Share

4. SEPORSI BAKSO UNTUK RINDU

Satu bulan berlalu.

 

Kehidupan yang dijalani Rindu dan Albani di Jakarta kian sulit.

Usaha Albani mencari pekerjaan tak juga membuahkan hasil padahal sisa uang simpanannya sudah pailit.

Belum lagi ditambah biaya sewa kontrakan yang sudah mendekati tempo.

Albani benar-benar kebingungan.

Kesana kemari dia melamar pekerjaan, berbekal ijazah SMAnya tapi selalu saja ditolak.

Nyatanya, benar apa yang dikatakan Syarif sahabatnya di kampung mengenai kejamnya kota metropolitan. Jika tidak kuat-kuat iman, banyak orang yang pada akhirnya menyerah pada keadaan dengan cara menghalalkan segala cara demi mempertahankan hidup.

Seharian ini setelah lelah berjalan kaki mengunjungi kantor, pabrik, ruko dan mall-mall di selatan Jakarta, Albani memutuskan untuk beristirahat di trotoar pejalan kaki sekedar merelaksasi otot-otot kakinya yang mulai keram dan kesemutan.

Sisa uang yang dia miliki di dalam dompetnya hanya cukup untuk ongkos pulang.

Adzan maghrib terdengar berkumandang dikejauhan, Albani pun beranjak dari tepi trotoar untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Kali ini dia memutuskan untuk pulang.

Lelaki berkemeja putih itu masih menunggu metromini, ketika tiba-tiba ponselnya tiba-tiba berdering.

My wife calling...

Albani langsung mengangkatnya.

"Halo Mas? Kamu kok belum pulang udah gelap begini?" suara Rindu terdengar di seberang. Dari nada bicaranya, Albani bisa menebak pasti Rindu sangat mengkhawatirkan dirinya.

"Ini juga mau pulang, sayang," sahut Albani.

"Aku hari ini nggak masak. Gasnya habis. Mau beli uangnya kurang. Kamu beli lauk diluar ya, nanti aku masak nasi,"

Albani menarik napas lelah. Merasa bersalah. "Iya, nanti aku belikan lauk. Kamu mau apa?" tanya Albani saat itu.

"Beli bakso aja sayang, kayaknya enak uyup kuah bakso campur nasi hangat, hehehe," kekeh Rindu yang memang sangat menyukai bakso.

"Oke, nanti aku belikan bakso buat kamu. Udah dulu ya, aku mau naik metromini dulu,"

"Iya. Kamu hati-hati di jalan. Muach," Rindu memberikan kecupan jarak jauh dan Albani pun membalasnya.

Sambungan telepon itu pun terputus.

Metromini lewat, namun Albani tidak jadi naik.

Dia menatap selembar uang sepuluh ribu di dompetnya.

Jika dia naik metromini itu, sudah jelas dia tidak bisa membelikan bakso untuk Rindu.

Jadilah, Albani kembali berjalan kaki menempuh perjalanan untuk kembali ke kontrakannya malam itu.

Demi satu porsi bakso untuk Rindu.

*****

Hari sudah larut.

Namun sang suami belum juga pulang.

Rindu tidak bisa tidur.

Wanita berdaster helokitty itu terlihat mundar-mandir di depan teras kontrakannya sambil terus mencoba menghubungi Albani. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi tatkala panggilan dan sms nya tak juga mendapat balasan.

Kamu kemana sih Mas?

Tanya hati Rindu.

Lamat-lamat, sesosok tubuh manusia yang tertangkap indra penglihatannya berjalan gontai dari kejauhan membuat wajah Rindu berbinar.

Saat sosok itu semakin dekat, Rindu langsung mencecarnya dengan segala pertanyaan.

"Lama banget sih pulangnya? Kamu kemana dulu? Aku teleponin nggak di angkat! Aku sms nggak di bales! Aku khawatir tau! Nyebelin ihk!"

Albani tersenyum lebar mencoba menyembunyikan gurat lelah di wajahnya.

"Iya maaf. Tadi aku keasikan ngobrol sama tukang rokok," jawab Albani terpaksa berbohong. "Nih baksonya, makan gih. Kamu pasti udah laper?" dia memberikan sebungkus bakso yang dibelinya di depan gang pada sang istri.

Rindu menerimanya meski wajahnya masih saja ditekuk.

"Jangan cemberut gitu dong, cantiknya ilang tuh," goda Albani seraya mencuil ujung hidung istrinya yang bangir.

"Dapet kerjaannya Mas?" tanya Rindu meski dia sudah bisa menebak apa jawaban Albani. Suaminya itu tak bisa menyembunyikan apapun dari Rindu.

"Belum,"

Rindu memulas senyum tipis. "Kamu udah makan?" tanyanya ketika Albani sedang membuka sepatu.

"Udah," jawab Albani tanpa membalas tatapan Rindu. Dia takut ketahuan berbohong.

"Makan apa? Makan angin?" tanya Rindu seolah tahu kalau suaminya berbohong.

Albani kembali tersenyum.

"Kamu makan aja duluan. Aku mau mandi dulu," Albani beranjak ke dapur dan mengambil handuk di pintu.

Rindu mengekor langkah Albani.

"Aku beli kerupuk dulu," ucap Rindu setelah mengambil mangkuk dan piring.

Beberapa menit kemudian, tubuh Albani sudah lebih segar usai mandi, dilihatnya Rindu duduk di atas tikar di ruang depan sambil memainkan ponselnya.

"Loh, kok belum di makan?" tanya Albani yang memposisikan diri di sebelah sang istri.

"Kita makan berdua," kata Rindu yang langsung menuangkan kuah bakso beserta baksonya ke atas sepiring nasi. Lalu dia menyuapi Albani.

"Enak?" tanya Rindu sambil tersenyum.

Albani hanya mengangguk dengan tatapan yang tak lepas dari wajah sang istri.

Mendapati kenyataan hidup mereka yang semakin sulit, entah kenapa Albani tak mampu menahan bendungan air matanya yang tiba-tiba saja menggenang.

Lelaki itu menangis.

"Loh, Mas? Kamu kenapa?" tanya Rindu bingung.

Albani menyeka air matanya. Dia menaruh piring nasi di tangan Rindu ke lantai dan langsung menarik Rindu ke dalam pelukannya.

"Aku sayang banget sama kamu, Ndu. Aku minta maaf kalau aku belum bisa membahagiakan kamu," ucap Albani dengan deraian air matanya yang kembali membanjir di pipi.

Mendengar hal itu, kelopak mata Rindu langsung berkaca-kaca namun dia berusaha untuk tidak menangis. Dia melepas pelukan suaminya dan tercengir lebar.

"Aku juga sayang banget sama kamu, Mas. Siapa bilang aku nggak bahagia? Aku bahagia, Mas. Aku bahagia bisa hidup sama kamu. Ketemu kamu setiap hari. Bisa denger kamu ngorok setiap malem. Bisa mijitin kamu kalau kamu capek. Bisa masak makanan buat kamu walau hasilnya selalu keasinan, aku bahagia Mas..."

Albani terharu mendengar celoteh Rindu.

Hingga setelahnya, dia kembali meraih Rindu ke dalam pelukannya.

Rindu membalas pelukan itu sama erat.

Dia tersenyum.

Tak ada pelukan senyaman pelukan suaminya.

Malam itu, mereka menghabiskan satu porsi bakso berdua.

Hujan yang turun deras membuat Rindu terpancing untuk mengajak suaminya bercinta.

Di atas kasur lantai di dalam kamar kontrakan keduanya bercumbu dengan mesra.

Tingkah nakal Rindu membuat Albani melayang.

Rindu tahu Albani lelah, itulah sebabnya malam ini dia yang mendominasi permainan.

"Mas, besok aku ada panggilan interview," ucap Rindu menyampaikan sesuatu yang sejak dua hari lalu dia pendam.

Tentang keinginannya untuk bekerja, hitung-hitung meringankan beban Albani.

Albani tampak kaget. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuh dirinya dan sang istri yang masih polos. Mereka baru saja selesai dengan aktifitas ranjang mereka dan kini tidur melepas lelah dengan saling memeluk.

"Kapan kamu melamar kerja?" tanya Albani.

"Seminggu yang lalu, lewat online,"

Albani terdiam.

Sebenarnya dia kurang setuju.

Tapi, jika memang Rindu yang menginginkan Albani tidak akan melarang.

"Interviewnya di mana?" tanya Albani.

"Di daerah Pasar Baru. Perusahaan Ritel,"

"Yasudah, nanti aku antar. Sekarang kamu tidur ya?"

Rindu mengangguk sambil tersenyum lebar. Dia mengecup sekilas pipi Albani sebelum akhirnya memejamkan mata untuk tidur.

Hangatnya cinta membuat keduanya tak merasakan sedikit pun hawa dingin yang menyeruak di sekitar mereka.

Hujan masih mengguyur kota Jakarta dengan derasnya, seolah menjadi saksi betapa cinta itu indah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status