Hari sudah malam. Sarah sengaja tidak menutup rapat pintu kamarnya. Posisi kamar Aditya yang tepat di sebelah kamar Dimas, membuat Sarah yakin, jika nanti Aditya masuk kamar, dia akan mendengarnya.
Sudah beberapa hari dia tidak melihat Aditya mondar-mandir di lantai atas. Pemuda itu hanya terlihat jika hendak berangkat ke kantor saja. Selebihnya, senyap.
Mungkinkah mengurung diri di kamar. Jika iya, tentu dia butuh ke toilet, atau ke bawah mengambil minum. Masak iya, hanya di kamar tanpa keluar? Batin Sarah.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sarah bangkit dari duduknya. Kepalanya mendekat ke pintu. Dia mengintip dari celah yang terbuka.
Sepi!
Wanita itu tak mendengar apapun. Bahkan, usai makan malam, sepertinya Aditya belum naik ke lantai atas.
Sarah bergegas turun ke lantai satu.
Lantai satu sudah gelap. Lampu sudah dimatikan. Hanya kamar Intan yang terlihat lampunya masih menyala.&nbs
🍁🍁🍁🍁🍁 Aditya segera memasukkan gulungan Kasur ke dalam kolong tempat tidur. Beruntung saat pintu terbuka setengah, posisinya berada di belakang pintu. Mata Sarah serta merta menjelajah ke dalam kamar Intan dari celah pintu yang sedikit terbuka, terhalang oleh kepala Intan yang menyembul. Dada Sarah yang bergemuruh menahan kesal mendadak hilang. Tak dilihatnya kelebat bayang Aditya dalam kamar itu. bagaimana bisa dia menuduh tanpa bukti? Bisa-bisa, dia yang disangka tidak bisa move on. “Ada apa, Mbak Sarah, malam-malam?” tanya Intan, mencoba biasa saja. Meski dalam hatinya ada kecemasan, karena Aditya masih bersembunyi di belakang pintu. Intan harus memastikan bahwa mereka aman tanpa membuat Sarah curiga. “Apa aku bisa main ke kamarmu? Aku tidak bisa tidur. Takut di atas sepi tidak ada orang,” ujar Sarah mencari alasan. Intan terdiam sejenak. Kalau sampai Sarah masuk ke kamarnya. Habis
“Mama depan aja,” titah Aditya saat mereka baru keluar dari rumah. Dia tak mau kalau Sarah yang duduk di depan, dan akan terlihat mereka sebagai pasangan. Aditya tak peduli kalau itu mobil Sarah. Dia harus bisa memegang kendali. Dia tak ingin lemah. Buru-buru Sarah mempersilahkan Bu Handoyo, meski diam-diam hatinya pun dongkol. Perlahan dia dapat membaca kharakter asli Aditya yang ternyata keras. Jauh berbeda saat mereka masih bersama. Dahulu, Aditya sangat lembut, perhatian dan selalu menuruti apa maunya. Bahkan cenderung mengalah. Ternyata di rumah, tidak demikian. Aditya begitu egois, pikir Sarah. Perjalanan rumah ke pasar tak terlalu jauh. Tapi, di mobil, hanya ada keheningan. Sesekali saja Intan menyahut mencoba mencairkan suasana. Tapi, selalu gagal. Karena yang menyahut hanya Bu Handoyo. “Kamu tunggu di sini saja. Tuh ada café di sana. Bisa ngadem dulu,” kata Bu Handoyo saat tiba di parkiran sambil menun
“Mas, kamu tuh ngurus bisnis yang di mana lagi sih, Mas?” tanya Sarah. Dimas yang baru pulang, sedikit mengerutkan keningnya. Tumben istrinya ingin tahu perihal bisnisnya. Dulu, saja saat masih di ujung kehancuran, Sarah tak mau tahu. Dia memilih bekerja di tempat lamanya dengan gaji yang menggiurkan. Meski sebenarnya Dimas memang melarangnya, karena gengsi tak mampu membayar mahal. Dimas memilih membayar karyawan muda yang baru lulus, yang belum mengenal banyak uang, hingga gajinya tak terlalu mahal. “Mas, apa boleh aku pindah kerja di tempatmu saja. Aku malas sekantor sama Adit. Kamu tahu kan, dia masih saja mengangguku,” adu Sarah. Dimas manatap Sarah lekat. Benarkah Aditya masih menganggunya? Bukannya justru saat Sarah pendarahan, Aditya yang pertama datang menolongnya? Sejak Sarah di rumah, memang Dimas sudah jarang bicara berdua dengan Aditya. Mereka hanya bertemu di ruang makan saja. Itu pun hanya bicara s
“Bu Sarah, Pak Dimas sudah di ruangan. Silahkan jika hendak menemui. Ruangannya di lantai 17,” tukas resepsionis dengan sopan. Gadis itu mendekat ke sofa dimana Sarah duduk sambil membungkukkan badannya. Setelah mengangguk dan mengucapkan terimakasih, Sarah melangkah ke lift. Wanita itu tetap saja tak dapat menutupi kegundahannya. Berulang dia menghela napas. Dia harus mampu bersikap biasa saja jika ingin mengungkapkan kecurigaannya. Namun, tetap saja dia berharap, kecurigaannya tak berkenyataan. Dimas adalah pria yang baik, meski Sarah sering merasa bosan dengan kebaikan yang cenderung berlebihan. Memang, akhir-akhir ini, Dimas sering keluar dan sangat sibuk. Alasannya adalah mengembangkan bisnis. Meski kenyataannya sekarang jauh lebih baik. Beberapa kali memang Dimas mengajak Sarah pindah rumah, tak lagi tinggal dengan orang tua Dimas yang sempit. Di rumah orang tua Dimas, tidak ada p
Baru dua hari Aditya pindah ke apartemen baru yang di sewanya. Lokasi apartemen itu tak jauh dari kantor Aditya. Namun, tetap harus dengan motornya jika tak ingin berkeringat, meskipun dengan jalan kaki juga tak jauh. Ternyata, meskipun di rumah jarang ngobrol karena Aditya kerja dan Intan kuliah. Paling hanya sore mereka ketemu, dua hari ditinggal, membuat Intan merasa sepi. Tak ada lelaki yang dapat diledeknya. Meski dingin kayak kulkas dan sulit memaksakan pendapat padanya, tetap saja Intan merasa ada yang hilang. Hari itu, seharian Intan mencoba menghubungi Aditya, namun tak ada balasan sama sekali. Pesannya hanya contreng satu. Ditelepon juga tidak diangkat. Intan mendesah kesal. Kemana saja sih, Mas? Percuma saja punya ponsel bagus, kalau pesan tidak dibalas, telepon tidak diangkat, dengus Intan. Bahkan, Intan baru ingat jika dia tak tahu nama kantor ataupun lokasi di mana Aditya bekerja. Selama ini, dia hanya percaya saj
Sarah menatap kertas di tangannya tak percaya. Sementara, Mita tak berani merebutnya takut robek. Mita heran, selama ini tak ada pegawai yang lancang mengambil berkas pegawai lain saat dia sedang mengerjakannya. Itu adalah berkas laporan status perkawinan Aditya yang sedang dibukukan oleh Mita. Aditya baru saja memberikan copy buku nikah untuk mengubah status administrasinya di kantor, setelah menimbang kebenaran apa yang dikatakan Intan. Bahwa menikah itu tak boleh di sembunyikan, meski dia masih enggan juga membuka statusnya pada teman kantornya. Dengan bergetar, Sarah meletakkan kembali kertas itu ke meja Mita. “Aku nitip ini buat Pak Hanafi,” ujar Sarah sambil meletakkan berkas dokumen miliknya di meja Mita. Ia segera cepat berlalu. Hatinya kacau. Sarah benar-benar tak menyangka jika Aditya telah menikah. Bahkan, tanggal pernikahannya lebih dulu dari tanggal pernikahannya. Yang lebih Sarah tak habis mengerti, mengapa gadis ingusan itu yang lebih dipilih Aditya dibandin
Bu Handoyo menghela napasnya. “Kenapa Mbak Sarah, Ma?” tanya Intan kemudian. Meskipun hatinya kesal, namun di hadapan mertuanya, Intan tak ingin menunjukkan kemarahan. Karena Sarah pun juga menantu Bu Handoyo. Posisinya sama. Apalagi akhir-akhir ini, Bu Handoyo sudah menampakkan penerimaannya terhadap Sarah. Itupun juga atas andil Intan. “Entahlah, Ndhuk. Mungkin ada salah paham dengan Mas Dimas. Biar saja,” tukas Bu Handoyo. Wanita yang sudah makan asam garam kehidupan, tidak heran dengan perlakuan orang kaya yang suka menuduh, bersahabat hanya karena harta. Itu pula yang membuatnya dulu keberatan saat Aditya dekat dengan Sarah. Takut kalau kelak di kemudian hari, Sarah hanya akan mengungkit kontribusi hartanya dalam rumah tangga mereka. “Ya sudah, kamu jadi ke tempat Masmu atau tidak?” Bu Handoyo tiba-tiba mengingatkan menantunya saat sebuah taksi yang dipesan Intan sudah berhenti di depan rumah. Meski dada wanita puruh baya
Akhirnya bergegas Intan mengetuk pintu. Belum ujung buku jarinya menyentuh pintu, tiba-tiba pintu terbuka.Tampak pemuda dengan baju yang kancingnya tak beraturan sedang membuka pintu.Intan menatap Aditya penuh curiga, seraya mengerutkan dahinya.“Aku lagi mau mandi. Baru buka baju sudah ada orang ngebel nggak sabar,” gerutu Aditya sambil melebarkan pintu, menyuruh Intan masuk. Lelaki itu lalu bergegas kembali ke dalam, sementara Intan menutup kembali pintu.Intan menarik nafas lega. Senyum mengembang di bibirnya.Ternyata Mas Adit sendirian. Benarkan apa kataku, dia tak akan berani macam-macam, guman Intan dalam hati.“Kenapa sih, pake nyusul segala? Kan Aku sudah bilang, kalau weekend nanti aku pulang,” ujar Aditya kesal seraya masuk kembali ke kamar mandi.Intan mengerutkan keningnya lagi. Berpikir keras.Bukannya tempo hari dia bilang, kal