Malam ini hujan mengguyur Abendbrise. Membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Tenda-tenda darurat yang di bangun oleh penduduk mulai bergetar pelan saat angin berhembus sedikit kencang. Cahaya lentera yang menemani mereka pun mulai ikut bergoyang mengikuti sang angina bergerak. Sedangkan orang-orang yang berteduh di dalamnya, hanya bisa diam dan berharap bahwa mereka bisa melewati malam itu dengan selamat.
Rachel yang berada di tenda yang sama dengan keluarga Paman Freden hanya bisa menarik selimut miliknya dan berusaha menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil. Sebuah perasaan aneh terus menghantui Rachel sejak siang tadi. Perasaan gelisah atas sesuatu yang tidak bisa Rachel jelaskan. Bahkan berkali-kali dia menanyakan Nerwin apakah pasukan Redrock kembali, tapi pemuda itu tetap meyakinkan Rachel bahwa Redrock tidak akan kembali.
Rachel melihat bibi Arwen
Sepasang tangan itu tengah bertaut rapat. Manik mata hitamnya terpejam erat dengan bibir yang bergerak pelan. Memanjatkan doa pada siapapun yang bersedia mendengar permintaannya. Hanya satu doa, ‘lindungi Crator selamanya’. Gadis itu, Rachel Chevalier. Sang gadis ajaib desa Fleure. Gadis tangguh dari Kota Delvish. Satu-satunya yang hidup dari sisa-sisa Dewwy. Gadis yang selamat dari tiga pembantaian kota. Gadis pembawa senjata ajaib, Jade Amora. Kini berdiri di tengah sisa kota Abendbrise dengan mata terpejam memanjatkan doa, berharap tidak ada lagi pembantaian atas sebuah kota. Gadis itu membuka matanya. Menengadahkan wajahnya ke atas langit. Melihat awan gelap yang perlahan memudar. Menyisakan serabut tipis dengan rintik hujan kecil yang masih menderanya. Gadis itu menghe
Ketika sebuah ambisi disimpan dengan baik di dalam ingatan seseorang maka ambisi tersebut akan berubah menjadi sebuah motivasi bagi orang tersebut. Namun ketika amarah disimpan dalam hati seseorang, maka amarah tersebut perlahan akan menumbuhkan sebuah dendam yang menggerogoti hati sosok tersebut. Seperti itulah yang tengah di rasakan oleh Ethan saat ini. Ambisinya untuk membuktikan kemampuannya sebagai Tuan Muda Klan Redrock mendorongnya untuk terus bergerak dan berusaha meraih apapun yang diinginkan oleh pemimpin Klan. Namun, beriringan dengan ambisi tersebut perlahan amarah muncul dalam diri Ethan ketika satu per satu targetnya tidak tercapai. Kemarahan dan kekecewaan dalam diri pemuda itu terus terkumpul dan menyatu. Menciptakan sebuah titik hitam pekat didalam hatinya, sebuah dendam. Sesuatu yang sangat kuat namun juga berbahaya jika tidak bisa dikendali
Entah siapa yang memulai namun dua pemuda itu telah saling menyerang dan melayangkan serangan masing-masing. Kilatan cahaya perak dan biru saling bersahutan saat keduanya melancarkan serangan. Diiringi suara petir dan hujan yang semakin deras, pertarungan dua tuan muda dari dua klan besar itu terasa semakin sengit. Ethan tongkat sihir peraknya dan Nerwin bersama tombak birunya. Seluruh pasukan Redrock yang berada di tempat kejadian terlihat waspada melihat pertarungan kedua pemuda itu. Dengan Lucinda yang berada di barisan terdepan pasukan, wanita itu hanya mendecih pelan saat satu serangan NErwin berhasil mengenai tubuh Ethan. Tanpa aba-aba wanita itu dengan mudahnya masuk kedalam pertarungan antar Ethan dan Nerwin, sehingga Nerwin harus bertarung melawan dua orang sekaligus. Rachel yang melihat gerakan tiba-tiba Lucinda lantas segera menarik belatinya dan menerjang wanita itu. Bunyi denting Snowdrop yang beradu dengan tongkat Lucinda seketika mengalihkan perhatian
Gelegar petir itu terdengar dahsyat dan memekakkan telinga. Ditambah dengan hujan deras dan angin kencang membuat siapapun pasti memilih untuk berdiam diri di dalam ruangan atau setidaknya mencari tempat untuk berteduh. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Kenneth. Segera setelah dia meninggalkan camp Vinetree dia bergegas memacu kudanya menuju Abendbrise. Mengabaikan hujan badai yang tengah mengguyur wilayah selatan, karena satu firasat dalam hatinya selalu meneriakkan bahwa badai ini bukanlah badai biasa. Kenneth memilih jalan pintas dengan melewati lembah sungai Hyeti untuk tiba di Abendbrise lebih cepat. Namun seperti yang seluruh orang ketahui, arus sungai dan jalur wilayah tersebut sangat terjal dan curam karena berdekatan dengan tebing-tebing teluk Feilas. “Kita harus bertahan, Fero.” Gumam pemuda itu pada kudanya.
Rachel menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar. Gadis itu menggeleng pelan masih tidak habis pikir dengan orang-orang yang berada di depannya.“Seberharga itukah Jade Amora itu bagi kalian?”“Ya, sangat.”Rachel marah. Sangat marah. Namun bukan pada dirinya melainkan pada Jade Amora. Kini dia menyadari bahwa kata-kata Putri Florian saat itu benar adanya, selama dia memiliki Jade Amora bahaya akan selalu mengikutinya. Namun, kini senjata itu bahkan tidak berada di tangannya. Mengapa senjata itu masih mengancam nyawanya?“Ambil saja. Kau bisa memilikinya,” tukas Rachel. Ethan dan Lucinda terheran. “Setelah kalian bisa mengalahkanku.”Rachel mengambil pedang Zurin dan berlar
Apa yang terjadi hari itu adalah sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh siapapun di tanah Crator. Ketika pasukan batuan Vinetree dan pasukan kerajaan datang di gerbang kota Abendbrise, ratusan mayat prajurit Redrock tergeletak tak bernyawa begitu saja. Awalnya mereka pikir, mereka datang untuk membantu para penduduk yang terluka, namun setelah berkeliling mencari di seluruh kota, hasilnya nihil. Tidak ada satu orang pun disana.Kemarin, ketika Jendral pasukan Vinetree mengirim permohonan bantuan untuk Abendbrise mereka bergegas melakukan persiapan dan berangkat ke Abendbrise. Dipimpin oleh George dan Samantha, keduanya membawa pasukan masing-masing untuk pergi ke wilayah selatan. Hasilnya, semalam badai besar terus mengguyur mereka dan membuat mereka tertahan karena tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Lalu, pagi ini ketika mereka tiba di Abendbrise kota itu telah kosong.
Kerumunan itu terlihat sangat kacau dari kejauhan. Tak ubahnya layaknya lautan kepala yang terus bergerak enggan diam. Suara suara rintihan kesakitan atau tangis anak-anak yang ketakutan terdengar jelas disana. Penduduk Abendbrise yang berhasil selamat dari peristiwa itu, berkumpul di tepi sungai Hyeti. Elise melihat orang-orang terus berlarian, para anggota Vinetree yang tiba terlebih dahulu telah membantu mereka. Merawat yang terluka, membagikan makanan dan juga pakaian, dan ada kelompok lain yang tidak Elise kenali. Orang-orang itu mengenakan pakaian yang seragam dengan warna biru kehijauan namun berbeda dengan jenis pakaian yang biasa di kenakan oleh penduduk Crator. Satu yang bisa Elise cermati dari mereka adalah lencana berwarna merah tembaga yang tersampir di bahu kirim masing-masing bersama jubah panjang mereka. “Siapa mereka?” tanyanya. Goerge yang berdiri di samping Elise menggeleng pelan. Pemuda itu juga tidak mengenal mereka. Sepertinya kedu
“Katakan padaku apa yang terjadi malam itu!” Permintaan yang lebih terdengar layaknya sebuah perintah itu tak dapat di cegah Samantha dan keluar begitu saja dari mulut sahabatnya. Gadis itu masih belum juga menyerah mencerca Ervin dnegan berbagai pertanyaan terkait penyerangan Abendbrise. Meski Samantha akui dirinya juga penasaran tapi Elise benar-benar tidak bisa menahan diri, seperti biasa. “Kenapa kau begitu ingin mengetahui segalanya?” tanya Ervin. “Karena kakakku ada disana malam itu, aku ingin tahu apa yang terjadi,” tegas Elise sekali lagi. Samantha dan George hanya bisa diam melihat ketegangan di antara dua orang itu. Samantha yakin semua orang juga ingin tahu kebenarannya, namun siapapun bisa melihat baik para penduduk Abendbrise ataupun para anggota klan Thalassa seakan enggan membahas peristiwa itu. Seperti ada sesuatu yang enggan untuk mereka ucapkan. Sesuatu yang mungkin ingin mereka rahasiakan. “Baiklah,” Ervin menatap Elise data