"Ada apa, Dek?" tanya Hamid seakan ikut terkejut. Padahal dialah yang menjadi sebab keterkejutan Mayang. "Iya, kenapa Nduk?" tanya Bapak mertuanya setelah menghentikan laju kendaraan dengan mendadak."Maaf, Pak. Jadi bikin kaget Bapak. Itu, anu, eemmm...." Mayang kebingungan hendak menjawab apa. Tidak mungkin juga dia mengatakan kaget karena sang suami mengengam tangannya. "Ada apa, Nduk?" tanya Bu Muslim."Ada yang kelupaan, saya mau kirim pesan dulu ke Bapak," ucap Mayang sambil mencari ponselnya yang berada di dalam tas selempang. Mobil kembali berjalan, Mayang pura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Padahal dia hanya memegang tanpa melakukan apapun, pikirannya masih berkelana kemana-mana. Ponsel yang berada di tangannya berdering dan bergetar, dari notifikasi pop up terlihat ada pesan masuk dari nomor baru. Dengan penasaran Mayang membukanya.~Dek, aku hanya ingin memegang tanganmu, tolong jangan teriak~Mayang menoleh pada pria di sampingnya. Pria itu juga sedang memegan
Mayang menutup telinga dengan telapak tangannya, memejamkan mata lalu berteriak."Mas Hamid ...." pekik Mayang kencang. "Allahu Akbar ...." Hamid terlonjak kaget dan memundurkan tubuhnya. "Maaf, refleks," ucap Mayang sambil tersenyum jahil. "Aku pikir suamiku tidak suka aku berbicara lembut, jadi meminta diulang terus. Akhirnya kuputuskan untuk berteriak," sambung Mayang menjelaskan. Mayang merasa suaminya seperti menikmati sekali menggodanya karena dirinya yang jadi kalem dan malu-malu, bagaimana jika dia tidak lagi malu-malu apa yang akan dilakukan oleh suaminya, itu yang dipikirkan sesaat sebelum tadi berteriak."Ada apa, Le?" terdengar ketukan pintu sekaligus panggilan khawatir Bu Muslim dari arah luar. "Nggak apa-apa, Bu." "Mas, buka pintunya," teriak Syahid tak mau kalah. Si jahil itu mungkin ingin mengetahui apa yang terjadi hingga kakak iparnya berteriak keras di malam hari. "Tidak ada apa-apa, kalian bisa pergi," seru Hamid dari dalam kamar, tak berniat untuk membukaka
"Dek, mau ikut aku nggak?" tanya Hamid pada istrinya. Ini adalah hari ke tiga Mayang menjadi istri Hamid, namun sesuai permintaannya untuk menunda sesuatu yang intim, gadis itu masih belum tersentuh. Setiap malam mereka menghabiskan malam untuk bercerita dan berdiskusi."Ikut ke mana?" tanya Mayang."Mau ke Universitas Darussalam. Aku ada urusan di sana," jawab Hamid, tangan pria itu tetap sibuk menulis nama-nama pada undangan. Saat ini mereka ada di kamar, dan pria itu sibuk mengisi undangan pernikahan untuk diberikan pada kenalan dan juga teman-temannya."Universitas Darussalam?" Mayang mengulang perkataan suaminya. "Memangnya mau diberikan kepada siapa undangan tersebut?" sambung Mayang bertanya dengan penasaran. "Pada teman-temanku yang masih ada di sana. Aku alumni sana dan program Pascasarjanaku juga masih di sana," terang Hamid.Untuk sepersekian detik Mayang terdiam, mencerna perkataan sang suami, namun detik berikutnya gadis itu berteriak histeris sambil memeluk tubuh pri
Gapura megah bertuliskan selamat datang dan nama tempat tersebut menyambut kedatangan Hamid and Mayang, motor mereka melaju masuk melewati gerbang tersebut. Di sebelah kanan mereka berdiri megah sebuah masjid milik Universitas tersebut, masjid berwarna putih itu tampak indah dan megah. Hamid membawa sang istri menuju ke Wisma dan meminta Mayang untuk menunggunya di sana. Di tempat ini biasanya digunakan untuk menginap tamu atau wali santri yang berasal dari luar kota. "Mau masuk atau di luar aja?" tanya Hamid pada Mayang."Di luar saja, sambil lihat-lihat pemandangan," jawab Mayang sambil tersenyum. Gadis itu sudah memikirkan sesuatu yang seru."Aku nggak akan lama," ucap Hamid sebelum meninggalkan sang istri.Setelah kepergian sang suami, Mayang memindai tempat tersebut. Wisma itu terdiri dari dua lantai. Seperti gedung bertingkat pada umumnya, bagian depan lantai dua dibatasi pagar besi sebagai pengaman.Di lantai satu terdapat teras sepanjang kamar layaknya koridor, dengan taman
Mayang tidak enak hati dengan perintah suaminya, ditambah pria itu hendak meninggalkannya di dalam kamar sendirian. Bergegas gadis itu memegang pergelangan tangan suaminya dan menahannya. "Apa maksudnya, tidak ada masalah yang belum selesai antara aku dan dia, Mas." "Lalu kenapa kamu menangis?""Aku hanya menyesali kenapa dulu aku bersikeras untuk dekat dan mengenalnya. Padahal aku tidak tahu siapa jodohku. Seandainya aku tidak melakukan itu, maka aku tidak akan pernah patah hati. Seandainya aku tidak melakukan itu, aku tidak akan disakiti dan menyakitkan. Seandainya aku tidak melakukan itu, aku tidak akan memberikan hati yang pernah ada nama lain pada suamiku. Seandainya ...." "Sssttt, berhentilah mengatakan seandainya. Itu bisa menjadi celah syaitan untuk mengingkari bahwa segala sesuatu adalah takdir dari Allah. Semua sudah terjadi, cukup disesali dan diperbaiki, tapi tidak bisa diubah." Hamid berkata sambil meletakkan telunjuknya pada bibir Mayang. "Aku sudah pernah mengatakan
Canda tawa bergema dari arah ruang tamu di sebuah rumah. Mayang dan kedua sahabatnya, Laily dan Afifah sedang bersama. Seperti biasanya, mereka bertemu di rumah Laily. Suami Mayang yang masih sibuk menyebar undangan membuatnya harus sering keluar rumah, sedangkan Mayang untuk hari ini tidak ikut dan meminta untuk diantar ke rumah temannya. Nanti saat pulang, dia akan di jemput oleh suaminya kembali. "Bagaimana bisa kamu menikah buru-buru dengan Ustadz Rahmat?" tanya Afifah penasaran. "Ternyata Mas Hamid adalah pria yang melamar langsung ke Bapak. Jadi setelah meminta Kak Syahid bertanya padaku dan kamu tahu kan jawabanku, eh malah dia langsung ke rumah dengan membawa Bapaknya yang ternyata teman bapakku, dan terjalinlah hubungan itu," papar Mayang menjelaskan. "Cieee Mas Hamid, ni yee," goda Afifah. Mayang mendelik tajam, tidak suka dengan godaan dari sahabatnya tersebut."Ya sudah aku nggak mau cerita kalau kayak gitu," rajuk Mayang."Halah gitu aja ngambek, pengantin baru udah
Dalam gelapnya kamar, Hamid langsung bangkit dari tempat tidur dan meraba-raba meja belajar yang ada di kamarnya. Mencari tombol stopkontak untuk menyalakan lampu belajar. Bisa-bisanya sang istri langsung mematikan lampu kamar begitu saja membuat semuanya menjadi gelap gulita.Nyala lampu itu hanya fokus pada satu titik yaitu meja belajar, namun pantulan cahayanya cukup bisa menerangi sisi kamar yang lain. Dengan mudah pria itu bisa menatap ke arah istrinya yang tampak menawan. Baju yang dia kenakan begitu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang terlihat sempurna. Membuat sesuatu yang berada dalam diri pria itu seakan dibangunkan."Kenapa dimatikan sih, Dek?" Tanya Hamid pada Mayang. Pria itu berjalan ke arah sang istri, mengikis jarak antar mereka. "Biar gak kelihatan," sahut Mayang seraya memundurkan langkahnya karena melihat suaminya semakin mendekatkan diri."Kalau gak kelihatan bagaimana bisa aku melihatmu. Bagaimana bisa kita melakukan ibadah yang kata kamu hanya bisa dilakukan ole
"Ana, kamu sudah lihat akun media sosialmu belum?" tanya Felicia dari ujung telepon. "Kenapa memangnya, ponselku kehabisan baterai, ini baru nyala dan langsung dapat telepon darimu.""Kamu harus segera melihatnya sendiri, aku matiin ya. Kamu langsung aja lihat sendiri," ucap Felicia sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak. Namaku Fitriana, teman dekat dan keluargaku memanggilku Ana. Felicia adalah teman kampusku, hanya gadis itu yang paling dekat denganku. Di kota ini, aku adalah pendatang, datang ke sini untuk melanjutkan studi. Aku tinggal bersama Kakak laki-lakiku, Mas Harun dan istrinya, juga anaknya yang baru satu. Segera aku membuka akun media sosial. Dulu, aku memang rajin membuat konten, tapi sejak kuliah, Mas Harun melarangku melakukannya. Kakakku itu memintaku fokus belajar, apa lagi ini kota besar, Mas Harun melarang aku berkeliaran sendirian karena diriku wanita. Sejak jarang membuat konten, media sosial yang sering kukunjungi adalah aplikasi berlogo huruf F