemong, hitam di pipi dan hidung layaknya pantat panci. Bisa-bisa kalau emak tahu, aku dicoret dari kartu keluarga. Eh aku memang sudah tidak ada di KK emak, bisa-bisa aku dipecat dari status anak ke dua.

🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status